GemaDakwah.com | BEBERAPA waktu lalu seorang teman mengirimkan potongan video. Isinya tentang jawaban seorang ustadz atau dai yang tengah menjawab satu pertanyaan dari jamaah pengajian yang dia sampaikan. Pertanyaannya berbunyi: “Apakah ilmu boleh diambil dari ustadz yang sering mengambil pandangan dari Al-Qaradhawi dan tokoh Ikhwan?”
Sang Ustadz dalam majelis itu kemudian menjawab demikian: “Ya, sejauh yang saya tau Yusuf Qaradhawi ini bukanlah seorang alim. Bukan orang alim yang layak, ya, diambil ilmunya. Tentunya kalau Antum tidak tahu, Antum tidak kenal siapa Qaradhawi, Antum akan bingung. Tapi kalau Antum tahu, justru Antum akan bingung kenapa orang kayak gini diambil ilmunya…..”
Itulah pertanyaan jamaah pengajiannya dan itulah jawaban ustadz. Dan, hemat penulis, jawaban sang ustadz sangat jauh dari sikap adil bahkan cenderung menutupi kebenaran dan fakta-fakta tentang Syeikh al-Qaradhāwī. Maka, penulis merasa amat bertanggungjawab untuk meluruskan kekeliruan pandangannya melalui tulisan ini.
Sekilas tentang Syeikh al-Qaradhāwī
Syeikh al Qaradhawi sejak kecil dididik suasana agamis. Ketika berusia 5 tahun, beliau dididik menghafal al-Qur‟an secara intensif oleh pamanya. Al-Qaradawi juga belajar di kuttab Syeikh Hamid Abu Zuwail. Sebelum usianya mencapai 10 tahun, ia telah dikaruniakan oleh Allah menamatkan hafalan al-Qur’an sepenuhnya bersama pelajaran hukum-hukum tajwid seperti kitab al-Tuhfah.
Setelah Menamatkan pendidikan di Ma’had Thantha dan Ma’had Tsanawi, Qaradawi terus melanjutkan ke Universitas al-Azhar, Fakultas Ushuluddin lulus tahun 1952-1953 dengan predikat terbaik. Beliau kemudian melanjutkan jurusan bahasa Arab selama 2 tahun, lulus dengan peringat pertama diantara 500 mahasiswa.
Berikutnya, beliau melanjutkan studinya ke Lembaga Tinggi Riset dan Penelitian Maslah-masalah Islam dan Perkembanganya selama 3 tahun. Tahun 1960 Yusuf al-Qaradawi memasuki pascasarjana (Dirasah al-Ulya) di Universitas al-Azhar, Kairo, memilih jurusan Tafsir Hadist atau jurusan Akidah-Filsafat.
Setelah itu beliau melanjutkan program doktor dan menulis disertasi berjudul Fiqh az-Zakat (Fiqih zakat) yang selesai dalam 2 tahun, terlambat dari yang direncanakan semula karena sejak tahun 1968-1970, dipenjara rezim militer Mesir karena dituduh mendukung gerakan Ikhwanul Muslimin.
Setelah keluar dari tahanan, Qaradhawi hijrah ke Doha, Qatar dan di sana bersama teman-teman seangkatannya mendirikan Ma’had-Din (Institusi Agama). Madrasah inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya Fakultas Syariah Qatar yang kemudian berkembang menjadi Universitas Qatar dengan beberapa fakultas. Syeikh al-Qaradawi sendiri duduk sebagai dekan Fakultas Syariah pada Universitas tersebut.
Beliau adalah seorang tokoh aktivis yang sering memberikan gagasan-gagasan yang meluruskan hala-tuju gerakan kebangkitan Islam pada jalan tengah dan mencakupi hampir semua permasalahan umat. Tulisan beliau dalam persoalan ini menyeluruh, mendalam dan bersesuaian dengan realiti semasa. Al-Qaradawi dalam masalah ini telah menulis beberapa buah buku yang terkenal; Al-Sahwah al-Islamiah Bayn al-Juhud wa al-Tatarruf, Al-Sahwah al-Islamiah bayn al-Ikhtilaf al-Mashru‟ wa al-Tafaruq al Madzmum, dan Al-Sahwah al-Islamiah wa Humum al-Watan al-Arabi. (profil Yusuf al-Qaradawi, digilib.uinsby.ac.id)
Beliau adalah seorang alim. Dikenal luas oleh umat Islam dunia sebagai pemikir, intelektual, faqih, pakar kajian hadits, sekaligus mufassir. Beliau hafal Al-Quran sejak usia kecil. Belajar serius sejak mengenal bangku sekolah. Sampai meraih gelar “doctor” dari universitas ternama, Al-Azhar. Universitas yang melahirkan ulama-ulama dunia dan hebat serta berwibawa, seperti: Prof. Dr. Wahbah az-Zuhayli, Prof. Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Prof. Dr. Nuruddin ‘Itr, dan banyak lagi.
Beliau pernah menjadi Ketua Ikatan Ulama Dunia (sekarang Prof. Dr. Ahmad ar-Raysuni, pakar fiqih maqāshid). Beliau sering dijuluki “mujtahid” abad ini, khususnya terkait fatwa-fatwa kontemporer. Fatwa-fatwanya banyak dirujuk orang (Lihat karyanya, Fatāwā Mu‘āshirah (Fatwa-Fatwa Kontemporer) dalam 3 Jilid). Pemikirannya dipengaruhi oleh banyak ulama dan pemikir hebat, seperti: Syeikh Muhammad Abduh, Syeikh Sayyid Muhammad Rasyid Ridha, Syeikh Muhammad al-Ghazali, dan banyak lagi.
Murid-muridnya banyak yang menjadi pemikir dan ulama hebat. Diantaranya adalah Rasyid al-Ghannusyi dan Syeikh Prof. Dr. Wasfī Abu Zayd (pakar ‘Maqāshid as-Syarī‘ah’. Diantara karyanya adalah Ri‘āyat al-Maqāahid fī Manhaj al-Qaradhāwī, Doha-Qatar, 2007).
Karya Syeikh al-Qaradhāwi mencapai 200 karya, berupa buku ilmiah. Lain lagi dengan makalah dan artikelnya yang tersebar luas. Bahkan buku-bukunya diterjemahkan ke mana-mana. Termasuk di Indonesia pemikirannya dikaji luas, dipelajari dan dijadikan rujukan.
Diantara karyanya yang tersebar luas di Indonesia adalah: Fiqih Zakat (diterjemahkan oleh Prof. Dr. Salman Harun, Prof. Dr. Didin Hafidhuddin, dan Dr. Hasanuddin dengan judul ‘Hukum Zakat’. Diterbitkan oleh Litera AntarNusa pada 1988 dan cetakan ke-12 pada 2011); Halal dan Haram, Fiqih Jihad, Fiqih Prioritas, Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Quran, Ibadah dalam Islam, Bid’ah dalam Agama, Min Fiqh al-Dawlah al-Islamiah, (Fiqh Kenegaraan), Nahw Fiqh Taysir, (Ke Arah Fiqh yang Mudah), Al-Fatwa bayn al-Indibat wa al-Tasayyub, Al-Fiqh al-Islami bayn al-Asalah wa al-Tajdid, Awamil al-Sa‟ah wa al-Murunah fi al-Syari‟ah al-Islamiah, Al-Ijtihad al-Mu‟asir bayn al-Indibat wa al-Infira, dan masih banyak lagi.
Syeikh al-Qaradhāwī: Seorang Alim
Dari sekilas tentang siapa sebenarnya Syeikh al-Qaradhāwī di atas dapatlah ditegaskan bahwa beliau adalah seorang alim. Jika tidak, maka tidak mungkin beliau dipercaya menjadi Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional (berdiri di London pada 2004). Dan ini pasti bukan propaganda. Dan, dapat dipastikan bahwa para ulama yang memberikan amanat kepada beliau untuk memimpin mereka. Apalagi wakil diantaranya adalah Syeikh Abdullah Bayyah, yang ilmunya sangat luar biasa.
Derajat beliau sebagai seorang alim diakui oleh dunia. Dan ini adalah fakta. Keilmuannya diakui oleh Mantan Mufti Saudi Arabia, Syeikh Abdul Aziz ibn Baz. Misalnya, ketika buku Syeikh al-Qaradhāwi yang berjudul al-Halāl wa al-Harām akan diterbitkan di Saudi Arabia, Syeikh Ibn Baz memberikan komentar, penuh adab dan menunjukkan kelembutan seorang dai.
Beliau berkata:
وإن كتبك لها وزنها وثقلها فى العالم الإسلامي، وقبولها العام عند الناس، ولذا نتمنى لو تراجع هذه المسائل لتحظى بالقبول الإجماعي عند المسلمين
“Sungguh, karya-karya Anda sangat dikenal di Dunia Islam. Juga diterima secara umum oleh masyarakat. Alangkah eloknya jika dalam delapan masalah ini (diantaranya: pakaian wanita dan pekerjaannya, tentang musik, mengenai foto, tentang rokok, masalah bersahabat dengan non-Muslim, dan lainnya) Anda rujuk kembali sehingga dapat diterima secara luas.”
Sebaliknya, dengan penuh adab seorang alim pula Syeikh Qaradhawi menyatakan bahwa mengakui keilmuan Syeikh Ibn Baz. Fatwa-fatwanya menjadi rujukan. Ilmunya mendalam. Namun, begitu berbeda pandangan dalam hal-hal yang sifatnya furū‘iyyah (cabang agama) merupakan hal yang sudah terjadi sejak lama. Para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama besar biasa berbeda pandangan. Namun begitu mereka tetap hati mereka tidak berpecah. Dan mereka biasa melaksanakan shalat di belakang sebagian yang lain (padahal lawan beda pendapat tadi).
Karena masalah beda pandangan ini adalah “barang lama” dan sejak dulu para ulama biasa berbeda pendapat, maka rasanya tidak mungkin menghilangkan sebab-sebab terjadinya beda pendapat. Dan para ulama sudah lama menegaskan sebab-sebab perbedaan pandangan, bahkan sudah ada yang menulis buku tentang, seperti kitab Raf‘u’l-Malām ‘an A’immati’l-A‘lām karya Imam Ibn Taimiyyah. (Lihat, Syeikh al-Qaradhāwī, Fatāwā Mu‘āshirah, (3/478).
Jadi, Syeikh Ibn Baz sangat mengakui keilmuan Syeikh al-Qaradhāwī. Begitu juga sebaliknya, Syeikh al-Qaradhāwī amat menghormati Syeikh Ibn Baz dan mengakui keilmuan beliau. Keduanya tidak saling-hina atau saling-merendahkan. Inilah sifat dan sikap para ulama.
Jadi, anggapan dan pernyataan bahwa Syeikh al-Qaradhāwī bukan seorang alim adalah pandangan yang amat keliru, tendensius dan kurang adab. Di sini kita harus mengingat kembali peringatan Allah dalam Al-Quran, “Janganlah karena kebencianmu terhadap suatu kaum (individu, kelompok, harakah dan gerakan) menjadikanmu tak dapat berlaku adil. Bersikap adillah, karena keadilan itu mendekatkan kepada ketakwaan.” (Qs. 5:8).
Adil dan Beradablah
Jika para ulama salaf dan ulama besar kontemporer bisa saling menghormati dan menghargai perbedaan, seyogyanya para dai dan para penuntut ilmu juga demikian. Karena Islam mengajarkan sikap adil dan beradab dalam berbeda pandangan.
Apalagi jika sudah masuk pada ranah “jarh” dan “tajrīh”. Sikap mudah menyerang para dai, para ulama, dan para tokoh umat. Ini amat berbahaya dan sangat merugikan dakwah. Dan hari ini fenomena ini makin meruyak. Oleh muhaddits as-Sayyid Muhammad Alawi al-Maliki al-Hasani al-Makki menyebutnya sebagai salah satu ujian dan musibah terbesar. Yaitu fenomena “takfīr” (mengkafirkan), mengkritik, dan membantah yang berubah menjadi sikap keras kepala, ingin menang sendiri, memusuhi, merusak kehormatan, membongkar aib, mudah menuduh, menguntit kekurangan dan menviralkan ketergelinciran. Sebaliknya malah menutupi kebaikan dan keutamaan orang lain. (Lihat, as-Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki al-Hasani, at-Tahdzīr min al-Mujāzafah bit-Takfīr (Surabaya: Hai’ah As Shofwah, 5).
Syeikh Ibn Baz maupun Syeikh Shaleh ibn al-‘Utsaimin (dalam rekaman ceramah beliau di youtube) banyak mengingatkan para dai yang mudah melakukan tahdzir agar berhenti melakukannya. Karena itu amat berbahaya dan merugikan umat.
Sebagai penutup, mari ingat kembali nasihat Syeikh Ibn Baz berikut ini:
“Di zaman ini tersebar bahwa banyak yang menisbatkan diri mereka kepada ilmu dan dakwah kepada kebaikan yang mencederai kehormatan saudara mereka dari kalangan para dai yang masyhur (terkenal) dan merusak kehormatan para penuntut ilmu, para dai, dan para dosen. Itu mereka lakukan dalam majelis-majelis mereka secara diam-diam. Atau, mereka rekam lalu mereka sebarkan ke tengah-tengah masyarakat. Kadang mereka melakukannya secara terang-terangan dalam ceramah umum di dalam masjid. Ini jelas bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Ini merusak hati orang-orang awam, menebarkan kebohongan dan berita batil serta menjadi sebab banyaknya ghibah dan adu-domba. Bahkan, ini membuka pintu keburukan bagi orang-orang yang lemah jiwa; yang terbiasa menebarkan syubhat dan fitnah dan amat bernafsu menyakiti perasaan orang-orang yang beriman.”
Lalu Syeikh Ibn Baz memberi nasihat penting:
“Aku nasihati saudaraku yang melakukan hal itu untuk bertubat kepada Allah dari apa yang telah ditulis oleh tangan mereka atau yang diucapkan lisan mereka; yang menjadi perusak hati sebagian pemuda dan mengisi jiwa mereka dengan kedengkian dan kebencian. Akhirnya, mereka dijauhkan dari menuntut ilmu yang bermanfaat dan dakwah hanya karena dirusak oleh “qīl wa qāl” (“katanya”: kata si anu dan menurut si fulan) dan membicarakan tentang si fulan dan fulan, bahkan sibuk mencari apa yang mereka anggap kesalahan orang lain.”
Hendaklah itu semua dihapus dengan melakukan amal baik dan bermanfaat: yang mendekatkan mereka kepada Allah dan bermanfaat bagi orang banyak. Dan, hendaklah mereka tidak cepat memberi label orang dengan kata “kafir”, fasik, dan bid’ah, tanpa dalil dan bukti yang kuat. Nabi Muhammad ﷺ pernah bersabda: Siapa yang berkata kepada saudaranya ‘Hai Kafir!’, maka label ini dapat kembali kepada salah satu dari mereka.” (Muttafaq Alayhi). (as-Sayyid Muhammad ibn Alawi al-Maliki al-Hasani, at-Tahdzīr, 16-17).
Mari kita jaga keadilan dan adab dalam bermuamalah dengan para ulama.
Bukan saja karena “daging mereka beracun”, tapi juga karena mereka
adalah “pewaris para nabi”. Kecuali, beradab itu lebih utama daripada
sekadar berilmu. Wallahu a’lamu bis-shawab.*
Pengajar di Pesantren Ar-Raudlatul Hasanah (Medan) & Anggota MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia)
Oleh: Qosim Nurseha Dzulhadi
Sumber : Hidayatullah.com
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com