[Wajah Syiah ] Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Syī’ah Dua Belas Imam

A.    Syī’ah Imamiyah
Untuk menjelaskan lebih jauh karakteristik Syī’ah Imamiyah, selain definisi di atas, Sahrustani menambahkan:
Mereka adalah "Kelompok yang mengatakan bahwa Imam Ali adalah pemimpin pasca-wafatnya Nabi melalui naskah tertulis dan wasiat dari Nabi secara jelas, serta melalui penunjukan langsung, bukan dengan isyarat melalui penyebutan kriteria". Mereka juga berkata bahwa tidak ada urusan yang paling urgen daripada masalah penentuan seorang pemimpin, sehingga saat beliau wafat hatinya telah kosong dari seluruh urusan umat, karena sebenarnya beliau diutus untuk mengangkat perselisihan dan mewujudkan persatuan, oleh karena itu tidak layak bagi beliau wafat sementara masih membebani mereka tugas berat. Maka menjadi kewajiban Nabi untuk memilih seorang yang akan menjadi rujukan melalui naskah tertulis. Dalam realitanya beliau telah menunjuk Imam Ali Ra terkadang dengan bahasa isyarat, terkadang dengan bahasa yang cukup jelas"[1].

B.     Syī’ah Imamiyah Itsna Asyariah
Sementara, istilah Itsna Asyariah, yang merupakan ciri khas dari sebagian Syī’ah Imamiyah, dinisbatkan kepada mereka yang meyakini dua belas (12) Imam. Dalam bahasa Muhammad Jawad Mughniyah:
Sifat yang dinisbatkan kepada Syī’ah Imamiyah yang meyakini adanya dua belas Imam yang namanya tersebut secara jelas, mereka itu adalah: 1. Abu al-Hasan Ali bin Abi Thalib "al-Murtadha" (23 SH-40 H), 2. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali bin Abi Thalib "Az-Zaki" (3-50 H), 3. Abu Abdullah al-Husain bin Ali "Sayyid as-Syuhada'" (4-61 H), 4. Abu Muhammad Ali bin al-Husain "Zainal Abidin", (38-94 H), 5. Abu Ja'far Muhammad bin Ali "Al-Baqir" (58-114 H), 6. Abu Abdillah Ja'far bin Muhammad "as-Shadiq" (80-148 H), 7. Abu Ibrahim Musa bin Ja'far "al-Kadhim", 8. Abu al-Hasan Ali bin Musa "Ar-Ridha" (153-203 H), 9. Abu Ja'far Muhammad bin Ali "al-Jawwad" (195-220), 10. Abu al-Hasan Ali bin Muhammad "al-Hadi" (214-254), 11. Abu Muhammad al-Hasan bin Ali "al-Askari" (214-254), Abu al-Kasim Muhammad bin al-Hasan "al-Mahdi" (256 H- …)[2].
Istilah ini, menurut Dr. Abdullah Fayyadh, muncul dan terkristal pasca-peristiwa ghaibah al-Kubra (gaibnya Imam ke dua belas), dimana peristiwa ini merupakan pondasi yang akan dibangun di atasnya seluruh bangunan Syī’ah Imamiyah itsna Asyariah[3]. 


2. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Syī’ah Dua Belas Imam
Pengantar
Mayoritas ulama' dan peneliti Syī’ah Dua Belas Imam, tak terkecuali di Indonesia, berpendapat bahwa Syī’ah lahir di masa kenabian. Konsekwensi logis dari pendapat ini adalah  bahwa Syī’ah dan seluruh ajarannya merupakan Islam itu sendiri yang otentik dan orisinil. Ditebar dan disemai oleh Rasulullah sendiri.  
Namun, pendapat ini mendapat kritik tajam dari kalangan ulama' dan peneliti Ahli Sunnah, sebab pendapat tersebut, menurut mereka bertentangan dengan sejarah, realita, serta teks-teks wahyu. Sebab jika inti dari ajaran Syī’ah adalah "al-Imāmah melalui Nash wa al-washiyyah" (Teks dan Wasiat), maka pemikiran seperti ini tidak ditemukan secara otentik muncul pada masa kenabian, namun masa-masa berikutnya.
Berikut ini ulasan pendapat para ulama' dan peneliti Syī’ah seputar kelahiran dan perkembangan Syī’ah sekaligus studi kritis atas pendapat-pendapat tersebut:
a.      Syī’ah Muncul pada Masa Kenabian
Hampir seluruh ulama' Syī’ah berpendapat bahwa Syī’ah muncul di zaman Rasul. Menurut Muhammad Husain az-Zain al-Amily[4] dan Makruf al-Husaini[5], Rasul adalah penebar benih pertama tasyayyu' (kesyi'ahan) serta penyemainya melalui perintah-perintah yang selalu ditaati. Rasul pula yang telah memberi kabar gembira bahwa Ali dan pengikutnya telah mendapatkan ridha dari Allah, akan masuk surga, dan berada di samping kiri dan kanan Nabi serta demikian pula Ahli Baitnya.
Pendapat seperti ini dianut pula oleh an-Naubakhti dan al-Qummi, melalui definisi mereka berdua tentang Syī’ah, bahwa Syī’ah adalah kelompok Ali bin Abi Thalib di zaman Rasul, yang kemudian dikenal sebagai pembela Ali, selanjutnya mengangkatnya sebagai Imam (khalifah).
Syeikh as-Shaduq, juga mengumpulkan beberapa Hadis yang menunjukkan bahwa Syī’ah muncul di zaman Nabi, karena beliaulah yang pertama kali memerintahkan kepada para Sahabat untuk mencintai Imam Ali. Nabi juga memberi sugesti bahwa mereka akan masuk surga.
Seorang ulama' Syī’ah kontemporer lain, Muhammad al-Husain Ali al-Kasyif al-Ghitha', juga berpendapat semisal. Menurutnya, orang yang pertama kali meletakkan benih tasyayyu' (kesyi'ahan), adalah peletak syari'at itu sendiri. Benih itu disemai bersamaan dengan proses penyemaian Islam itu sendiri. Selama beliau masih hidup, tanaman itu terus-menerus disiram dan dijaga, hingga berkembang dan membesar setelah wafatnya[6].
Thabathabai juga berpandangan yang sama. Menurutnya, awal mula kemunculan Syī’ah adalah pada masa kenabian. Saat itu kelompok ini dikenal dengan julukan Syi'atu Ali (pengikut Ali). Menurutnya, kemunculan dan penyebaran Islam yang memakan waktu hingga dua puluh tiga tahun pada masa kenabian itulah yang menyebabkan munculnya kelompok seperti ini di antara para Sahabat[7].
Seorang penulis Amerika dalam bukunya Hādhir al-Ālam al-Islāmy, Lotrop Stodard, turut memperkuat asumsi ini. Menurutnya, nama pertama yang muncul dalam Islam pada masa kenabian adalah Syī'ah, nama ini dikenal sebagai penamaan atau panggilan bagi empat orang Sahabat, yaitu: Abu Dzar, Salman al-Farisi, Miqdad, dan Ammar bin Yasir, demikian berlanjut hingga peristiwa Shiffīn, dimana mereka dikenal sebagai pendukung Ali[8].
Intinya, mayoritas ulama' Syī’ah berpendapat bahwa Syī’ah muncul dan berkembang pada masa kenabian, dan Rasulullah yang pertama kali meletakkan benih tasyayyu' (kesyi'ahan) tersebut serta menyemainya, sehingga dengan demikian Syī’ah –menurut mereka- merupakan Islam itu sendiri.
Berdasarkan hal-hal di atas, para penganut Syī’ah menaifkan pandangan yang menyatakan bahwa Syī’ah merupakan mazhab yang lahir dari rahim sang Yahudi Abdullah bin Saba'. Pandangan naif ini –menurut mereka- tidak mungkin dipegang kecuali oleh mereka yang terkena penyakit fanatisme[9]. 

Kritik dan Komentar 
Namun, apa yang mereka sebut sebagai benih pertama itu hakikatnya tidak lebih dari sekadar manāqib (pujian) terhadap Imam Ali. Pujian semacam ini juga disampaikan oleh Nabi kepada Sahabat lainnya, terutama 10 orang yang dijanjikan masuk surga "al-asyarah al-mubas-syarūn bi al-jannah". Sejumlah pujian tersebut tidak ada sangkut-pautnya dengan pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai Imam atau khalifah, setelah Rasul.
Jika benar apa yang mereka persepsikan, mengapa setelah wafatnya Rasul, justru benih tersebut tidak berkembang apalagi berbuah. Buktinya pasca-meninggalnya Rasul, Imam Ali sendiri tidak kemudian mengasingkan diri serta membentuk masyarakat tersendiri secara eksklusif, akan tetapi beliau juga berbaur dengan masyarakat Islam lainnya, serta ikut serta secara aktif dalam semua aktifitas sosial dan politik negara Islam saat itu.
Dan jika benar apa yang mereka persepsikan, bukankah realita seperti ini justru menguatkan pandangan bahwa Nabi Muhammad telah gagal dalam menjalankan misinya? Jika Rasulullah gagal semestinya Islam belum mencapai titik paripurna. Hal ini tentunya bertentangan dengan ayat 3 dari Surat al-Maidah. Dan jika Islam belum mencapai puncak kesempurnaannya, maka tidak mungkin Rasul dipanggil menghadap Allah sebelum misinya tercapai.
Mungkin timbul pertanyaan: Bukankah peristiwa minimnya pengikut seperti itu, serupa dengan apa yang terjadi dengan Nabi Isa, dimana pasca-wafatnya beliau, penganutnya ditindas, dan agamanya tidak dianut kecuali oleh beberapa orang saja?
Jawabnya: Tentu saja tidak serupa. Kenabian Muhammad Saw adalah kenabian penutup dan pamungkas. Sementara kenabian Isa As, tidak. Kenabian pamungkas harus bersifat paripurna, karena tidak akan diutus Nabi lain setelah beliau, karenanya sepeninggal Beliau Saw. ajarannya sudah harus paripurna secara konsep dan teraplikasikan secara nyata.
b.      Syī’ah Muncul setelah Wafatnya Rasulullah
Di antara pendukung pendapat ini adalah: Ya'qubi, Ahmad Amin, Muhammad Ali Abu Rayyan, Goldezher dan Ibnu Khaldun. 
1. Ya'qubi
Menurut Ya'qubi, setelah Rasulullah Saw wafat, beberapa Sahabat –sebagaimana tercatat dalam sejarah- lebih cenderung (simpati) kepada Ali bin Abi Thalib, sehingga mereka terlambat untuk berbaiat kepada Abu Bakar. Mereka itu di antaranya adalah: Al-Abbas bin Abdul-Muthallib, al-Fadl bin Abbas, Zubair bin Awwam, Kholid bin Said, Miqdad bin al-Aswad, Salman al-Farisi, Abu Dzar al-Ghifari, Ammar bin Yasir, al-Barra' bin Azib, dan Ubay bin Ka'b[10].
2. Ahmad Amin
Sementara, Ahmad Amin berpendapat bahwa benih pertama Syī’ah adalah kelompok yang memandang bahwa Ahli Bait  adalah orang yang paling utama untuk menggantikan beliau. Di antara Ahli Bait yang paling utama adalah Abbas paman Nabi, dan Ali bin Abi Thalib, anak pamannya dan menantunya. Sementara Abbas sendiri tidak menyangkal bahwa Ali bin Abi Thalib lebih utama darinya, walaupun ia merasa lebih berhak atas warisan tanah "Fadak".
Menurut Ahmad Amin, mulanya, kampanye untuk Imam Ali muncul secara sederhana. Intinya tidak ada naskah tertulis untuk menduduki jabatan khalifah, tapi diserahkan kepada pendapat umat"[11].  
3. Muhammad Ali Abu Rayyan
Dalam buku Tārīkh al-Fikr al-falasafi fī al-Islām, Abu Rayyan menyebutkan sebuah pendapat bahwa Ali bin Abi Thalib merasa paling berhak atas khilafah secara syar'i (legal), karena ia adalah putra paman Rasulullah, suami putrinya Fatimah, termasuk as-sabiqun al-awwalun (orang yang pertama masuk Islam), serta mendapat dukungan dari beberapa kalangan yang berpendapat bahwa tampuk khilafah sebaiknya dipegang oleh Ahli Bait, terutama Ali bin Abi Thalib[12]. 
4.5. Goldezher dan Ibnu Khaldun
Pendapat semisal didukung pula oleh seorang orientalis Goldezher. Goldezher dalam bukunya "al-Aqīdah wa as-Syarī'ah" menyatakan bahwa Syī’ah muncul setelah wafatnya Rasul dalam peristiwa "as-Saqīfah"[13].
Sementara, Ibnu Khaldun menukil sebuah pendapat bahwa Syī’ah muncul setelah wafatnya Muhammad Rasulullah Saw, lalu terlihat semakin jelas pada saat terjadinya proses Syura di "as-Saqīfah"; dimana terdapat sejumlah Sahabat yang menaruh simpati kepada Imam Ali, serta memandang bahwa beliau adalah sosok yang paling berhak atas khilafah dari Sahabat lainnya. Lalu, setelah khilafah dipegang oleh lainnya, mereka merasa menyesal dan menyayangkan. Mereka itu di antaranya: Zubair bin Awwam, Ammar, Miqdad, dan lainnya ... [14]

Komentar dan Kritik
Jika pasca-wafatnya Rasulullah Saw muncul pendapat yang mendukung Imam Ali sebagai khalifah, maka muncul pula pendapat lain yang mendukung Saad bin Ubadah sebagai khalifah, terutama dari kalangan Anshar. Kalangan Muhajirin juga berpendapat bahwa tampuk khilafah harus berada di tangan mereka. Perbedaan pendapat seperti ini –menurut Ibnu Khaldun- sangat wajar terjadi dalam semua proses syura dan semua proses pemilihan[15].
Proses syura yang baik ditandai dengan munculnya beragam ide dan gagasan lengkap dengan argumentasi masing-masing, dilanjutkan dengan proses sharing dan adu argumentasi yang diungkap dengan penuh etika meskipun terkadang terjadi benturan ide yang keras. Terakhir ditutup dengan terpilihnya salah satu pendapat, baik secara aklamasi maupun secara voting.
Justru yang tidak wajar adalah jika dalam syura tidak terjadi ketiga proses tersebut. Lebih tidak wajar lagi jika ketiga proses di atas benar-benar telah dilalui dan keputusanpun telah diambil, namun masing-masing kubu tidak mau tunduk dengan keputusan yang sudah ditetapkan.
Munculnya beragam pendapat serta terjadinya perbedaan pandangan tidak serta-merta menunjukkan terjadinya kubu di kalangan umat. Imam Ali sendiri walaupun terlambat, pada akhirnya ikut berbaiat kepada Abu Bakar di depan publik, mendengar dan mentaati perintahnya, serta ikut serta secara aktif dalam ghazwah Bani Hanifah[16].
Perbedaan pendapat seperti ini, justru mendukung pandangan yang menunjukkan bahwa tidak pernah ada naskah tertulis dan wasiat yang baku serta jelas dari Rasulullah Saw tentang siapa yang akan menggantikan beliau sebagai khalifah setelah wafat; karena jika benar naskah dan wasiat itu ada, tidak mungkin para Sahabat berselisih pendapat tentang siapa yang paling berhak menggantikan Nabi Saw sebagai khalifah. Satu hal yang sangat krusial dalam kehidupan umat, dimana kalangan Syī’ah sendiri menganggapnya sebagai bagian dari rukan iman.
Jadi, hingga masa terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah dalam peristiwa as-Saqīfah di balairung Bani Sa`idah, belum terbentuk kubu di kalangan umat. Dalam artian; pada saat itu belum ada Islam Sunni atau Islam Syi'ah. Mereka adalah umat yang satu, dengan beragam ide dan gagasan. Merekapun bersatu padu dalam membangun, menyebarkan dan menegakkan agama Allah di muka bumi, meskipun terjadi beberapa perbedaan pendapat di antara mereka.  


[1] Syahrustani, al-Milal wa an-Nihal, hlm. 1/163   
[2] Muhammad Jawwad Mughniyah, As-Syī’ah fi al-Mīzān, (Beirut: Daru al-Jawwad, dan Dar at-Tayyar al-Jadid, Cet. 10, 1989), hlm. 427   
[3] Abdullah Fayyadh, Tārīkh al-Imāmiyah wa aslāfuhum min as- Syī’ah, (Beirut: Muassasah al-A'lami, Cet. II, 1975)
[4] Muhammad Husain az-Zain al-Amily, As-Syī’ah fī at-Tārīkh, (Beirut: Dar al-Atsar li at-Tiba'ah wa an-Nasr, 1979), hlm. 37     
[5] Makruf al-Husaini, Ushūl at-Tasyrī', (Beirut: Dar al-Qolam), hlm. 17
[6] Muhammad al-Husain Ali Kasyif al-Ghita', Ashlu as-Syī’ah wa Ushūluhā, (Beirut: Matba'ah al-A'lami, t.t), hlm. 44
[7] Muhammad Husain at-Thabathaba'i, As-Syī’atu fī al-Islām, (t.k:  t.p., t.t.), hlm. 23   
[8] Lotrop Stodard, Hādhir al-Ālam al-Islāmy, (Beirut: Daru-l-Fikr, t.t.), hlm. 1/188   
[9] Muhammad Husain al-Amily, As-Syī’ah fī at-Tārīkh, hlm. 37-38.     
[10] Ahmad bin Abi Ya'qub bin Ja'far bin Wahab bin Wadhih Ya'qubi, Tārīkh Ya'qūbi, (Beirut: Dar as-Shadir, t.t), hlm. 2/124     
[11] Ahmad Amin, Fajru al-Islām, (Mesir: Mahrajan al-Qira'ah li al-Jami', 1997), hlm. 266.      
[12] Muhammad Ali Abu Rayyan, Tārīkh al-Fikr al-Islāmy fī al-Islām, (Kairo: Daru an-Nahdhah al-Arabiyah, t.t), hlm. 125
[13] Ahmad al-Waily, Huwiyyāt as-Syī'ah, (Beirut: Dar az-Zahra', Cet. I, 1400 H), hlm. 25     
[14] Ibnu Khaldun, al-`Ibar Wa diwān al-Mubtada' au al-Khobar fī Ayyām al-arab wa al-Ajam wa al-Barbar wa min 'asyharihum min Dzawi-as-shultah al-Kibār, (Beirut: Lebanon: 1978), hlm. 3/364      
[15] Lihat Ibnu Taimiyah, Minhaj as-Sunnah fī Naqdhi kalām as-Syi''ah al-Qadariyah, Dr. Muhammad Rasyad Salim (Ed), (Riyadh: Maktabah Riyadh al-Hadisah, t.t), hlm. 1/36
[16] Imam Haramain Al-Juwaini, al-Irsyād Ilā Qawāthi' al-Adillāh fī Ushūl al-I'tiqād, Dr. Muhammad Yusuf Musa (Ed), dan Dr. Ali Abdu al-Mun'im, (Kairo-Mesir: Maktabah al-Khanji, t.t.) hlm. 328

Penulis : Dr. M. Kholid Muslih, MA 
Ph.D. Bidang Aqidah-Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir  Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Ilmu Akidah Pascasarjana Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor


 

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

أحدث أقدم