GemaDakwah :
Para peneliti dan sarjana berbeda pendapat mengenai definisi Syī’ah secara istilah, seperti tertera sebagai berikut:
bersambung...
Para peneliti dan sarjana berbeda pendapat mengenai definisi Syī’ah secara istilah, seperti tertera sebagai berikut:
a. Definisi Syī’ah Menurut Ulama' Ahlu Sunnah
Ulama' Ahlu Sunnah tidak satu kata
dalam mendefinisikan Syī’ah; sebagian berpendapat bahwa Syī’ah adalah pengikut
dan pendukung Imam Ali dan Ahlu al-Bait, sebagian menambahkan kriteria lain
yaitu pandangan bahwa Imam Ali lebih utama dari Sahabat lainnya, sebagian
menambahkan kategori lain lagi yaitu bahwa Imam Ali dan keturunannya lebih
berhak memegang tampuk kepemimpinan pasca-meninggalnya Nabi Saw. Sementara, sebagian lagi
menambahkan ketegori lain yaitu keyakinan bahwa Imam Ali adalah pemimpin pasca-meninggalnya
Nabi yang diperkuat dengan naskah tertulis serta wasiat dari Nabi. Tidak
tampilnya beliau sebagai pemimpin itu disebabkan oleh kezaliman lainnya, atau
karena taqiyyah darinya.
Berikut definisi-definisi tersebut
secara terperinci:
Imam Abu Hasan Al-Asy'ari (W. 424 H)
berpendapat bahwa sebuah kelompok disebut Syī’ah "Karena mereka mendukung
Imam Ali Ra, serta menganggapnya lebih utama daripada Sahabat Nabi
lainnya"[1].
Sementara, Ibnu Hazm (W. 456 H) yang
hidup sezaman dengan Abu Hasan al-Asy’ari berpendapat bahwa kriteria Syiah tidak
hanya mendukung Imam Ali tapi juga keturunannya dengan menganggap mereka sebagai
manusia terbaik dan lebih utama dari para Sahabat lainnya dalam memegang tampuk
kepemimpinan pasca-meninggalnya Nabi Saw.
"Siapa yang setuju bahwa Imam Ali Ra merupakan manusia
terbaik setelah Rasul serta menganggap beliau dan keturunannya paling berhak
untuk memegang tampuk kepemimpinan, maka ia termasuk Syī’ah, walaupun ia tidak
sepakat dengan mereka dalam masalah lain. Tapi jika ia tidak sepaham dalam
hal-hal yang kita sebutkan di atas, maka ia tidak bisa disebut Syi'ah"[2].
Sedangkan Ibnu Khaldun (1332-1406
M), mendefinisikan Syī’ah dengan definisi yang
lebih umum: "Pengikut Imam Ali dan Ahli al-Bait"[3]. Definisi ini sering diketengahkan oleh ulama'
Syi''ah.
Adapun Syahrustani (W. 548 H), mendefinisikan Syī’ah
sebagai berikut:
"Orang-orang yang mengikuti dan mendukung Imam Ali, lalu
berkeyakinan bahwa Imam Ali adalah pemimpin yang ditentukan melalui naskah
tertulis dan wasiat (baik jelas maupun samar) dari Nabi, lalu kepemimpinan tersebut
diwariskan secara turun-temurun kepada keturunannya; dimana kepemimpinan
tersebut tidak keluar dari mereka kecuali karena kezaliman dari pihak lain,
atau karena taqiyyah dari mereka. Bagi mereka masalah Imamah
(pemerintahan) merupakan masalah prinsipil dan termasuk salah satu rukun agama,
yang tidak boleh diabaikan oleh Rasul serta diserahkan kepada pilihan publik
(umat).
Selain mensepakati konsep Imamah berdasarkan naskah tertulis
dan wasiat, mereka juga meyakini kemaksuman para Nabi dan Imam (baik dari
kesalahan besar maupun kecil), serta konsep at-tawalli wa at-tabarri
(mengangkat Imam Ali dan keturunannya sebagai wali atau pemimpin serta berlepas
diri dari para musuhnya, baik secara lisan maupun perbuatan)" [4].
Definisi Syahrustani yang
dianggap oleh banyak kalangan paling komprehensip
(lengkap-mencakup) ini memuat 7
kriteria Syī’ah sebagai berikut:
1.
Mendukung Imam Ali;
2.
Meyakininya sebagai pemimpin pasca-meninggalnya
Nabi tanpa jeda waktu yang ditentukan melalui mekanisme Naskah Tertulis dan
Wasiat dari Nabi;
3.
Kepemimpinan ini diwariskan kepada keturunannya
secara turun-temurun yang juga melalui jalur teks
dan wasiat;
4.
Keyakinan ini merupakan masalah
prinsipil dalam agama, karenanya tidak boleh diabaikan oleh Rasul, dengan
diserahkan kepada Umat;
5.
Meyakini bahwa para Imam merupakan
orang-orang yang maksum seperti Nabi Saw.;
6.
Meyakini konsep at-tawallī wa attabarrī (loyal terhadap para Imam dan berlepas
diri dari musuh-musuhnya).
Demikian beberapa definisi yang diketengahkan
oleh para ulama’ Perbandingan Agama dan Firaq dari kalangan Ahlu Sunnah mulai
dari Imam al-Asy’ari, Ibnu Hazm, Ibnu Khaldun dan Syahrustani.
b. Definisi Syī’ah Menurut Ulama' Syī’ah
Secara redaksi para ulama' Syī’ah juga
tidak satu kata dalam mendefinisikan Syī’ah; sebagian berpendapat bahwa Syī’ah adalah
pengikut Ahlu al-Bait, sebagian berpendapat bahwa Syī’ah adalah kelompok Ali
bin Abi Thalib, yang mendukungnya serta mengangkatnya menjadi pemimpin,
sebagian mengatakan bahwa Syī’ah adalah kelompok yang berkeyakinan bahwa Imam Ali
bin Abi Thalib adalah pemimpin pasca-meninggalnya Nabi tanpa jeda waktu, serta
membelanya dengan penuh loyalitas, sebagian menambahkan kategori lain yaitu
adanya naskah tertulis dan wasiat dari Nabi.
Berikut contoh beberapa definisi Syī’ah
menurut tiga orang ulama' Syī’ah klasik, dan dua orang ulama' Syī’ah kontemporer:
Dua orang ulama' Syī’ah klasik yaitu
an-Naubakhti, yang hidup pada awal abad keempat -wafat tahun 310 H-, serta
al-Qummi yang wafat pada tahun 300 H mengatakan bahwa Syī’ah:
"Adalah kelompok Ali bin Abi Thalib, yang disebut
pengikut Ali di zaman Nabi. Kelompok ini di kemudian hari dikenal
dengan kelompok yang selalu bersamanya, serta mengangkatnya sebagai
pemimpin"[5].
Sementara, Syeikh al-Mufid seorang
ulama' Syī’ah ternama yang hidup pada abad kelima Hijriyah, tepatnya wafat pada
tahun 423 H, juga berpendapat demikian, namun dia menambahkan kriteria lain
yaitu, adanya loyalitas, keyakinan, serta penolakan terhadap kepemimpinan yang
lainnya. Dalam hal ini Mufid berkata:
"Syī’ah adalah pengikut yang sangat loyal terhadap Amir
Mukminin (Ali bin Abi Thalib). Mereka meyakini kepemimpinannya pasca-wafatnya Rasulullah
Saw tanpa jeda waktu, serta menolak kepemimpinan sebelumnya. Mereka juga
meyakini bahwa Imam Ali adalah pemimpin yang diikuti, tidak mengikuti siapapun"[6].
"Jadi lafal Syī’ah jika ditambahkan dengan huruf alif
dan lām, selalu bermakna pengikut Amir
Mukminin (Ali bin Abi Thalib), yang mengikutinya dengan penuh loyalitas, serta
meyakini kepemimpinannya pasca meninggalnya Rasulullah Saw"[7].
At-Thabathabai, seorang ulama' Syī’ah
kontemporer mengatakan bahwa Syī’ah adalah sebutan bagi mereka yang berpendapat
bahwa kepemimpinan setelah Nabi Saw hanya dipegang oleh Ahli Bait. Sehingga yang
dimaksud dengan Syī’ah dalam wawasan keislaman adalah "Pengikut Ahli
Bait"[8].
Sementara, Muhammad Jawad Mughniyah,
yang juga merupakan salah satu ulama' Syī’ah kontemporer, mengatakan bahwa
lafal Syī’ah merupakan simbol bagi mereka yang berkeyakinan bahwa Ali bin Abi
Thalib adalah khalifah (pemimpin) dengan naskah tertulis dari Nabi.
Menurut Jawad Mughniyah, inti Syī’ah adalah
keyakinan "Bahwa seorang Imam (dalam hal ini Imam Ali dan keturunannya)
diangkat melalui naskah tertulis, memegang tampuk pemerintahan, serta memerintah
dengan kehendak Allah bukan dengan kehendak manusia"[9].
A.
Kesimpulan, Analisa dan Komentar
Sebenarnya, jika apa yang dimaksudkan
dengan Syī’ah adalah mereka yang memiliki kecenderungan, dukungan, atau
anggapan bahwa Imam Ali dan Ahli Bait lebih utama dalam memegang tampuk
kepemimpinan pasca-Nabi Saw, seperti yang diungkap oleh Imam Asy'ari, Ibnu
Hazm, Ibnu Khaldun, dari kalangan Ahli Sunnah, maupun Al-Qummi, an-Naubakhti
serta Mufid, dari kalangan Syī’ah, maka kita dapat jumpai sejumlah Sahabat yang
tidak terorganisir seperti Salman al-Farisi, al-Miqdad, Abu Dzar al-Ghifari,
Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin al-Awwam dan lain-lain, termasuk di dalamnya
beberapa anggota dari Bani Hasyim yang memiliki kecenderungan, angan-angan dan
pandangan bahwa Imam Ali adalah Sahabat yang paling layak untuk menjadi khalifah pasca-wafatnya Nabi Saw.
Namun demikian, menurut Ibnu Khaldun,
"Karena kuatnya kaki mereka tertancap dalam keislaman (maksudnya, kuatnya
pemahaman dan pengamalan terhadap ajaran Islam), serta karena didorong oleh
semangat untuk menjaga kebersamaan dan kesatuan umat, apa yang mereka lakukan,
tidak lebih dari sekadar kecenderungan, pandangan, menyesal dan
menyayangkan"[10].
Hingga pada akhirnya mereka membaiat
ketiga khalifah sebelum Imam Ali, serta bersatu-padu dalam
membela, mengajarkan dan menyebarkan Islam ke seluruh penjuru dunia. Intinya,
mereka tidak sampai membuat kubu, apalagi berkembang menjadi sebuah gerakan
oposisi yang selalu melawan pemerintahan yang ada.
Demikian kondisi terus berlanjut
hingga akhirnya Imam Ali dibai'at menjadi khalifah keempat setelah syahidnya
khalifah ketiga Utsman bin Affan Ra., yang disusul dengan terjadinya peristiwa
Jamal, lalu peristiwa as-Shiffin, dimana peristiwa terakhir ini kemudian
memunculkan tiga kubu: Kubu Muawiyah bin Abi Sofyan, kubu Khawarij, dan kubu
pendukung Imam Ali bin Abi Thalib. Pada saat itulah awal dimungkinkannya
pemakaian lafal Syī’ah dengan makna pendukung
Imam Ali yang membaiat dan membela serta berperang di barisannya
melawan dua kubu lainnya.
Namun, pengertian Syī’ah yang sangat
longgar ini -menurut Dr. Muhamad Emarah- bukan
pengertian yang tepat secara epistemologi (istilah). Sebab ciri paling
khusus yang membedakan Syī’ah dengan kelompok lainnya bukan sekadar
kecederungan kepada Imam Ali, bukan pula pandangan bahwa Imam Ali dan Ahli Bait
adalah sosok yang paling tepat untuk memegang tampuk kepemimpinan
pasca-meninggalnya Rasulullah Saw. Perhatikanlah, kelompok Mu'tazilah Baghdad
dianggap berbeda dengan kelompok Mu'tazilah Bashrah di antaranya karena mereka
memandang bahwa Imam Ali lebih utama menjadi khalifah ketimbang Sahabat lainnya.
Namun demikian, mereka bukanlah Syi'ah. Mereka bahkan dikenal sebagai lawan Syī’ah
secara pemikiran maupun politik, meskipun mereka terkadang tidak keberatan
dijuluki Syī’ah Mu'tazilah.
Jadi, sekali lagi, pemikiran yang
menyatakan bahwa Imam Ali lebih utama daripada Sahabat lainnya, bukanlah
standar yang membedakan Syī’ah dengan madzhab lainnya. Tapi yang membedakannya,
sebagaimana ditulis oleh Dr. Emarah, adalah keyakinan bahwa kepemimpinan itu
ditetapkan dengan cara "Nash" (Naskah tertulis) serta "Washiyyah"
(wasiat) dari Nabi [11].
Sehingga definisi yang paling lengkap dan sempurna untuk menjelaskan Syī’ah adalah
definisi Syahrustani dan Muhammad Jawad Mughniyah. Dalam hal ini Syahrustani
mengatakan:
Orang-orang yang mengikuti dan mendukung Imam Ali,
berkeyakinan bahwa Imam Ali adalah pemimpin pasca-wafatnya Nabi melalui naskah
tertulis dan wasiat (baik jelas maupun samar) dari Nabi, lalu kepemimpinan
tersebut diwariskan secara turun-temurun kepada keturunannya, dimana
kepemimpinan tersebut tidak keluar dari mereka kecuali karena kezaliman dari
pihak lain, atau karena taqiyyah dari mereka. Mereka juga memandang bahwa
masalah Imamah (pemerintahan) ini adalah
masalah prinsipil dan termasuk salah satu rukun agama, yang tidak boleh
diabaikan oleh Rasul serta tidak boleh diserahkan kepada pilihan publik (umat).
Selain mensepakati konsep Imamah berdasarkan naskah tertulis
dan wasiat, mereka juga sepakat tentang kemaksuman para Nabi dan Imam (baik
dari kesalahan besar maupun kecil), serta konsep at-tawalli wa attabarri
(mengangkat Imam Ali dan keturunannyaa sebagai wali atau pemimpin serta
berlepas diri dari para musuhnya, baik secara lisan maupun perbuatan)[12].
Hanya saja apa yang disampaikan oleh
Sahrustani lebih tepat untuk mendefinisikan Syī’ah Imamiyah dari aliran Itsnā
Asyariah (dua belas Imam) dan Ismailiyah, karena dengan definisi
mereka itu, mengeluarkan Syī’ah aliran Zaidiyah, sebab Zaidiyah (Moderat) tidak
berpendapat "Nash wal Washiyyah", tidak pula menganggap Ahlu
Sunnah telah melakukan kezaliman, serta tidak memiliki keyakinan tentang
taqiyyah. Juga mengeluarkan Syī’ah aliran ekstrem, sebab Syī’ah aliran ini
mengangkat derajat Imam Ali setingkat dengan derajat Nabi bahkan Tuhan.
Pendapat ini tentunya berdasarkan pandangan sebagian peneliti yang membagi Syī’ah
ke dalam: Zaidiyah, Imamiyah dan Ghulah
(aliran ekstrem)[13].
Tapi, jika kita ingin
mendefinisikan Syī’ah dengan memasukkan seluruh alirannya maka definisi yang
paling tepat adalah:
"Pendukung dan pengikut Imam Ali
dan Ahlu Bait, yang berpandangan bahwa Imam Ali lebih utama dari Sahabat
lainnya, serta lebih berhak untuk menjadi khalifah pasca-wafatnya Nabi".
Sementara keharusan adanya nash
(naskah tertulis) dan wasiat Nabi, merupakan ciri khas dari Syī’ah Imamiyah dan
Isma’iliyah, seperti yang akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa apa
yang disampaikan oleh an-Naubakhti dan al-Qummi bahwa telah terbangun sebuah
kubu di zaman Rasul, telah didustakan oleh realita sejarah, sebab dalam
kenyataannya Rasulullah sangat memerangi segala bentuk pengkubuan dan fanatisme
dan menganggapnya sebagai bentuk sisa-sisa jahiliyah, karena semuanya itu
ujung-ujungnya bermuara pada perpecahan.
Dalam hal ini peristiwa Abu Dzar yang
mengolok-olok Bilal bin Rabah dengan sebutan Ibnu as-Sauda' (anak
hitam/negro), bisa dijadikan contoh; dimana Rasulullah sangat marah melihat
peristiwa tersebut.
Contoh lain adalah tatkala salah
seorang Anshar berkelahi dengan salah seorang Muhajirin, lalu sang Anshar
memanggil kawan-kawannya dari Anshar, sang Muhajirpun memanggil kawan-kawannya
dari Muhajirin, Rasulullah lalu bersabda: "Bagaimana kalian bisa
mengungkit-ungkit kembali semangat jahiliyah, sementara saya berada di tengah
kalian"[14]. Dalam kesempatan lain menanggapi
masalah seperti ini Rasulullah bersabda: "Tinggalkan hal itu, karena
sesungguhnya ia busuk"[15].
[1] Abu al-Hasan bin Isma'il
al-Ay'ari, Maqālat al-Islāmiyyin wa ikhtilāf
al-Mushallīn, Helmoth
Ryter (Ed), (Kairo: al-hai'ah al-amah liqushur ats-tsaqafah, Cet. IV, 2000),
hlm. 3
[2] Ibnu Hazm al-Andalusi, al-Fasl
fī al-Ahwā' wa an-Nihal, (Kairo:
Maktabah al-Khonji, 1321 H.), hlm. 2/113
[3] Abdurrahman Ibnu khaldun, Muqaddimah,
(Kairo: Dar as-Sya'b, Cet. I), hlm. 175
[4] Abi al-Fath Muhammad Abdu
al-Karim as-Syahrustani, al-Milal wa an-Nihal, Muhammad Sayyid al-Kailani (Ed), (Kairo: Maktabah Mustafa al-Halaby, Cet. I, 1976), hlm.
1/146
[5] Abu Muhammad al-Hasan bin
Musa an-Naubakhti, dan Saad bin Abdullah al-Qummi, Firaq as-Syī’ah, Tahqiq
Dr. Abdul Mun'im al-Hifni, (t.k: Maktabah ar-Rasyad, t.t), hlm. 15
[6] Muahammad bin Muhammad Nu'man
al-Mufid, Awāil al-Maqālat fī al-Madzāhib
al-Mukhtārāt, Komentar
Fadhlullah az-Zinjani, (Najf: Al-Haidariyah, Cet. III, 1393), hlm. 33.
[7] Ibid.
[8] Muhammad Husain at-Tabatabai,
as-Syī’ah fī al-Islām, (t.k: t.p dan t.t), hlm. 30
[9] Muhammad Jawad al-Mughniyah, as-Syī’ah
fī al-Mīzān, (Beirut: Dar al-Jawwad, Beirut: dan Dar at-Tayyar al-Jadid, Cet. X, t.th),
hlm. 10
[10] Ibnu Khaldun, Al-‘Ibar wa
Dīwān al-Mubtada', (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnaniyah, 1978), hlm. 3/364.
[11] Dr. Muhammad Emarah, Tayyār al-Fikri al-Islāmi, (Kairo:
Dar as-Syuruq, 1991), hlm. 200-201.
[12] Syahrustani, al-Milal wa
an-Nihal, (Beirut: Dar Kutub al-ilmiah), hlm. 1/144-145
[13] Sebagian peneliti membagi
Syī’ah ke dalam: Zaidiyah dan Imamiyah. Imamiyah terbagi ke dalam:
Ismailiyah dan Itsnā Asyariah. Sebagian ada yang memasukkan Zaidiyah,
Ismailiyah dan Itsna Asyariah ke dalam Imamiyah. Sementara Kasyif Ali Ghita',
mengeluarkan semua kelompok dari Imamiyah kecuali Itsna Asyariah. Menurutnya
yang dimaksud dengan Imamiyah adalah Itsna Asyariah. Sementara Thabathabai dan
Muhsin al-Amili berpendapat bahwa Imamiyah merupakan induk, yang menyempal
darinya beragam aliran. (Lihat, Dr. Aisyah Yusuf al-Mana'i, Ushūl al-Aqīdah baina
al-Mu'tazilah wa as-Syī’ah al-Imīmiyah, (Doha: Maktabah Tsaqafah, t.t), hlm. 39
[14] Imam al-Bukhari, Shaheh
al-Bukhāri, Kitab: Manāqib, Bab: Ma nuhiya min dakwā al-Jāhiliyyah, No. 3257, dan Kitab: Tafsīr
al-Qur’ān, Bab: Sawaun ‘alaihim astaghfarta lahum am lam tastaghfir
lahum, No. 4525.
[15] Imam Muslim, Shaheh Muslim, Kitab: al-Birru wa
as-shilah
wa al-adab, Bab: Nasru
al-akh dhāliman au madhluman, No. 4682.
Penulis : Dr. M. Kholid Muslih, MA
Ph.D. Bidang Aqidah-Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Ilmu Akidah Pascasarjana Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor
Penulis : Dr. M. Kholid Muslih, MA
Ph.D. Bidang Aqidah-Filsafat Universitas Al-Azhar Kairo Mesir Dosen Tetap dan Ketua Program Studi Ilmu Akidah Pascasarjana Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor
bersambung...
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com