GemaDakwah : Ada yang menarik yang disampaikan oleh Dr. Muhammad Arifin Baderi dalam menghadapi pemilihan presiden di Indonesia.
Terlebih lagi dari calon presiden yang ada, terdapat calon presiden
yang dianggap akan merugikan kepentingan umat Islam di Indonesia.
Berikut ini kami nukilkan pokok-pokok pikiran beliau mengenai kampanye
negatif (kampanye yang berisikan pesan-pesan negatif terhadap lawan
(kompetitor) yang berdasarkan fakta yang jujur dan relevan).
Perlu ditekankan bahwa kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam. Kampanye hitam (black campaign) adalah pesan negatif terhadap kandidat yang tidak didasarkan pada fakta, tidak ada sumber data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengangkat Kejelekan Calon yang Juga Pejabat
Sebagian orang mengira bahwa terlarang membicarakan kesalahan dan kekurangan pejabat (gubernur) karena para ulama’ melarang kita untuk menghibahi penguasa. Kekawatiran ini cukup beralasan, namun demikian bila dikaji lebih mendalam maka akan terbukti kekawatiran ini sejatinya salah sasaran dan penempatan.
Larangan untuk membicarakan kesalahan atau kekurangan pemimpin secara terbuka adalah satu hukum yang beralasan (muallal). Mengobral kekurangan dan kesalahan pemerintah dapat berakibat pada terkikisnya kewibawaan pemerintah dan membuat jurang pemisah antara mereka dari rakyatnya. Rakyat membenci pemerintah dan akibatnya hilang kepatuhan mereka. Bahkan pada gilirannya dapat menyebabkan terjadinya pemberontakan berdarah yang dapat memakan banyak korban, dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding maslahatnya.
Dengan demikian, bila pada suatu kondisi seorang yang berilmu menyimpulkan bahwa mengingkari kemungkaran penguasa secara terbuka, tidak menimbulkan kekacauan, maka dibolehkan.
Dalam kasus pemilihan presiden ini, setidaknya ada beberapa alasan:
Dalil dari Salafush Shalih
Teladan Pertama
Thariq bin Syihab mengisahkan bahwa orang pertama yang mendahulukan khutbah ‘Id sebelum Sholatnya ialah Marwan bin Al Hakam. Melihat Marwan bn Al Hakam yang ingin naik mimbar, maka sahabat Abu Said Al Khudri segeraa menarik tangan Marwan dan berkata kepadanya, “Shalatlah terlebih dahulu sebelum berkhutbah.”
Namun betapa terkejutnya beliau, Marwan berkata, “Apa yang engkau ketahui dan katakan itu telah ditinggalkan.”
Mendengar jawaban ini sahabat Abu Said berkata: “Sekali-kali tidak, Sungguh demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya engkau tidaklah dapat melakukan amalanyang lebih baik dari apayang telah aku ketahui ini.” (HR Muslim)
Teladan Kedua
Sahabat Abu Said Al Khudri menceritakan: Dahulu, semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengeluarkan zakat fitri atas setiap orang, anak kecil, atau dewasa, meredeka atau budak sebesar satu Sha’ (2,5 Kg) dari gandum atau satu Sha’ dari susu kering, atau satu sha’ dari sya’ir (satu jenis gandum), atau satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari kismis. Dan kami senantiasa melakukan itu sampai suatu hari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan singgah ke kota kami dalam rangka menunaikan Haji atau Umrah. Ia berceramah di hadapan masyarakat banyak, dan diantara yang ia sampaikan, “Aku berpendapat bahwa dua genggam (setengah sha’) gandum produk negri Syam senilai dengan satu sha’ kurma.”
Maka masyarakat segera mengamalkan ucapannya. Adapun aku, maka seumur hidupkan aku akan senantiasa menunaikan zakat seperti yang selama ini aku lakukan. (Muslim)
Nampak dengan jelas bagaimana sahabat Abu Said Al Khudri menyampaikan kebenaran yang ia ketahui walaupun harus menjelaskan pula orang yang menyelisihinya, yaitu sahabat Mua’wiyah yang kala itu adalah seorang Khalifah.
Beliau melakukan hal itu karena beliau meyakini bahwa sikapnya tidak akan menimbulkan gejolak atau kekacauan yang meluas di masyarakat.
Teladan Ketiga
Al Asy’ast mengisahkan: Pada suatu waktu kami berperang dengan dipimpin oleh sahabat Mu’awiyah. Lallu kami berhasil mendapatkan rampasan perang yang sangat banyak. Diantara yang berhasil kami dapatkan ialah satu bejana terbuat dari perak. Sahabat Mu’awiyah memerintahkan seseorang agar menjual bejana itu kepada sebagian pasukan perang dengan pembayaran tertunda hingga masa pembagian harta (saat gajian).
Tak ayal lagi, perintah sahabat Mu’awiyah ini memancing polemik banyak orang, hingga akhirnya masalah ini sampai ke sahabat Ubadah bin Ash Shamit. Tanpa menunda sedikitpun, segera beliau berdiri di hadapan banyak orang dan berkata, “Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang penjualan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir (satu jenis gandum), kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali bila sama takaran dan timbangannya dan dilakukan secara tunai, barang siapa yang menambah atau meminta tambah maka ia telah terjerumus dalam praktek riba.”
Mendengar penjelasan ini, segera setiap orang mengembalikan/membatalkan pembelian mereka. Namun tatkala kejadian ini sampai ke sahabat Mu’awiyah, beliau segera berkhutbah dan berkata:
“Mengapa sebagian orang menyampaikan beberapa hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dahulu kami telah menyaksikan dan mendampingi beliau secara langsung namun demikian kami tidak pernah mendengar perihal hadits hadits itu.”
Mengetahui khutbah sahabat Mu’awiyah ini, sahabat Ubadah bin As Shamit kembali menyampaikan hadits yang telah ia sampaikan, dan kemudian ia berkata, “Sungguh aku akan tetap menyampaikan hadits yang telah aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam walaupun Mu’awiyah tidak menyukainya.” (Muslim)
Perselisihan tentang masalah ini bukan hanya terjadi antara sahabat Mu’awiyah dengan sahabat Ubadah bin As Shamit semata, namun juga terjadi dengan sahabat Abu Ad Darda’.
Diantara sikap sahabat Abu Ad Darda’ kepada sahabat Mu’awiyah sebagaimana tergambar pada ucapan beliau berikut ini:
“Adakah yang dapat mengutarakan alasan/pembelaan terhadap sikap Mu’awiyah? Aku menyampaikan kepadanya satu Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun ternyata ia malah menolaknya dengan mengutarakan pendapatnya sendiri! Aku tidak sudi untuk tinggal satu negeri dengannya.”
Selanjutnya sahabat Abu Ad Darda’ bergegas melaporkan sikap sahabat Mu’awiyah ini kepada Khalifah Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Dan sebagai tindak lanjutnya, Khalifah Umar mengirim teguran kepada sahabat Mu’awiyah yang berisikan, “Janganlah engkau menjual perak dengan perak melainkan sama jumlah dan timbangannya.” (HR Malik dan lainnya).
Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata,
“Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegangan dengan sebagian dalil, yaitu mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan mafsadah/ kerusakan. Di sisi lain, ada sebagian orang yang beranggapan bahwa: mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya.
Namun demikian, saya menyatakan: dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Karena itu boleh mengingkari secara terbuka bila dianggap dapat mewujudkan maslahat, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan mengingkari secara tersembunyi/ rahasia, bila dianggap mengingkari secara terbuka tidak dapat mewujudkan maslahat/kebaikan, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula berganti dengan kebaikan. (Liqa’ Al Baab Al Maftuh)
Mencegah Kemunkaran yang Lebih Besar
Namun demikian, perlu diketahui bahwa apa yang sedang dilakukan sejatinya bukanlah upaya mengingkari kemungkaran penguasa atau menasehatinya, namun mencegah terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Yang demikian itu dikarenakan semua kita mengetahui bahwa saat ini adalah saat pemilihan umum dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sekali lagi, bukan sedang mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh pejabat, namun sedang berusaha menyampaikan nasehat keppada masyarakat agar tidak memberikan suaranya kepada “si tokoh”. Dan tindakan itu saya lakukan dalam rangka mencegah terjadinya kemungkaran yang lebih besar, dengan cara memberikan peringatan kepada masyarakat umum, agar tidak terperdaya oleh berbagai propaganda yang dilakukan oleh tim sukses “si tokoh”.
Tentu saja, terdapat perbedaan antara kaedah yang berlaku pada masalah mengingkari kemungkaran yang telah terjadi dari kaedah mencegah kemungkaran yang belum terjadi.
Dalil dari Rasulullah
A’isyah radhiallalllahu anha mengisahkan: Suatu hari ada seorang lelaki datang menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau menyaksikan kedatangan lelaki itu, beliau bersabda, “Ia adalah sejelek-jelek anggota kabilah dan sejelek-jelek keturunan satu kabilah.”
Namun demikian, betapa mengejutkan, tatkala lelaki itu telah masuk ke rumah dan duduk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambutnya dengan wajah yang riang dan ramah.
Sikap Nabi ini tentu saja mengherankan itri beliau tercinta ‘Aisyah radhiallallahu anha, sehingga setelah lelaki itu pergi, segera ‘Aisyah menanyakan perihal sikap beliau ini: “Wahai Rasulullah , tatkala engkau melihat lelaki itu dari kejauhan engkau berkata tentangnya demikian demikian, namun setelah bertemu, engkau bermanis wajah dan menyambutnya dengan ramah?”
Menjawab keheranan istri beliau ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sejak kapan engkau mendapatkan aku bertutur kata keji? Sejatinya sejelek-jelek manusia di sisi Allah ialah orang yang dijauhi oleh masyarakat luas karena mereka menghindari kejelekannya (tutur katanya yang jelek).” (Riwayat Al Bukhari)
Cermatilah, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela lelaki itu dalam rangka memberikan peringatan dan penjelasan kepada iistri beliau ‘Aisyah, namun demikian setelah berjumpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberinya nasehat atau teguran, bahkan sebaliknya beliau bersikap ramah kepadanya.
Pada kisah lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan kepada sahabat Fatimah binti Qais radhiallahu ‘anha perihal beberapa orang lelaki yang hendak menikahinya. Beliau bersabda kepadanya: “Adapun Abu Jahm, maka ia adalah lelaki yang suka memukul istrinya, sedangkan Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki miskin yang tidak punya harta, namun menikahlah dengan Usamah bn Zaid.” (Muslim)
Cermatilah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits ini menyebutkan kekurangan can cacat dua orang sahabat, kepada Fatimah binti Qais, agar Fatimah tidak salah memilih pasangan hidup. Dan inilah yang sejatinya sedang saya lakukan, memberi peringatan kepada masyarakat luas agar tidak memilih “si tokoh”, sehingga ummat Islam terhindar dari keburukan yang ada padanya dan juga pada para pendomplengnya.
Ghibah yang Diperbolehkan
Imam Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Ghibah keempat (yang dibolehkan) adalah: Tindakan memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan seseorang.
Dan itu bentuknya banyak, diantaranya: menjatuhkan orang-orang yang memang buruk keadaannya, baik dari kalangan para perowi, para saksi, ataupun para pengarang kitab. Hal itu boleh berdasarkan ijma;, bahkan hal itu wajib untuk melindungi syariat Islam.
Diantaranya lagi: mengabarkan keburukan seseorang saat musyawarah tentang (kelayakan dia) meneruskan jabatannya…
Diantaranya lagi: Bila dia memiliki jabatan tapi ia tidak menunaikannnya sebagaimana mestinya, karena dia tidak memiliki kredibilitas atau karena kefasikannya, maka boleh bagi anda untuk menyebutkan hal tersebut kepada orang yang memiliki kekuasaan di atasnya, agar hal tersebut dijadikan petunjuk tentang kondisi yang sebenarnya ada pada diri pejabat tersebut, sehingga pejabat atasannya tidak terperdaya olehnya, dan dapat mengampil keputusan yang benar.” (Syarah Nawawi ala Shahih Muslim 16/142-143)
Bila dalam konteks pemerintahan yang pengangkatan seorang pejabat adalah dengan model penunjukan langsung, maka solusinya ialah dengan apa yang diutaran oleh Imam An Nawawi, yaitu dengan melaporkannya kepada pejabat atasannya. Namun karena di negeri kita kewenangan untuk memilih pemimpin daerah dan juga presiden ada di tangan rakyat, maka tentu saja langkah yang tepat –menurut saya- ialah dengan menyampaikan peringatan kepada masyarakat para pemilik hak suara agar tidak memberikan suaranya kepada “sang tokoh”.
Perlu ditekankan bahwa kampanye negatif berbeda dengan kampanye hitam. Kampanye hitam (black campaign) adalah pesan negatif terhadap kandidat yang tidak didasarkan pada fakta, tidak ada sumber data yang bisa dipertanggungjawabkan.
Mengangkat Kejelekan Calon yang Juga Pejabat
Sebagian orang mengira bahwa terlarang membicarakan kesalahan dan kekurangan pejabat (gubernur) karena para ulama’ melarang kita untuk menghibahi penguasa. Kekawatiran ini cukup beralasan, namun demikian bila dikaji lebih mendalam maka akan terbukti kekawatiran ini sejatinya salah sasaran dan penempatan.
Larangan untuk membicarakan kesalahan atau kekurangan pemimpin secara terbuka adalah satu hukum yang beralasan (muallal). Mengobral kekurangan dan kesalahan pemerintah dapat berakibat pada terkikisnya kewibawaan pemerintah dan membuat jurang pemisah antara mereka dari rakyatnya. Rakyat membenci pemerintah dan akibatnya hilang kepatuhan mereka. Bahkan pada gilirannya dapat menyebabkan terjadinya pemberontakan berdarah yang dapat memakan banyak korban, dan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding maslahatnya.
Dengan demikian, bila pada suatu kondisi seorang yang berilmu menyimpulkan bahwa mengingkari kemungkaran penguasa secara terbuka, tidak menimbulkan kekacauan, maka dibolehkan.
Dalam kasus pemilihan presiden ini, setidaknya ada beberapa alasan:
- Momentum pemilihan umum yang telah menjadi budaya pada setiap pemilihan, setiap orang memaklumi praktek menelanjangi sebagian calon dan juga mendukung calon lainnya.
- Salah seorang kandidat adalah seorang gubernur yang tentu kewenangannya terbatas, sebagaimana wilayah kekuasaannya terbatas, berbeda dengan seorang presiden atau raja. Bila kejelekan presiden atau raja diekspos secara terbuka tentu saja dapat menimbulkan kekacauan yang sangat luas, sebagaimana yang terjadi pada masa-masa reformasi kala itu.
- Peringatan bagi kaum Muslimin secara luas bahwa figur tersebut adalah figur karbitan yang membawa seribu pesan jahat, terutama bagi ummat Islam. Hal ini nampak dengan jelas mengingat berbagai media yang selama ini anti Islam, dan figur-figur yang juga anti Islam semuanya merapatkan barisan di belakang “si tokoh”.
- Tidak ingin mengulang sejarah pahit. Kota Solo yang penduduknya mayoritas beragama Islam ditinggalkan dan diserahkan kepada pemimpin dari kaum Salib/Nashara, dan bila besok sukses menjadi RI 1, maka berarti secara otomatis Jakarta yang penduduknya mayoritas beragama Islam sekaligus ibu kota negara kita yang penduduknya mayoritas beragama Islam akan diserahkan pula kepada seorang Nashara. Karena itu agar sejarah kelam yang menimpa kota Solo tidak terulang di Jakarta, kita semua harus berperan aktif mencegahnya. Dengan demikian Jakarta tetap di pimpin oleh “si tokoh” yang secara lahirnya seorang Muslim. Kondisi pahit ini menuntut kita untuk bahu membahu menghalangi keinginan “si tokoh” untuk menjadi RI 1, agar tetap berada di DKI 1.
- Sering kali dalam berrbagai kesempatan kita terpaksa memilih antara dua pilihan pahit, apapaun pilihan kita maka kita pasti merasakan pahit dan berkorban. Namun tentu saja sebagian pilihan lebih ringan dibanding lainnya, karena itu pula saya merasa bahwa memobilisasi ummat Islam agar tidak memilih “si tokoh” menjadi RI 1 adalah salah satu kondisi ini. Apapun pilihan kita pasti terasa pahit, namun menurut hemat saya mempertahankan “si tokoh” di DKI 1 lebih ringan pahitnya.
Dalil dari Salafush Shalih
Teladan Pertama
Thariq bin Syihab mengisahkan bahwa orang pertama yang mendahulukan khutbah ‘Id sebelum Sholatnya ialah Marwan bin Al Hakam. Melihat Marwan bn Al Hakam yang ingin naik mimbar, maka sahabat Abu Said Al Khudri segeraa menarik tangan Marwan dan berkata kepadanya, “Shalatlah terlebih dahulu sebelum berkhutbah.”
Namun betapa terkejutnya beliau, Marwan berkata, “Apa yang engkau ketahui dan katakan itu telah ditinggalkan.”
Mendengar jawaban ini sahabat Abu Said berkata: “Sekali-kali tidak, Sungguh demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya engkau tidaklah dapat melakukan amalanyang lebih baik dari apayang telah aku ketahui ini.” (HR Muslim)
Teladan Kedua
Sahabat Abu Said Al Khudri menceritakan: Dahulu, semasa hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami mengeluarkan zakat fitri atas setiap orang, anak kecil, atau dewasa, meredeka atau budak sebesar satu Sha’ (2,5 Kg) dari gandum atau satu Sha’ dari susu kering, atau satu sha’ dari sya’ir (satu jenis gandum), atau satu sha’ dari kurma, atau satu sha’ dari kismis. Dan kami senantiasa melakukan itu sampai suatu hari sahabat Mu’awiyah bin Abi Sufyan singgah ke kota kami dalam rangka menunaikan Haji atau Umrah. Ia berceramah di hadapan masyarakat banyak, dan diantara yang ia sampaikan, “Aku berpendapat bahwa dua genggam (setengah sha’) gandum produk negri Syam senilai dengan satu sha’ kurma.”
Maka masyarakat segera mengamalkan ucapannya. Adapun aku, maka seumur hidupkan aku akan senantiasa menunaikan zakat seperti yang selama ini aku lakukan. (Muslim)
Nampak dengan jelas bagaimana sahabat Abu Said Al Khudri menyampaikan kebenaran yang ia ketahui walaupun harus menjelaskan pula orang yang menyelisihinya, yaitu sahabat Mua’wiyah yang kala itu adalah seorang Khalifah.
Beliau melakukan hal itu karena beliau meyakini bahwa sikapnya tidak akan menimbulkan gejolak atau kekacauan yang meluas di masyarakat.
Teladan Ketiga
Al Asy’ast mengisahkan: Pada suatu waktu kami berperang dengan dipimpin oleh sahabat Mu’awiyah. Lallu kami berhasil mendapatkan rampasan perang yang sangat banyak. Diantara yang berhasil kami dapatkan ialah satu bejana terbuat dari perak. Sahabat Mu’awiyah memerintahkan seseorang agar menjual bejana itu kepada sebagian pasukan perang dengan pembayaran tertunda hingga masa pembagian harta (saat gajian).
Tak ayal lagi, perintah sahabat Mu’awiyah ini memancing polemik banyak orang, hingga akhirnya masalah ini sampai ke sahabat Ubadah bin Ash Shamit. Tanpa menunda sedikitpun, segera beliau berdiri di hadapan banyak orang dan berkata, “Aku telah mendengar langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melarang penjualan emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir (satu jenis gandum), kurma dengan kurma, garam dengan garam kecuali bila sama takaran dan timbangannya dan dilakukan secara tunai, barang siapa yang menambah atau meminta tambah maka ia telah terjerumus dalam praktek riba.”
Mendengar penjelasan ini, segera setiap orang mengembalikan/membatalkan pembelian mereka. Namun tatkala kejadian ini sampai ke sahabat Mu’awiyah, beliau segera berkhutbah dan berkata:
“Mengapa sebagian orang menyampaikan beberapa hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal dahulu kami telah menyaksikan dan mendampingi beliau secara langsung namun demikian kami tidak pernah mendengar perihal hadits hadits itu.”
Mengetahui khutbah sahabat Mu’awiyah ini, sahabat Ubadah bin As Shamit kembali menyampaikan hadits yang telah ia sampaikan, dan kemudian ia berkata, “Sungguh aku akan tetap menyampaikan hadits yang telah aku dengar langsung dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam walaupun Mu’awiyah tidak menyukainya.” (Muslim)
Perselisihan tentang masalah ini bukan hanya terjadi antara sahabat Mu’awiyah dengan sahabat Ubadah bin As Shamit semata, namun juga terjadi dengan sahabat Abu Ad Darda’.
Diantara sikap sahabat Abu Ad Darda’ kepada sahabat Mu’awiyah sebagaimana tergambar pada ucapan beliau berikut ini:
“Adakah yang dapat mengutarakan alasan/pembelaan terhadap sikap Mu’awiyah? Aku menyampaikan kepadanya satu Hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun ternyata ia malah menolaknya dengan mengutarakan pendapatnya sendiri! Aku tidak sudi untuk tinggal satu negeri dengannya.”
Selanjutnya sahabat Abu Ad Darda’ bergegas melaporkan sikap sahabat Mu’awiyah ini kepada Khalifah Umar bin Al Khatthab radhiallahu ‘anhu. Dan sebagai tindak lanjutnya, Khalifah Umar mengirim teguran kepada sahabat Mu’awiyah yang berisikan, “Janganlah engkau menjual perak dengan perak melainkan sama jumlah dan timbangannya.” (HR Malik dan lainnya).
Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata,
“Masalah menasehati penguasa, ada dari sebagian orang yang hendak berpegangan dengan sebagian dalil, yaitu mengingkari penguasa secara terbuka, walaupun sikap tersebut hanya mendatangkan mafsadah/ kerusakan. Di sisi lain, ada sebagian orang yang beranggapan bahwa: mutlak tidak boleh ada pengingkaran secara terbuka, sebagaimana dijelaskan pada dalil yang disebutkan oleh penanya.
Namun demikian, saya menyatakan: dalil-dalil yang ada tidaklah saling menyalahkan dan tidak pula saling bertentangan. Karena itu boleh mengingkari secara terbuka bila dianggap dapat mewujudkan maslahat, yaitu hilangnya kemungkaran dan berubah menjadi kebaikan. Dan mengingkari secara tersembunyi/ rahasia, bila dianggap mengingkari secara terbuka tidak dapat mewujudkan maslahat/kebaikan, sehingga kerusakan tidak dapat ditanggulangi dan tidak pula berganti dengan kebaikan. (Liqa’ Al Baab Al Maftuh)
Mencegah Kemunkaran yang Lebih Besar
Namun demikian, perlu diketahui bahwa apa yang sedang dilakukan sejatinya bukanlah upaya mengingkari kemungkaran penguasa atau menasehatinya, namun mencegah terjadinya kemungkaran yang lebih besar. Yang demikian itu dikarenakan semua kita mengetahui bahwa saat ini adalah saat pemilihan umum dan pemilihan presiden dan wakil presiden.
Sekali lagi, bukan sedang mengingkari kemungkaran yang dilakukan oleh pejabat, namun sedang berusaha menyampaikan nasehat keppada masyarakat agar tidak memberikan suaranya kepada “si tokoh”. Dan tindakan itu saya lakukan dalam rangka mencegah terjadinya kemungkaran yang lebih besar, dengan cara memberikan peringatan kepada masyarakat umum, agar tidak terperdaya oleh berbagai propaganda yang dilakukan oleh tim sukses “si tokoh”.
Tentu saja, terdapat perbedaan antara kaedah yang berlaku pada masalah mengingkari kemungkaran yang telah terjadi dari kaedah mencegah kemungkaran yang belum terjadi.
Dalil dari Rasulullah
A’isyah radhiallalllahu anha mengisahkan: Suatu hari ada seorang lelaki datang menjumpai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala beliau menyaksikan kedatangan lelaki itu, beliau bersabda, “Ia adalah sejelek-jelek anggota kabilah dan sejelek-jelek keturunan satu kabilah.”
Namun demikian, betapa mengejutkan, tatkala lelaki itu telah masuk ke rumah dan duduk, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyambutnya dengan wajah yang riang dan ramah.
Sikap Nabi ini tentu saja mengherankan itri beliau tercinta ‘Aisyah radhiallallahu anha, sehingga setelah lelaki itu pergi, segera ‘Aisyah menanyakan perihal sikap beliau ini: “Wahai Rasulullah , tatkala engkau melihat lelaki itu dari kejauhan engkau berkata tentangnya demikian demikian, namun setelah bertemu, engkau bermanis wajah dan menyambutnya dengan ramah?”
Menjawab keheranan istri beliau ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Wahai ‘Aisyah, sejak kapan engkau mendapatkan aku bertutur kata keji? Sejatinya sejelek-jelek manusia di sisi Allah ialah orang yang dijauhi oleh masyarakat luas karena mereka menghindari kejelekannya (tutur katanya yang jelek).” (Riwayat Al Bukhari)
Cermatilah, bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela lelaki itu dalam rangka memberikan peringatan dan penjelasan kepada iistri beliau ‘Aisyah, namun demikian setelah berjumpa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberinya nasehat atau teguran, bahkan sebaliknya beliau bersikap ramah kepadanya.
Pada kisah lain, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi peringatan kepada sahabat Fatimah binti Qais radhiallahu ‘anha perihal beberapa orang lelaki yang hendak menikahinya. Beliau bersabda kepadanya: “Adapun Abu Jahm, maka ia adalah lelaki yang suka memukul istrinya, sedangkan Mu’awiyah, maka dia adalah lelaki miskin yang tidak punya harta, namun menikahlah dengan Usamah bn Zaid.” (Muslim)
Cermatilah bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits ini menyebutkan kekurangan can cacat dua orang sahabat, kepada Fatimah binti Qais, agar Fatimah tidak salah memilih pasangan hidup. Dan inilah yang sejatinya sedang saya lakukan, memberi peringatan kepada masyarakat luas agar tidak memilih “si tokoh”, sehingga ummat Islam terhindar dari keburukan yang ada padanya dan juga pada para pendomplengnya.
Ghibah yang Diperbolehkan
Imam Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Ghibah keempat (yang dibolehkan) adalah: Tindakan memberi peringatan kepada kaum muslimin dari keburukan seseorang.
Dan itu bentuknya banyak, diantaranya: menjatuhkan orang-orang yang memang buruk keadaannya, baik dari kalangan para perowi, para saksi, ataupun para pengarang kitab. Hal itu boleh berdasarkan ijma;, bahkan hal itu wajib untuk melindungi syariat Islam.
Diantaranya lagi: mengabarkan keburukan seseorang saat musyawarah tentang (kelayakan dia) meneruskan jabatannya…
Diantaranya lagi: Bila dia memiliki jabatan tapi ia tidak menunaikannnya sebagaimana mestinya, karena dia tidak memiliki kredibilitas atau karena kefasikannya, maka boleh bagi anda untuk menyebutkan hal tersebut kepada orang yang memiliki kekuasaan di atasnya, agar hal tersebut dijadikan petunjuk tentang kondisi yang sebenarnya ada pada diri pejabat tersebut, sehingga pejabat atasannya tidak terperdaya olehnya, dan dapat mengampil keputusan yang benar.” (Syarah Nawawi ala Shahih Muslim 16/142-143)
Bila dalam konteks pemerintahan yang pengangkatan seorang pejabat adalah dengan model penunjukan langsung, maka solusinya ialah dengan apa yang diutaran oleh Imam An Nawawi, yaitu dengan melaporkannya kepada pejabat atasannya. Namun karena di negeri kita kewenangan untuk memilih pemimpin daerah dan juga presiden ada di tangan rakyat, maka tentu saja langkah yang tepat –menurut saya- ialah dengan menyampaikan peringatan kepada masyarakat para pemilik hak suara agar tidak memberikan suaranya kepada “sang tokoh”.
Sumber: fimadani
Wallahu A‘lam.
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com