Tarqiyah : Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ustadz Farid Nu’man Hasan, semoga Allaah Ta’ala senantiasa menjaga Ustadz sekeluarga.
Kemarin ana baru saja ikut Mukhayam Kepanduan. Dalam salah satu sesi acara tersebut ada seorang Ustadz Pemateri yang mengatakan -kurang lebih seperti ini, soalnya ana agak lupa: “Perang itu adalah tipu daya.” Beliau melanjutkan “Jadi kalau kita menganggap Pemilu sebagai perang, jangan jujur-jujur amat.” Lalu dipaparkan tentang sirah Nabi Saw pernah mengotori sumur musuh dan disisakan satu sumur yang bersih sebagai taktik perang. Juga dalam perang boleh membunuh musuh.
Terus terang sampai titik ini, ana agak terganggu, maksudnya apa?
Lalu beliau menjabarkan. Jadi kalau Pemilu kita anggap sebagai perang maka tidak mengapa melakukan Money Politic agar rakyat memilih kita. Pihak lain saja melakukan Money Politic, lalu kenapa kita tidak melakukan hal yang sama? Sedangkan tujuan dakwah kita jelas, agar bisa melakukan perbaikan dan menegakkan Islam ketika berhasil menjabat sedangkan mereka ketika sudah menjabat malah melakukan korupsi misalnya supaya balik modal. Untuk mendukung ucapannya, beliau menganalogikan dengan adanya ajaran Islam yang memberikan Ghanimah kepada Muallaf agar hatinya teguh pada Islam.
Beliau juga sempat merinci kasus per kasus ketika Money Politic itu diperbolehkan, yaitu kenyataan bahwa masyarakat di daerah saya tinggal sekarang memang ‘kurang berpendidikan’ dan ‘matre’ walaupun tidak semuanya/mayoritas tapi ada yang seperti itu. Pada saat Pilgub beberapa waktu yang lalu, di TPS itu ada orang yang mondar-mandir (tidak segera bergegas mencoblos) dengan harapan ada pasangan yang memberinya uang. Ada juga keluarga yang tidak mencoblos karena tidak ada yang memberinya uang pedahal di keluarga itu ada 6 suara. Maka pada kondisi seperti itu, kita tidak mengapa memberi uang supaya memilih kita!
Selanjutnya, beliau sempat berkata bahwa tidak semua money politic itu haram. Contohnya, ketika ada si Fulan yang telah lulus ujian CPNS tapi namanya akan dicoret sebagai CPNS kalau tidak memberikan uang, maka hal ini boleh karena tidak ada hak orang yang kita rebut dengan cara kotor, kita hanya memperjuangkan hak kita. Tentu kasusnya berbeda kalau kita tidak lulus CPNS lalu membayar supaya jadi PNS.
Beliau mengakhiri dengan kebersediaanya beliau kalau ingin diskusi atau bertabayun terhadap uraiannya. Namun ana belum sempat tabayun ke beliau. Sementara itu yang ana tangkap, walaupun mungkin ada informasi dan pemahaman yang tidak utuh. Ana mohon penjelasannya Ustadz. Jazakumullah Khairan Katsiran. (Abu Hafuza)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d.
Kepada Abu Hafuza yang dirahmati Allah Ta’ala, Semoga antum tetap istiqamah, berdiri bersama orang-orang yang benar, baik pagi dan sorenya, atau malam dan siangnya, walau semakin sedikit orang-orang yang berani menampakkan kebenaran.
Kemudian, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua, khususnya kepada “Sang Ustadz” dalam acara mukhayam kepanduan yang antum ikuti. Agar yang haq adalah haq lalu kita selalu bersamanya. Dan yang batil adalah batil dan kita selalu menjadi oposisinya.
Saya akan memberikan komentar sejauh dari apa yang antum tanyakan dan tulis, ada pun di luar itu, saya tidak mengomentarinya. Dan, saya mohon maaf atas hal itu.
Jika Tidak Ada lagi Rasa Malu Lakukanlah Apa pun Semaumu
Ini komentar saya yang pertama. Hendaknya para da’i, ustadz, dan murabbi menjadi teladan yang baik. Jangan menyebarkan syubhat di tengah umat dengan ucapan dan tingkah lakunya. Jadilah orang yang wara’ pada semua keadaan. Termasuk ketika perang sekali pun menghadapi musuh. Tetapi, bagi orang yang rasa malunya menipis memang biasanya terjadi degradasi kepekaan terhadap dosa. Maka silahkan katakan dan lakukan apa saja yang dikehendakinya.
Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئتَ
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amru Al Anshari Al Badri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali manusia ketahui adalah; jika engkau tidak malu maka lakukan apa saja sesuai kehendakmu.” (HR. Al Bukhari (3484, 6120), Adabul Mufrad (597, 1316), Ibnu Hibban (607), Al Baihaqi, Syu’abul Iman (7734, 7736), As Sunan Al Kubra (20576), Ahmad (17131, 17139, 22399, 23302), Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya (819), Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab (1153, 1154, 1156), Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnadnya (621, 655), Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar (1327, 1328, 1329), Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (20149), Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam (582, 1197))
“ …. Lalu mereka berfatwa, mereka sesat dan menyesatkan.”
Tidak sedikit orang berbicara agama, tetapi kurang hati-hati. Lalu dia tergelincir menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Apalagi orang tersebut tidak mau menanyakan kepada para ulama. Minimal berdekatan dengan kitab-kitab para ulama, atau dia berdiskusi dengan yang lainnya agar memiliki gambaran yang jelas dan tidak terburu-buru dalam berfatwa.
Namun, ketika hawa nafsu telah menjadi panglima, kepentingan politik di atas segalanya, menang kalah pertarungan politik menjadi targetnya. Yang haram bisa dibuat abu-abu, sementara jalan halal yang terang benderang tidak ditempuhnya. Maka lahirlah pernyataan-pernyataan yang membingungkan bahkan cenderung menyesatkan manusia, setelah dirinya sendiri telah bingung dan tersesat!
Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, katanya: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari para hamba, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai tidak lagi tersisa seorang ulama. Akhirnya manusia menjadikan tokoh-tokoh bodoh sebagai rujukan, lalu mereka ditanya kemudian berfatwa dengan tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan menyesatkan.”(HR. Bukhari, 100)
Qiyas Ma’al Fariq
Qiyas Pertama. Sang pemateri, mengqiyaskan banyak hak untuk menguatkan argumentasi dan pandangannya. Seperti menggunakan hadits Shahih Bukhari: “Samma An Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Harba Khad’ah – Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menamakan perang dengan tipu daya”, untuk membolehkan money politic (baca: suap). Dia menganggap money politic adalah trik dan tipu daya halal untuk kemenangan pemilu. Sembari berdalih karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengotori sumur musuh yang bersih, dan menyisakan satu yang bersih, dan juga karena dalam perang dibolehkan membunuh musuh.
Pendapat ini memiliki beberapa cacat.
Pertama. Perang dalam Pilkada, Pilgub, Pilpres, dan Pemilu secara umum di negeri muslim seperti di Indonesia, bukanlah peperangan melawan orang kafir, dan sama sekali berbeda dengan makna al-Harb dalam hadits tersebut. Partai-partai yang berkompetisi di negeri ini mayoritas adalah muslim secara pribadinya. Bahkan bisa jadi secara personally mereka lebih shalih dibanding sebagian aktivis Islam.
Maka, menyamakan trik dan tipu daya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika perang melawan orang kafir, dengan trik berupa money politic untuk melawan partai-partai lain dalam pemilu pada saat ini, yang mereka umumnya juga muslim, adalah qiyas ma’al fariq (analagi yang kontradiktif), tidak aple to aple bahkan zhalim. Sebab, seakan telah menyamakan sesama muslim sebagaimana orang kafir. Hanya karena mereka berbeda pilihan politiknya. Dari sisi ini saja sudah cukup menjelaskan bahwa “Sang Ustadz” telah ceroboh dalam “fatwa”nya.
Kedua. Kalau pun Sang Ustadz tidak bermaksud mengqiyaskan, Beliau hanya memberikan contoh sekaligus dalilnya. Ini juga pendalilan yang lemah bahkan tidak pantas. Tidak pantas hadits al-Harbu Khad’ah –perang adalah tipu daya, dijadikan dalil untuk money politic (risywah/suap) dan membeli suara, untuk mengelabui sesama muslim. Tidak pantas pula kasus pengotoran sumur musuh, untuk dalil menghalalkan money politic. Terlebih lagi bolehnya membunuh musuh (kafir) ketika perang, dijadikan dalil untuk halalnya money politic juga. Dengan kata lain, tidak ada wajh istidlal (sisi pendalilan) yang cocok di sisi mana pun yang mendukung pernyataannya.
Jika yang dimaksud “tipu daya dalam perang” adalah membuat ranjau yang tertutup pohon, membuat perangkap untuk menangkap musuh, seorang prajurit berkata “tidak” atau tidak mau bicara ketika diinterogasi musuh padahal dia tahu jawabannya, prajurit menggunakan seragam yang dapat menyamar, atau menyamar agar bisa masuk ke markas musuh, maka inilah tipu daya dalam peperangan. Dibenarkan syariat, akal, dan tradisi peperangan di mana pun. Ada pun money politic, memberikan sogokan untuk mempengaruhi keputusan floating mass, dan floating mass bukanlah musuh, tanyakan kepada hati nuranimu, niscaya nurani yang masih dihuni cahaya fitrah, akan menolaknya.
Membunuh dalam peperangan adalah konsekuensi orang berperang, dan itu adalah hal yang niscaya. Begitulah perang, hal-hal yang terlarang dalam keadaan normal seperti membunuh, menjebak manusia (musuh), menyembunyikan fakta, dan semisalnya, menjadi hal yang dibolehkan. Sedangkan money politic (menyuap) dalam Pemilu, Pilkada, dan semisalnya, bukanlah konsekuensi orang berpolitik, kecuali bagi para pengidap machiavelist. Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan menyuap haram, kecuali ketika Pemilu, maka dia jadi halal. Apalagi pesaing dalam pemilu adalah sama-sama muslim, yang lebih pas pemilu semestinya disebut berlomba dalam kebaikan, bukan peperangan. Betapa pun pesaing tersebut menggunakan cara-cara kasar, dan memposisikan aktivis Islam sebagai musuh.
Qiyas kedua. Sang pemateri juga membolehkan money politic karena menyamakan hal itu dengan orang-orang mualaf yang diberikan ghanimah oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini juga qiyas yang sangat jauh, dan keberanian yang luar biasa karena dia telah menyamakan kedudukan dan fungsi harta ghanimah yang mulia dengan money politic yang haram. Wallahul Musta’an!
Mualaf yang mendapatkan ghanimah dan juga zakat, adalah manshush ‘alaih (berdasarkan nash), agar mereka teguh kepada Islam dan tidak kembali kepada kekafiran. Sedangkan memberikan money politic, agar mereka teguh terhadap apa? Dan agar mereka tidak kembali kepada apa?
Jika dikatakan agar teguh terhadap Islam, justru Islam melarang suap. Jika dikatakan agar mereka tidak kembali kepada kekafiran, maka lawan-lawan politik kita ternyata sesama muslim, saudara kita sendiri, bukan musuh, dan bukan orang kafir.
Money Politic karena Musuh juga Melakukannya
Di Mesir, aktivis gerakan Islam diperkirakan akan meraih kemenangan besar jika Pemilu diadakan dengan jujur dan adil. Karena kekalahan mereka sebelum-sebelumnya adalah lebih disebabkan kecurangan dari musuh-musuhnya. Begitu pula di Tunisia.
Kemenangan seperti ini yang seharusnya terjadi di negeri ini, yakni karena keadilan dan tidak ikut-ikutan berbuat curang, dan bersabarlah untuk memenangkannya. Bukankah jatuhnya citra partai da’wah disebabkan kendurnya mereka terhadap indibath syar’i-nya? Bukankah kemulusan wajah gerakan Islam ternoda lantaran mereka sudah berperilaku sama dengan musuh-musuhnya sendiri?
Jika pesaing melakukan money politic, maka laporkan itu. Tetaplah istiqamah dengan cara yang benar dan bersih. Jangan kehabisan akal dan strategi untuk mencari cara yang halal. Agar rahmat dan berkah Allah Ta’ala senantiasa bersama kita. Kalau pun kita kalah, tetapi kekalahan yang tetap mulia dan berwibawa, justru itulah kemenangan hakiki sebab kita mampu melawan hawa nafsu untuk berperilaku yang tidak benar. Jangan terburu-buru untuk menang, akhirnya menghalalkan segala cara, padahal ayat dan hadits selalu kita baca; bahwa Allah Ta’ala bersama orang-orang yang sabar!
Risywah itu Dosa Besar
Apakah risywah itu? Disebutkan dalam Al Mu’jam Al Wasith:
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
“Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi, atau sesuatu yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan yang haq.” (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah)
Money politic adalah risywah, tidak syak lagi, dan merupakan cara batil untuk mencapai tujuan walau tujuannya adalah haq. Money politic adalah upaya memenangkan yang kalah dengan cara batil, atau mengalahkan yang menang dengan cara batil pula.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
“Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap.” (HR. At Tirmidzi, 1337, katanya: hasan shahih. Abu Daud, 3580, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 7066, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Imam Adz Dzahabi berkata dalam At Talkhish:”Shahih”)
Dalam hadits Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melaknat perantara suap. (Ar Ra-isy). (HR. Ahmad, 22399, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih lighairih.” Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 22399)
Niat dan Tujuan yang Baik Tidaklah Merubah Sarana yang Haram menjadi Halal, kecuali Memiliki Dalil
Kaidahnya:
الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بدليل
Tujuan (yang baik) tidaklah membuat baik sarana (yang haram) kecuali dengan adanya dalil. (Syaikh Walid bin Rasyid bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al Fuhul bitarjihat Masail Al Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al Ifham Al ‘Aliyah, 3/23)
Tujuan dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram. Sarana haram itu tetap haram walau dipakai untuk niat dan tujuan yang baik. Seperti kasus memenangkan dakwah dalam kompetisi politik.
Dalilnya:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu mencampurkan antara haq dan batil, dan kamu menyembunyikan yang hak itu padahal kamu tahu.” (QS. al-Baqarah [2]: 42)
Ada pun yang ditunjukkan oleh nash boleh dilakukan adalah berbohong dalam berperang, mendamaikan saudara yang bertengkar, berbohongnya suami istri untuk menghargai dan menjaga perasaan mereka, dan beberapa contoh yang lain.
Oleh karenanya, memperjuangkan agama yang mulia, tidak boleh dengan cara-cara yang tidak mulia walau cara itu dianggap efektif. Selain tidak berkah, itu juga mengotori citra dakwah dan Islam. Sadarkah “Sang Ustadz” ini?
Bukan Termasuk Risywah
Ada pemberian uang yang tidak termasuk suap sebagaimana yang dijelaskan para ulama. Imam Ibnul Atsir dalam Nihayah-nya berkata:
فأما ما يعطى توصلا إلى أخذ حق أو دفع ظلم فغير داخل فيه روى أن بن مسعود أخذ بأرض الحبشة في شيء فأعطى دينارين حتى خلى سبيله وروى عن جماعة من أئمة التابعين قالوا لا بأس أن يصانع الرجل عن نفسه وماله إذا خاف الظلم
Ada pun pemberian demi untuk mengambil hak atau mencegah kezaliman bukanlah termasuk suap. Diriwayatkan bahwa ketika di Habasyah, Ibnu Mas’ud pernah memberikan dua dinar sampai jalan yang ditempuhnya menjadi sepi (tidak ada gangguan). Diriwayatkan dari Jama’ah para imam tabi’in, mereka mengatakan: tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya jika dia takut kezaliman. (Sebagaimana dikutip Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 4/471)
Lihat juga beberapa kitab lainnya. (Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 10/88, Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiah ‘Ala Ibni Majah, 5/16, dll)
Benar Tapi Salah
Sang Pemateri telah benar ketika mengatakan bolehnya memberikan sejumlah uang, bagi CPNS yang telah lulus dengan prosedur yang benar, tetapi namanya akan dicoret jika dia tidak memberikan uang itu. Dia melakukan itu untuk memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh orang zalim yang ada di instansi tersebut. Ini benar.
Begitupula yang semisal ini, jika seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada orang yang telah menculik anaknya, dia melakukan itu untuk mengambil haknya yang telah dirampas yaitu anak. Ini tidak dikatakan risywah (suap). Tidak berdosa bagi yang memberi, tapi berdosa bagi yang menerima.
Begitupula yang semisal ini, seseorang sudah lulus ujian untuk mendapatkan SIM, baik ujian teori atau praktek, tetapi dia digagalkan berkali-kali karena tidak memberikan sejumlah uang, maka dia boleh memberikan sejumlah uang kepada oknum polisi tersebut yang telah merampas haknya. Ini bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh oknum polisi tertsebut. Hal ini berbeda dengan seseorang yang sejak awal sudah memberikan uang kepada oknum polisi, untuk memperlancar urusannya, padahal dia sama sekali belum layak untuk mendapatkan SIM karena ketidakmampuannya.
Semisal pula dengan ini, seseorang pedagang kaki lima yang berdagang di sebuah tempat strategis, dan siapa pun berhak berdagang di sana, tetapi ada sekelompok preman yang meminta uang keamanan yang ilegal (baca: pungli), yang jika tidak diberikan maka pedagang ini akan diusir dari tempat tersebut. Maka, dia boleh memberikan uang tersebut bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya. Ini juga sesuai dengan kaidah Al Irtikab Akhafu Dhararain, melaksanakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat. Memberikan sejumlah uang kepada mereka adalah mudharat, tetapi tidak bisa berdagang di tempat yang strategis juga mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar. Maka, tidak apa-apa dia memilih mudharat yang lebih kecil untuk menghindar mudharat yang lebih besar.
Semisal dengan ini pula, seorang saudagar yang dirampok dagangannya oleh perampok jalanan, saudagar ini akhirnya memberikan sejumlah uang untuk menundukkan hati perampok agar tidak mengambil keseluruhannya. Jika saudagar ini tidak memberikan, atau malah melawan, justru perampok itu akan mengambil keseluruhannya bahkan membunuhnya. Maka, kondisi ini boleh baginya untuk memberikan kepada perampok itu sejumlah uang, untuk menghindar mudharat yang lebih besar.
Dan, contoh-contoh lain semisal ini. Semua ini hakikatnya bukan suap karena mereka telah dianiaya, dirampas haknya, dan uang yang mereka berikan adalah untuk menebus hak-hak mereka yang dirampas itu. (lihat lagi pembahasan Bukan Termasuk Risywah)
Maka, letak kekeliruan Sang Pemateri adalah kasus CPNS tadi dijadikan dasar, atau dianggap sama dengan money politic untuk memenangkan Pilkada, Pilgub, Pilpres, atau Pemilu. Ini kekeliruan fatal bahkan sangat ngawur. Sebab, dalam pemilu siapakah yang dirampas haknya? Dan siapakah perampas itu sehingga kita harus memberikan uang kepadanya agar hak kita kembali?
Money politic dalam pemilu terjadi biasanya sebelum pencoblosan/pencontrengan -baik dibayar cash atau dijanjikan dulu adalah sama saja-, dengan kata lain siapa pemenang dan yang kalah belum ketahuan, lalu uang itu diberikan agar mereka memilih kita agar kita menang. Inilah suap, inilah risywah. Berbeda dengan CPNS yang telah lulus ujian, berbeda dengan orang yang sudah lulus ujian SIM, berbeda dengan orang tua yang merebut kembali anaknya, berbeda dengan pedagang kaki lima yang memang berhak berjualan. Karena mereka sedang memperjuangkan hak yang telah dirampas orang zalim. Bisakah Sang Pemateri, “Sang Ustadz” ini, membedakan dua keadaan ini?
“Sang Ustadz” ini juga memberikan contoh kasus sekeluarga yang memiliki 6 suara yang tidak memilih karena belum ada yang memberikan uang kepada mereka. Maka, mereka boleh saja diberikan uang untuk memenangkan kita. Justru inilah suap, karena mencoba mempengaruhi keputusan orang dengan memberikan sejumlah uang, dan tidak ada sama sekali kesamaan dengan kasus-kasus yang saya contohkan di atas.
Apa yang sedang dirampas dari Anda sehingga Anda harus merebutnya kembali dengan memberikan uang kepada mereka? Dan, inilah cara-cara kotor yang dilakukan oleh musuh-musuh dakwah, lalu kenapa jadi kita yang melakukannya, kenapa justru aktivis Islam direkomendasikan untuk melakukannya? Ini adalah “fatwa” ngawur yang tidak seharusnya keluar dari “Sang Ustadz”, bahkan tidak seharusnya keluar dari seorang muslim yang baik.
Aman Syariah, Aman Hukum Negara dan Aman Citra
Sungguh tepat kiranya, sebagian ustadz memberikan koridor bagi aktivis Islam dalam menjalankan perjuangannya. Baik keputusan, program kerja, dan penggunaan uang, yaitu hendaknya semua itu aman menurut syariah Islam, lalu aman pula menurut peraturan negara, dan aman pula bagi citra aktivis tersebut. Kalaupun sebagian ustadz mati-matian dan takalluf (maksain) untuk menghalalkan money politic, dan dia merasa bahagia dengan beragam alasan yang dikemukakan, tetaplah itu tidak aman menurut hukum negara dan akan merusak citra dirinya dan Islam itu sendiri. Partai Islam kok nyogok-nyogok juga. Akhirnya kebencian yang diperoleh, kemenangan juga menjauh.
Wahai para da’i, malulah dengan jenggotmu, hitam jidatmu, dan uban di rambutmu. Cukuplah itu menjadi perisai bagi kita untuk tidak bermain terlalu jauh dan berani dalam zona yang abu-abu. Kalaulah level “halal-haram” sudah bisa dilalui dan difahami, hendaknya berpikir pula level “kepantasan.” Jika ada seorang da’i bermain catur karena memilih pendapat ulama yang membolehkan seperti Abu Hurairah, Sa’id bin Jubeir, al-Qaradhawi, dan lainnya, tetapi hendaknya dia tidak berpikir dari sisi boleh tidak boleh semata, tetapi pantaskah dia melakukannya? Ambillah ini sebagai pelajaran!
Berbaik Sangka
Kami mencoba berbaiksangka, dan memang seharusnya demikian sikap kita terhadap sesama muslim. Bahwa mudah-mudahan pernyataan “Sang Ustadz” ini keluar karena dia dalam keadaan belum tahu, lupa, kurang teliti, dan udzur lainnya yang membuatnya tidak dianggap sengaja berbuat salah. Sebab, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, Allah Ta’ala memaafkan dan tidak menganggap kesalahan orang yang lupa, kesalahan tidak sengaja, terpaksa, anak-anak, orang gila, dan orang tertidur.
Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua agar tetap bersama al-Haq dan Ahlul Haq.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyina Muhamamdin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.
Wallahu A‘lam.
Kemarin ana baru saja ikut Mukhayam Kepanduan. Dalam salah satu sesi acara tersebut ada seorang Ustadz Pemateri yang mengatakan -kurang lebih seperti ini, soalnya ana agak lupa: “Perang itu adalah tipu daya.” Beliau melanjutkan “Jadi kalau kita menganggap Pemilu sebagai perang, jangan jujur-jujur amat.” Lalu dipaparkan tentang sirah Nabi Saw pernah mengotori sumur musuh dan disisakan satu sumur yang bersih sebagai taktik perang. Juga dalam perang boleh membunuh musuh.
Terus terang sampai titik ini, ana agak terganggu, maksudnya apa?
Lalu beliau menjabarkan. Jadi kalau Pemilu kita anggap sebagai perang maka tidak mengapa melakukan Money Politic agar rakyat memilih kita. Pihak lain saja melakukan Money Politic, lalu kenapa kita tidak melakukan hal yang sama? Sedangkan tujuan dakwah kita jelas, agar bisa melakukan perbaikan dan menegakkan Islam ketika berhasil menjabat sedangkan mereka ketika sudah menjabat malah melakukan korupsi misalnya supaya balik modal. Untuk mendukung ucapannya, beliau menganalogikan dengan adanya ajaran Islam yang memberikan Ghanimah kepada Muallaf agar hatinya teguh pada Islam.
Beliau juga sempat merinci kasus per kasus ketika Money Politic itu diperbolehkan, yaitu kenyataan bahwa masyarakat di daerah saya tinggal sekarang memang ‘kurang berpendidikan’ dan ‘matre’ walaupun tidak semuanya/mayoritas tapi ada yang seperti itu. Pada saat Pilgub beberapa waktu yang lalu, di TPS itu ada orang yang mondar-mandir (tidak segera bergegas mencoblos) dengan harapan ada pasangan yang memberinya uang. Ada juga keluarga yang tidak mencoblos karena tidak ada yang memberinya uang pedahal di keluarga itu ada 6 suara. Maka pada kondisi seperti itu, kita tidak mengapa memberi uang supaya memilih kita!
Selanjutnya, beliau sempat berkata bahwa tidak semua money politic itu haram. Contohnya, ketika ada si Fulan yang telah lulus ujian CPNS tapi namanya akan dicoret sebagai CPNS kalau tidak memberikan uang, maka hal ini boleh karena tidak ada hak orang yang kita rebut dengan cara kotor, kita hanya memperjuangkan hak kita. Tentu kasusnya berbeda kalau kita tidak lulus CPNS lalu membayar supaya jadi PNS.
Beliau mengakhiri dengan kebersediaanya beliau kalau ingin diskusi atau bertabayun terhadap uraiannya. Namun ana belum sempat tabayun ke beliau. Sementara itu yang ana tangkap, walaupun mungkin ada informasi dan pemahaman yang tidak utuh. Ana mohon penjelasannya Ustadz. Jazakumullah Khairan Katsiran. (Abu Hafuza)
Jawaban:
Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh.
Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala aalihi wa ashhabihi wa man waalah, wa ba’d.
Kepada Abu Hafuza yang dirahmati Allah Ta’ala, Semoga antum tetap istiqamah, berdiri bersama orang-orang yang benar, baik pagi dan sorenya, atau malam dan siangnya, walau semakin sedikit orang-orang yang berani menampakkan kebenaran.
Kemudian, semoga Allah Ta’ala memberikan hidayah kepada kita semua, khususnya kepada “Sang Ustadz” dalam acara mukhayam kepanduan yang antum ikuti. Agar yang haq adalah haq lalu kita selalu bersamanya. Dan yang batil adalah batil dan kita selalu menjadi oposisinya.
Saya akan memberikan komentar sejauh dari apa yang antum tanyakan dan tulis, ada pun di luar itu, saya tidak mengomentarinya. Dan, saya mohon maaf atas hal itu.
Jika Tidak Ada lagi Rasa Malu Lakukanlah Apa pun Semaumu
Ini komentar saya yang pertama. Hendaknya para da’i, ustadz, dan murabbi menjadi teladan yang baik. Jangan menyebarkan syubhat di tengah umat dengan ucapan dan tingkah lakunya. Jadilah orang yang wara’ pada semua keadaan. Termasuk ketika perang sekali pun menghadapi musuh. Tetapi, bagi orang yang rasa malunya menipis memang biasanya terjadi degradasi kepekaan terhadap dosa. Maka silahkan katakan dan lakukan apa saja yang dikehendakinya.
Dari Abu Mas’ud Al Anshari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ مِمَّا أَدرَكَ النَاسُ مِن كَلاَمِ النُّبُوَّةِ الأُولَى إِذا لَم تَستَحْيِ فاصْنَعْ مَا شِئتَ
Dari Abu Mas’ud ‘Uqbah bin ‘Amru Al Anshari Al Badri Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Sesungguhnya di antara ucapan kenabian yang pertama kali manusia ketahui adalah; jika engkau tidak malu maka lakukan apa saja sesuai kehendakmu.” (HR. Al Bukhari (3484, 6120), Adabul Mufrad (597, 1316), Ibnu Hibban (607), Al Baihaqi, Syu’abul Iman (7734, 7736), As Sunan Al Kubra (20576), Ahmad (17131, 17139, 22399, 23302), Ibnu Al Ju’di dalam Musnadnya (819), Al Qudha’i dalam Musnad Asy Syihab (1153, 1154, 1156), Abu Daud Ath Thayalisi dalam Musnadnya (621, 655), Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar (1327, 1328, 1329), Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf (20149), Ibnu ‘Asakir dalam Al Mu’jam (582, 1197))
“ …. Lalu mereka berfatwa, mereka sesat dan menyesatkan.”
Tidak sedikit orang berbicara agama, tetapi kurang hati-hati. Lalu dia tergelincir menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal. Apalagi orang tersebut tidak mau menanyakan kepada para ulama. Minimal berdekatan dengan kitab-kitab para ulama, atau dia berdiskusi dengan yang lainnya agar memiliki gambaran yang jelas dan tidak terburu-buru dalam berfatwa.
Namun, ketika hawa nafsu telah menjadi panglima, kepentingan politik di atas segalanya, menang kalah pertarungan politik menjadi targetnya. Yang haram bisa dibuat abu-abu, sementara jalan halal yang terang benderang tidak ditempuhnya. Maka lahirlah pernyataan-pernyataan yang membingungkan bahkan cenderung menyesatkan manusia, setelah dirinya sendiri telah bingung dan tersesat!
Dari Abdullah bin Amr bin al-‘Ash Radhiallahu ‘Anhuma, katanya: aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنْ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالًا فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah mencabut ilmu begitu saja dari para hamba, tetapi Dia mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sampai tidak lagi tersisa seorang ulama. Akhirnya manusia menjadikan tokoh-tokoh bodoh sebagai rujukan, lalu mereka ditanya kemudian berfatwa dengan tanpa ilmu, lalu mereka sesat dan menyesatkan.”(HR. Bukhari, 100)
Qiyas Ma’al Fariq
Qiyas Pertama. Sang pemateri, mengqiyaskan banyak hak untuk menguatkan argumentasi dan pandangannya. Seperti menggunakan hadits Shahih Bukhari: “Samma An Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Al Harba Khad’ah – Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menamakan perang dengan tipu daya”, untuk membolehkan money politic (baca: suap). Dia menganggap money politic adalah trik dan tipu daya halal untuk kemenangan pemilu. Sembari berdalih karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah mengotori sumur musuh yang bersih, dan menyisakan satu yang bersih, dan juga karena dalam perang dibolehkan membunuh musuh.
Pendapat ini memiliki beberapa cacat.
Pertama. Perang dalam Pilkada, Pilgub, Pilpres, dan Pemilu secara umum di negeri muslim seperti di Indonesia, bukanlah peperangan melawan orang kafir, dan sama sekali berbeda dengan makna al-Harb dalam hadits tersebut. Partai-partai yang berkompetisi di negeri ini mayoritas adalah muslim secara pribadinya. Bahkan bisa jadi secara personally mereka lebih shalih dibanding sebagian aktivis Islam.
Maka, menyamakan trik dan tipu daya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika perang melawan orang kafir, dengan trik berupa money politic untuk melawan partai-partai lain dalam pemilu pada saat ini, yang mereka umumnya juga muslim, adalah qiyas ma’al fariq (analagi yang kontradiktif), tidak aple to aple bahkan zhalim. Sebab, seakan telah menyamakan sesama muslim sebagaimana orang kafir. Hanya karena mereka berbeda pilihan politiknya. Dari sisi ini saja sudah cukup menjelaskan bahwa “Sang Ustadz” telah ceroboh dalam “fatwa”nya.
Kedua. Kalau pun Sang Ustadz tidak bermaksud mengqiyaskan, Beliau hanya memberikan contoh sekaligus dalilnya. Ini juga pendalilan yang lemah bahkan tidak pantas. Tidak pantas hadits al-Harbu Khad’ah –perang adalah tipu daya, dijadikan dalil untuk money politic (risywah/suap) dan membeli suara, untuk mengelabui sesama muslim. Tidak pantas pula kasus pengotoran sumur musuh, untuk dalil menghalalkan money politic. Terlebih lagi bolehnya membunuh musuh (kafir) ketika perang, dijadikan dalil untuk halalnya money politic juga. Dengan kata lain, tidak ada wajh istidlal (sisi pendalilan) yang cocok di sisi mana pun yang mendukung pernyataannya.
Jika yang dimaksud “tipu daya dalam perang” adalah membuat ranjau yang tertutup pohon, membuat perangkap untuk menangkap musuh, seorang prajurit berkata “tidak” atau tidak mau bicara ketika diinterogasi musuh padahal dia tahu jawabannya, prajurit menggunakan seragam yang dapat menyamar, atau menyamar agar bisa masuk ke markas musuh, maka inilah tipu daya dalam peperangan. Dibenarkan syariat, akal, dan tradisi peperangan di mana pun. Ada pun money politic, memberikan sogokan untuk mempengaruhi keputusan floating mass, dan floating mass bukanlah musuh, tanyakan kepada hati nuranimu, niscaya nurani yang masih dihuni cahaya fitrah, akan menolaknya.
Membunuh dalam peperangan adalah konsekuensi orang berperang, dan itu adalah hal yang niscaya. Begitulah perang, hal-hal yang terlarang dalam keadaan normal seperti membunuh, menjebak manusia (musuh), menyembunyikan fakta, dan semisalnya, menjadi hal yang dibolehkan. Sedangkan money politic (menyuap) dalam Pemilu, Pilkada, dan semisalnya, bukanlah konsekuensi orang berpolitik, kecuali bagi para pengidap machiavelist. Tidak ada satu pun ulama yang mengatakan menyuap haram, kecuali ketika Pemilu, maka dia jadi halal. Apalagi pesaing dalam pemilu adalah sama-sama muslim, yang lebih pas pemilu semestinya disebut berlomba dalam kebaikan, bukan peperangan. Betapa pun pesaing tersebut menggunakan cara-cara kasar, dan memposisikan aktivis Islam sebagai musuh.
Qiyas kedua. Sang pemateri juga membolehkan money politic karena menyamakan hal itu dengan orang-orang mualaf yang diberikan ghanimah oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Ini juga qiyas yang sangat jauh, dan keberanian yang luar biasa karena dia telah menyamakan kedudukan dan fungsi harta ghanimah yang mulia dengan money politic yang haram. Wallahul Musta’an!
Mualaf yang mendapatkan ghanimah dan juga zakat, adalah manshush ‘alaih (berdasarkan nash), agar mereka teguh kepada Islam dan tidak kembali kepada kekafiran. Sedangkan memberikan money politic, agar mereka teguh terhadap apa? Dan agar mereka tidak kembali kepada apa?
Jika dikatakan agar teguh terhadap Islam, justru Islam melarang suap. Jika dikatakan agar mereka tidak kembali kepada kekafiran, maka lawan-lawan politik kita ternyata sesama muslim, saudara kita sendiri, bukan musuh, dan bukan orang kafir.
Money Politic karena Musuh juga Melakukannya
Di Mesir, aktivis gerakan Islam diperkirakan akan meraih kemenangan besar jika Pemilu diadakan dengan jujur dan adil. Karena kekalahan mereka sebelum-sebelumnya adalah lebih disebabkan kecurangan dari musuh-musuhnya. Begitu pula di Tunisia.
Kemenangan seperti ini yang seharusnya terjadi di negeri ini, yakni karena keadilan dan tidak ikut-ikutan berbuat curang, dan bersabarlah untuk memenangkannya. Bukankah jatuhnya citra partai da’wah disebabkan kendurnya mereka terhadap indibath syar’i-nya? Bukankah kemulusan wajah gerakan Islam ternoda lantaran mereka sudah berperilaku sama dengan musuh-musuhnya sendiri?
Jika pesaing melakukan money politic, maka laporkan itu. Tetaplah istiqamah dengan cara yang benar dan bersih. Jangan kehabisan akal dan strategi untuk mencari cara yang halal. Agar rahmat dan berkah Allah Ta’ala senantiasa bersama kita. Kalau pun kita kalah, tetapi kekalahan yang tetap mulia dan berwibawa, justru itulah kemenangan hakiki sebab kita mampu melawan hawa nafsu untuk berperilaku yang tidak benar. Jangan terburu-buru untuk menang, akhirnya menghalalkan segala cara, padahal ayat dan hadits selalu kita baca; bahwa Allah Ta’ala bersama orang-orang yang sabar!
Risywah itu Dosa Besar
Apakah risywah itu? Disebutkan dalam Al Mu’jam Al Wasith:
ما يعطى لقضاء مصلحة أو ما يعطى لإحقاق باطل أو إبطال حق
“Sesuatu yang diberikan agar tujuannya terpenuhi, atau sesuatu yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan yang haq.” (Al Mu’jam Al Wasith, 1/348. Dar Ad Da’wah)
Money politic adalah risywah, tidak syak lagi, dan merupakan cara batil untuk mencapai tujuan walau tujuannya adalah haq. Money politic adalah upaya memenangkan yang kalah dengan cara batil, atau mengalahkan yang menang dengan cara batil pula.
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي و المرتشي
“Rasulullah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap.” (HR. At Tirmidzi, 1337, katanya: hasan shahih. Abu Daud, 3580, Al Hakim dalam Al Mustadrak, 7066, katanya: shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim. Imam Adz Dzahabi berkata dalam At Talkhish:”Shahih”)
Dalam hadits Tsauban, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga melaknat perantara suap. (Ar Ra-isy). (HR. Ahmad, 22399, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Shahih lighairih.” Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 22399)
Niat dan Tujuan yang Baik Tidaklah Merubah Sarana yang Haram menjadi Halal, kecuali Memiliki Dalil
Kaidahnya:
الغاية لا تبرر الوسيلة إلا بدليل
Tujuan (yang baik) tidaklah membuat baik sarana (yang haram) kecuali dengan adanya dalil. (Syaikh Walid bin Rasyid bin Abdul Aziz bin Su’aidan, Tadzkir Al Fuhul bitarjihat Masail Al Ushul, Hal. 3. Lihat juga Talqih Al Ifham Al ‘Aliyah, 3/23)
Tujuan dan niat yang mulia tidak boleh dijalankan dengan sarana yang haram. Sarana haram itu tetap haram walau dipakai untuk niat dan tujuan yang baik. Seperti kasus memenangkan dakwah dalam kompetisi politik.
Dalilnya:
وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Dan janganlah kamu mencampurkan antara haq dan batil, dan kamu menyembunyikan yang hak itu padahal kamu tahu.” (QS. al-Baqarah [2]: 42)
Ada pun yang ditunjukkan oleh nash boleh dilakukan adalah berbohong dalam berperang, mendamaikan saudara yang bertengkar, berbohongnya suami istri untuk menghargai dan menjaga perasaan mereka, dan beberapa contoh yang lain.
Oleh karenanya, memperjuangkan agama yang mulia, tidak boleh dengan cara-cara yang tidak mulia walau cara itu dianggap efektif. Selain tidak berkah, itu juga mengotori citra dakwah dan Islam. Sadarkah “Sang Ustadz” ini?
Bukan Termasuk Risywah
Ada pemberian uang yang tidak termasuk suap sebagaimana yang dijelaskan para ulama. Imam Ibnul Atsir dalam Nihayah-nya berkata:
فأما ما يعطى توصلا إلى أخذ حق أو دفع ظلم فغير داخل فيه روى أن بن مسعود أخذ بأرض الحبشة في شيء فأعطى دينارين حتى خلى سبيله وروى عن جماعة من أئمة التابعين قالوا لا بأس أن يصانع الرجل عن نفسه وماله إذا خاف الظلم
Ada pun pemberian demi untuk mengambil hak atau mencegah kezaliman bukanlah termasuk suap. Diriwayatkan bahwa ketika di Habasyah, Ibnu Mas’ud pernah memberikan dua dinar sampai jalan yang ditempuhnya menjadi sepi (tidak ada gangguan). Diriwayatkan dari Jama’ah para imam tabi’in, mereka mengatakan: tidak apa-apa seseorang memberikan hartanya jika dia takut kezaliman. (Sebagaimana dikutip Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 4/471)
Lihat juga beberapa kitab lainnya. (Imam Al Baghawi, Syarhus Sunnah, 10/88, Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiah ‘Ala Ibni Majah, 5/16, dll)
Benar Tapi Salah
Sang Pemateri telah benar ketika mengatakan bolehnya memberikan sejumlah uang, bagi CPNS yang telah lulus dengan prosedur yang benar, tetapi namanya akan dicoret jika dia tidak memberikan uang itu. Dia melakukan itu untuk memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh orang zalim yang ada di instansi tersebut. Ini benar.
Begitupula yang semisal ini, jika seseorang yang memberikan sejumlah uang kepada orang yang telah menculik anaknya, dia melakukan itu untuk mengambil haknya yang telah dirampas yaitu anak. Ini tidak dikatakan risywah (suap). Tidak berdosa bagi yang memberi, tapi berdosa bagi yang menerima.
Begitupula yang semisal ini, seseorang sudah lulus ujian untuk mendapatkan SIM, baik ujian teori atau praktek, tetapi dia digagalkan berkali-kali karena tidak memberikan sejumlah uang, maka dia boleh memberikan sejumlah uang kepada oknum polisi tersebut yang telah merampas haknya. Ini bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya yang telah dirampas oleh oknum polisi tertsebut. Hal ini berbeda dengan seseorang yang sejak awal sudah memberikan uang kepada oknum polisi, untuk memperlancar urusannya, padahal dia sama sekali belum layak untuk mendapatkan SIM karena ketidakmampuannya.
Semisal pula dengan ini, seseorang pedagang kaki lima yang berdagang di sebuah tempat strategis, dan siapa pun berhak berdagang di sana, tetapi ada sekelompok preman yang meminta uang keamanan yang ilegal (baca: pungli), yang jika tidak diberikan maka pedagang ini akan diusir dari tempat tersebut. Maka, dia boleh memberikan uang tersebut bukan karena ingin menyuap, tetapi memperjuangkan haknya. Ini juga sesuai dengan kaidah Al Irtikab Akhafu Dhararain, melaksanakan mudharat yang paling ringan di antara dua mudharat. Memberikan sejumlah uang kepada mereka adalah mudharat, tetapi tidak bisa berdagang di tempat yang strategis juga mudharat, bahkan mudharatnya lebih besar. Maka, tidak apa-apa dia memilih mudharat yang lebih kecil untuk menghindar mudharat yang lebih besar.
Semisal dengan ini pula, seorang saudagar yang dirampok dagangannya oleh perampok jalanan, saudagar ini akhirnya memberikan sejumlah uang untuk menundukkan hati perampok agar tidak mengambil keseluruhannya. Jika saudagar ini tidak memberikan, atau malah melawan, justru perampok itu akan mengambil keseluruhannya bahkan membunuhnya. Maka, kondisi ini boleh baginya untuk memberikan kepada perampok itu sejumlah uang, untuk menghindar mudharat yang lebih besar.
Dan, contoh-contoh lain semisal ini. Semua ini hakikatnya bukan suap karena mereka telah dianiaya, dirampas haknya, dan uang yang mereka berikan adalah untuk menebus hak-hak mereka yang dirampas itu. (lihat lagi pembahasan Bukan Termasuk Risywah)
Maka, letak kekeliruan Sang Pemateri adalah kasus CPNS tadi dijadikan dasar, atau dianggap sama dengan money politic untuk memenangkan Pilkada, Pilgub, Pilpres, atau Pemilu. Ini kekeliruan fatal bahkan sangat ngawur. Sebab, dalam pemilu siapakah yang dirampas haknya? Dan siapakah perampas itu sehingga kita harus memberikan uang kepadanya agar hak kita kembali?
Money politic dalam pemilu terjadi biasanya sebelum pencoblosan/pencontrengan -baik dibayar cash atau dijanjikan dulu adalah sama saja-, dengan kata lain siapa pemenang dan yang kalah belum ketahuan, lalu uang itu diberikan agar mereka memilih kita agar kita menang. Inilah suap, inilah risywah. Berbeda dengan CPNS yang telah lulus ujian, berbeda dengan orang yang sudah lulus ujian SIM, berbeda dengan orang tua yang merebut kembali anaknya, berbeda dengan pedagang kaki lima yang memang berhak berjualan. Karena mereka sedang memperjuangkan hak yang telah dirampas orang zalim. Bisakah Sang Pemateri, “Sang Ustadz” ini, membedakan dua keadaan ini?
“Sang Ustadz” ini juga memberikan contoh kasus sekeluarga yang memiliki 6 suara yang tidak memilih karena belum ada yang memberikan uang kepada mereka. Maka, mereka boleh saja diberikan uang untuk memenangkan kita. Justru inilah suap, karena mencoba mempengaruhi keputusan orang dengan memberikan sejumlah uang, dan tidak ada sama sekali kesamaan dengan kasus-kasus yang saya contohkan di atas.
Apa yang sedang dirampas dari Anda sehingga Anda harus merebutnya kembali dengan memberikan uang kepada mereka? Dan, inilah cara-cara kotor yang dilakukan oleh musuh-musuh dakwah, lalu kenapa jadi kita yang melakukannya, kenapa justru aktivis Islam direkomendasikan untuk melakukannya? Ini adalah “fatwa” ngawur yang tidak seharusnya keluar dari “Sang Ustadz”, bahkan tidak seharusnya keluar dari seorang muslim yang baik.
Aman Syariah, Aman Hukum Negara dan Aman Citra
Sungguh tepat kiranya, sebagian ustadz memberikan koridor bagi aktivis Islam dalam menjalankan perjuangannya. Baik keputusan, program kerja, dan penggunaan uang, yaitu hendaknya semua itu aman menurut syariah Islam, lalu aman pula menurut peraturan negara, dan aman pula bagi citra aktivis tersebut. Kalaupun sebagian ustadz mati-matian dan takalluf (maksain) untuk menghalalkan money politic, dan dia merasa bahagia dengan beragam alasan yang dikemukakan, tetaplah itu tidak aman menurut hukum negara dan akan merusak citra dirinya dan Islam itu sendiri. Partai Islam kok nyogok-nyogok juga. Akhirnya kebencian yang diperoleh, kemenangan juga menjauh.
Wahai para da’i, malulah dengan jenggotmu, hitam jidatmu, dan uban di rambutmu. Cukuplah itu menjadi perisai bagi kita untuk tidak bermain terlalu jauh dan berani dalam zona yang abu-abu. Kalaulah level “halal-haram” sudah bisa dilalui dan difahami, hendaknya berpikir pula level “kepantasan.” Jika ada seorang da’i bermain catur karena memilih pendapat ulama yang membolehkan seperti Abu Hurairah, Sa’id bin Jubeir, al-Qaradhawi, dan lainnya, tetapi hendaknya dia tidak berpikir dari sisi boleh tidak boleh semata, tetapi pantaskah dia melakukannya? Ambillah ini sebagai pelajaran!
Berbaik Sangka
Kami mencoba berbaiksangka, dan memang seharusnya demikian sikap kita terhadap sesama muslim. Bahwa mudah-mudahan pernyataan “Sang Ustadz” ini keluar karena dia dalam keadaan belum tahu, lupa, kurang teliti, dan udzur lainnya yang membuatnya tidak dianggap sengaja berbuat salah. Sebab, sebagaimana diterangkan dalam hadits shahih, Allah Ta’ala memaafkan dan tidak menganggap kesalahan orang yang lupa, kesalahan tidak sengaja, terpaksa, anak-anak, orang gila, dan orang tertidur.
Semoga Allah Ta’ala memberikan petunjuk kepada kita semua agar tetap bersama al-Haq dan Ahlul Haq.
Wa Shallallahu ‘Ala Nabiyina Muhamamdin wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Sallam.
Wallahu A‘lam.
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com