Tarqiyah :
Oleh: Muhammad Yasin Jumadi, Lc.
Sebagian dai menganggap bahwa jihad hanya berarti berperang saja, tidak ada jihad tanpa berperang. Efeknya, timbul orang-orang yang menginginkan perang walau belum waktunya dan tidak sempurna persiapannya. Mereka merasa berdosa jika tidak berperang.
Pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan jihad yang dimaksudkan oleh Al-Quran, sunnah, sahabat dan tabi’in. Mengetahui makna jihad secara benar akan menjauhkan kita dari pemahaman jihad yang salah.
Dalam kamus bahasa Arab bernama Lisanul Arab jihad tak hanya berarti memerangi musuh, tapi juga berarti melakukan sesuatu dengan sangat sungguh-sungguh dalam usaha dan kekuatan, baik perkataan maupun perbuatan.
Ayat Al-Quran yang menunjukkan makna jihad yang menyeluruh adalah surat Al-Furqan ayat 52-52 yang artinya, “Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami utus seorang pemberi peringatan pada setiap negeri. Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar.” Ayat ini turun di Makkah. Sementara di Makkah jihad berperang belum boleh dilakukan oleh Rasul dan sahabat. Jadi jelaslah makna jihad dalam ayat ini adalah perintah Allah berjihad dengan hujjah, penjelasan, dan penyampaian Al-Quran dengan usaha sangat sungguh-sungguh.
Ayat lain yang menunjukkan makna jihad adalah surat At-Taubah ayat 73 yang artinya, “Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” Jihad terhadap munafik dalam ayat ini bukan berarti memerangi mereka, akan tetapi berjihad dengan menyampaikan hujjah kepada mereka. Jika tidak, maka orang-orang munafik berada dalam kekerasan umat Islam.
Sementara makna jihad dalam hadis, Rasul bersabda, “Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap nafsunya. Dan muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” Menanggapi hadis ini, dalam kitab Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim mengatakan, “Jihad nafsu lebih dahulu dari pada jihad musuh di luar.”
Tujuan Jihad
Kesimpulan dari pemahaman jihad di atas adalah, jihad berarti memerangi musuh internal maupun musuh eksternal. Tujuan jihad bukan untuk melenyapkan musuh, akan tetapi melenyapkan sebab-sebab permusuhan. Kekafiran adalah sebab permusuhan antara mukmin dan kafir. Jika sebab ini hilang, dan orang kafir itu masuk Islam, maka hilanglah permusuhan. Sifat munafik adalah sebab permusuhan antara mukmin dan munafik. Jika hilang kemunafikan, maka hilanglah permusuhan.
Dakwah Sarana Utama Menghilangkan Kekafiran
Dakwah lebih dahulu dari pada segalanya. Ini adalah ketetapan. Dakwah adalah sarana pertama dalam mengubah kekafiran kepada keimanan. Tujuan dakwah secara lisan dan kekuatan adalah sama. Dan dasar dari pembentukan masyarakat muslim adalah mendakwahi individu untuk masuk Islam hingga ia berpegang teguh pada akidah dan syariatnya. Dengan dakwah, setiap hari ada orang musyrik Makkah yang masuk Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka berubah dari tentara setan menjadi tentara ar-rahman.
Dakwah dengan Hikmah dan Perkataan yang Baik
Hakikat dakwah adalah mengajak manusia kepada Islam kaffah dengan hikmah dan perkataan yang baik. Masyarakat Islam memerangi masyarakat kafir bukan karena mereka kafir, tapi karena mereka menghambat dakwah dengan hikmah dan perkataan yang baik.
Oleh karena itu, membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang bertarung adalah menghilangkan dakwah dengan hikmah. Peran perkataan yang menyentuh tak ada lagi. Bahkan pemikiran memberantas kebathilan hanya dengan kekerasan membawa pihaknya bersembunyi di kaki-kaki gunung atau goa-goa yang dalam. Jika telah mengasingkan diri seperti itu dakwah akan melemah dari hari ke hari.
Waktu Menggunakan Kekuatan
Islam menetapkan dua jalan dakwah: pertama, dakwah dengan hikmah dan perkataan yang baik, yaitu ketika umat Islam bercampur dengan pihak lain dan jumlah mereka sedikit dalam masyarakat. Kedua, dakwah dengan segala cara termasuk perang, yaitu ketika masyarakat Islam memiliki kekuatan yang kuat dari sisi strategi, masyarakat, ekonomi, dan lainnya.
Allah berfirman, “Tidakkah kalian memperhatikan orang-orang yang dikatakan pada mereka, ‘Tahanlah tangan-tangan kalian (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!’ Ketika mereka diwajibkan perang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti mereka takut terhadap Allah, bahkah lebih takut (dari itu)…”
Terkait firman Allah ini, Ibnu Katsir berkata, “Masa awal Islam di Makkah, orang-orang mukmin diperintah untuk shalat, zakat, membantu orang yang membutuhkan, dan memaafkan tindak keji kaum musyrikin, bersabar hingga datang waktunya. Di antara mereka ada yang marah dan ingin diperintah berperang membasmi musuh mereka. Tapi itu tidak tepat karena banyak hal, di antaranya sedikitnya jumlah mereka dibanding jumlah musuh, dan di antaranya juga mereka berada di negeri mereka, yaitu negeri haram (mulia).”
Dari penjelasa Ibnu Katsir ini menunjukkan bahwa beliau tidak setuju menggunakan kekuatan ketika jumlah umat Islam sedikit dan diprediksikan tidak akan menang. Ini bertentangan dengan pemahaman yang salah, yaitu kemenangan tidak ditentukan oleh jumlah secara mutlak. Bahwa seratus orang sabar mampu mengalahkan seribu. Mengetahui bahwa Al-Quran telah menjelaskan tentang ini dalam surat Al-Anfal. Allah berfirman yang artinya, “Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada dua ratus orang (yang sabar) di antara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Anfal: 65).
Ibnu Katsir berkata, dari Ibnu Abbas r.a.: ketika turun ayat yang artinya “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” Ini berat terhadap umat Islam ketika Allah mewajibkan mereka agar tidak lari ketika satu orang berhadapan dengan sepuluh orang. Oleh karena itu ada peringanan dari Allah dengan firmannya yang artinya, “Sekarang Allah telah meringankan kalian…” Ibnu Abbas berkata, “Allah ringankan dari sisi jumlah. Dan kesabaran juga berkurang sesuai peringanan.”
Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Ketika ayat ini turun, menjadi berat terhadap umat Islam. Mereka menjadi berat jika dua puluh orang memerangi dua ratus orang, dan seratus orang memerangi seribu orang. Sehingga Allah meringankan bagi mereka dengan menurunkan ayat lain. Mereka tak boleh lari dari musuh. Akan tetapi jika jumlah mereka sedikit, maka mereka tidak wajib memerangi musuh.”
Dalam kitab tafsirnya Imam Ar-Razi mengatakan, “Berdasarkan ayat ini, setiap muslim haram menyerah selama masih memiliki senjata untuk berperang. Jika tidak punya senjata, maka boleh menyerah. Jika satu orang berhadapan dengan tiga musuh, maka boleh menyerah dan bersabar.”
Ini adalah pelajaran penting yang sangat dibutuhkan oleh sebagian orang yang menganggap sikap nekat menggunakan kekerasan adalah cara mendekatkan diri pada Allah. Mereka keliru ketika menganggap satu orang melawan seribu orang adalah salah satu cara yang islami. Pemahaman seperti ini telah disalahkan oleh dua ayat di atas.
Sementara perkataan Ibnu Katsir, “Di antara sebabnya adalah karena mereka berada di negeri mereka.” Ini menunjukkan bahwa kecerdasan dan kebijakannya. Ibnu Katsir melihat bahwa muslim Makkah tinggal di negeri mereka. Jika mereka menggunakan kekerasan dan kekuatan, maka itu akan menimpa negeri mereka sendiri terlebih dahulu. Sedangkan dengan tidak menggunakan kekerasan, maka saat itu umat Islam yang sedikit dikenal sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan, kebaikan, pembangunan, menyadarkan, dan menghubungkan silaturrahmi walau musuhnya dari kaumnya memboikot dan menyakiti.
Surat Al-Fath menguatkan makna Ini. Surat Al-Fath mengingatkan bahwa adanya sebagian orang-orang beriman yang menutupi keimanannya dalam masyarakat Makkah adalah salah satu sebab dari tidak dibolehkannya berperang. Allah berfirman yang artinya, “…dan kalau bukanlah karena ada beberapa orang beriman laki-laki maupun perempuan yang tidak kalian ketahui, tentulah kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesulitan tanpa kalian sadari; karena Allah hendak memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka terpisah, tentu Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” (QS. Al-Fath: 25).
Kesimpulannya, melakukan dakwah dengan hikmah dan perkataan yang baik adalah sebuah keniscayaan ketika adanya percampuran antara orang-orang saleh dan lainnya, antara umat Islam dengan lainnya. Dan menggunakan kekerasan tidak pada tempatnya justru membahayakan bagi dakwah dan dai.(alintima/to)
Disarikan dari kitab “Qawaidu Ad-Da’wah Ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Darul Wafa’, Manshurah, Mesir
Wallahu A‘lam.
Oleh: Muhammad Yasin Jumadi, Lc.
Sebagian dai menganggap bahwa jihad hanya berarti berperang saja, tidak ada jihad tanpa berperang. Efeknya, timbul orang-orang yang menginginkan perang walau belum waktunya dan tidak sempurna persiapannya. Mereka merasa berdosa jika tidak berperang.
Pemahaman seperti ini tidak sesuai dengan jihad yang dimaksudkan oleh Al-Quran, sunnah, sahabat dan tabi’in. Mengetahui makna jihad secara benar akan menjauhkan kita dari pemahaman jihad yang salah.
Dalam kamus bahasa Arab bernama Lisanul Arab jihad tak hanya berarti memerangi musuh, tapi juga berarti melakukan sesuatu dengan sangat sungguh-sungguh dalam usaha dan kekuatan, baik perkataan maupun perbuatan.
Ayat Al-Quran yang menunjukkan makna jihad yang menyeluruh adalah surat Al-Furqan ayat 52-52 yang artinya, “Dan sekiranya Kami menghendaki, niscaya Kami utus seorang pemberi peringatan pada setiap negeri. Maka janganlah engkau taati orang-orang kafir, dan berjihadlah terhadap mereka dengan jihad yang besar.” Ayat ini turun di Makkah. Sementara di Makkah jihad berperang belum boleh dilakukan oleh Rasul dan sahabat. Jadi jelaslah makna jihad dalam ayat ini adalah perintah Allah berjihad dengan hujjah, penjelasan, dan penyampaian Al-Quran dengan usaha sangat sungguh-sungguh.
Ayat lain yang menunjukkan makna jihad adalah surat At-Taubah ayat 73 yang artinya, “Wahai Nabi! Berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan orang-orang munafik, dan bersikap keraslah terhadap mereka. Tempat mereka adalah neraka jahannam. Dan itulah seburuk-buruk tempat kembali.” Jihad terhadap munafik dalam ayat ini bukan berarti memerangi mereka, akan tetapi berjihad dengan menyampaikan hujjah kepada mereka. Jika tidak, maka orang-orang munafik berada dalam kekerasan umat Islam.
Sementara makna jihad dalam hadis, Rasul bersabda, “Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap nafsunya. Dan muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan larangan Allah.” Menanggapi hadis ini, dalam kitab Zadul Ma’ad Ibnul Qayyim mengatakan, “Jihad nafsu lebih dahulu dari pada jihad musuh di luar.”
Tujuan Jihad
Kesimpulan dari pemahaman jihad di atas adalah, jihad berarti memerangi musuh internal maupun musuh eksternal. Tujuan jihad bukan untuk melenyapkan musuh, akan tetapi melenyapkan sebab-sebab permusuhan. Kekafiran adalah sebab permusuhan antara mukmin dan kafir. Jika sebab ini hilang, dan orang kafir itu masuk Islam, maka hilanglah permusuhan. Sifat munafik adalah sebab permusuhan antara mukmin dan munafik. Jika hilang kemunafikan, maka hilanglah permusuhan.
Dakwah Sarana Utama Menghilangkan Kekafiran
Dakwah lebih dahulu dari pada segalanya. Ini adalah ketetapan. Dakwah adalah sarana pertama dalam mengubah kekafiran kepada keimanan. Tujuan dakwah secara lisan dan kekuatan adalah sama. Dan dasar dari pembentukan masyarakat muslim adalah mendakwahi individu untuk masuk Islam hingga ia berpegang teguh pada akidah dan syariatnya. Dengan dakwah, setiap hari ada orang musyrik Makkah yang masuk Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka berubah dari tentara setan menjadi tentara ar-rahman.
Dakwah dengan Hikmah dan Perkataan yang Baik
Hakikat dakwah adalah mengajak manusia kepada Islam kaffah dengan hikmah dan perkataan yang baik. Masyarakat Islam memerangi masyarakat kafir bukan karena mereka kafir, tapi karena mereka menghambat dakwah dengan hikmah dan perkataan yang baik.
Oleh karena itu, membagi masyarakat menjadi dua kelompok yang bertarung adalah menghilangkan dakwah dengan hikmah. Peran perkataan yang menyentuh tak ada lagi. Bahkan pemikiran memberantas kebathilan hanya dengan kekerasan membawa pihaknya bersembunyi di kaki-kaki gunung atau goa-goa yang dalam. Jika telah mengasingkan diri seperti itu dakwah akan melemah dari hari ke hari.
Waktu Menggunakan Kekuatan
Islam menetapkan dua jalan dakwah: pertama, dakwah dengan hikmah dan perkataan yang baik, yaitu ketika umat Islam bercampur dengan pihak lain dan jumlah mereka sedikit dalam masyarakat. Kedua, dakwah dengan segala cara termasuk perang, yaitu ketika masyarakat Islam memiliki kekuatan yang kuat dari sisi strategi, masyarakat, ekonomi, dan lainnya.
Allah berfirman, “Tidakkah kalian memperhatikan orang-orang yang dikatakan pada mereka, ‘Tahanlah tangan-tangan kalian (dari berperang), laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat!’ Ketika mereka diwajibkan perang, tiba-tiba sebagian mereka (golongan munafik) takut kepada manusia (musuh), seperti mereka takut terhadap Allah, bahkah lebih takut (dari itu)…”
Terkait firman Allah ini, Ibnu Katsir berkata, “Masa awal Islam di Makkah, orang-orang mukmin diperintah untuk shalat, zakat, membantu orang yang membutuhkan, dan memaafkan tindak keji kaum musyrikin, bersabar hingga datang waktunya. Di antara mereka ada yang marah dan ingin diperintah berperang membasmi musuh mereka. Tapi itu tidak tepat karena banyak hal, di antaranya sedikitnya jumlah mereka dibanding jumlah musuh, dan di antaranya juga mereka berada di negeri mereka, yaitu negeri haram (mulia).”
Dari penjelasa Ibnu Katsir ini menunjukkan bahwa beliau tidak setuju menggunakan kekuatan ketika jumlah umat Islam sedikit dan diprediksikan tidak akan menang. Ini bertentangan dengan pemahaman yang salah, yaitu kemenangan tidak ditentukan oleh jumlah secara mutlak. Bahwa seratus orang sabar mampu mengalahkan seribu. Mengetahui bahwa Al-Quran telah menjelaskan tentang ini dalam surat Al-Anfal. Allah berfirman yang artinya, “Wahai Nabi (Muhammad)! Kobarkanlah semangat para mukmin untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada dua ratus orang (yang sabar) di antara kalian, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir, karena orang-orang kafir itu adalah kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Anfal: 65).
Ibnu Katsir berkata, dari Ibnu Abbas r.a.: ketika turun ayat yang artinya “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang musuh.” Ini berat terhadap umat Islam ketika Allah mewajibkan mereka agar tidak lari ketika satu orang berhadapan dengan sepuluh orang. Oleh karena itu ada peringanan dari Allah dengan firmannya yang artinya, “Sekarang Allah telah meringankan kalian…” Ibnu Abbas berkata, “Allah ringankan dari sisi jumlah. Dan kesabaran juga berkurang sesuai peringanan.”
Diriwayatkan oleh Bukhari, dari Ibnu Abbas r.a. berkata, “Ketika ayat ini turun, menjadi berat terhadap umat Islam. Mereka menjadi berat jika dua puluh orang memerangi dua ratus orang, dan seratus orang memerangi seribu orang. Sehingga Allah meringankan bagi mereka dengan menurunkan ayat lain. Mereka tak boleh lari dari musuh. Akan tetapi jika jumlah mereka sedikit, maka mereka tidak wajib memerangi musuh.”
Dalam kitab tafsirnya Imam Ar-Razi mengatakan, “Berdasarkan ayat ini, setiap muslim haram menyerah selama masih memiliki senjata untuk berperang. Jika tidak punya senjata, maka boleh menyerah. Jika satu orang berhadapan dengan tiga musuh, maka boleh menyerah dan bersabar.”
Ini adalah pelajaran penting yang sangat dibutuhkan oleh sebagian orang yang menganggap sikap nekat menggunakan kekerasan adalah cara mendekatkan diri pada Allah. Mereka keliru ketika menganggap satu orang melawan seribu orang adalah salah satu cara yang islami. Pemahaman seperti ini telah disalahkan oleh dua ayat di atas.
Sementara perkataan Ibnu Katsir, “Di antara sebabnya adalah karena mereka berada di negeri mereka.” Ini menunjukkan bahwa kecerdasan dan kebijakannya. Ibnu Katsir melihat bahwa muslim Makkah tinggal di negeri mereka. Jika mereka menggunakan kekerasan dan kekuatan, maka itu akan menimpa negeri mereka sendiri terlebih dahulu. Sedangkan dengan tidak menggunakan kekerasan, maka saat itu umat Islam yang sedikit dikenal sebagai orang-orang yang melakukan perbaikan, kebaikan, pembangunan, menyadarkan, dan menghubungkan silaturrahmi walau musuhnya dari kaumnya memboikot dan menyakiti.
Surat Al-Fath menguatkan makna Ini. Surat Al-Fath mengingatkan bahwa adanya sebagian orang-orang beriman yang menutupi keimanannya dalam masyarakat Makkah adalah salah satu sebab dari tidak dibolehkannya berperang. Allah berfirman yang artinya, “…dan kalau bukanlah karena ada beberapa orang beriman laki-laki maupun perempuan yang tidak kalian ketahui, tentulah kalian akan membunuh mereka yang menyebabkan kalian ditimpa kesulitan tanpa kalian sadari; karena Allah hendak memasukkan siapa yang Dia kehendaki ke dalam rahmat-Nya. Sekiranya mereka terpisah, tentu Kami akan mengazab orang-orang kafir di antara mereka dengan azab yang pedih.” (QS. Al-Fath: 25).
Kesimpulannya, melakukan dakwah dengan hikmah dan perkataan yang baik adalah sebuah keniscayaan ketika adanya percampuran antara orang-orang saleh dan lainnya, antara umat Islam dengan lainnya. Dan menggunakan kekerasan tidak pada tempatnya justru membahayakan bagi dakwah dan dai.(alintima/to)
Disarikan dari kitab “Qawaidu Ad-Da’wah Ila Allah” karya Dr. Hamam Abdurrahim Sa’id, cetakan Darul Wafa’, Manshurah, Mesir
Wallahu A‘lam.
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com