Tarqiyah :
Oleh: Sapto Waluyo
(Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform)
Wallahu A‘lam.
Impase Politik Mesir:
Kritik atas Pandangan Coen Husain Pontoh
Oleh: Sapto Waluyo
(Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform)
[Draf awal artikel ini telah dikirimkan ke jurnal online, Indo Progress, yang dikelola aktivis Kiri. Tapi, belum direspon sampai saat ini. Karena ini, artikel dikemas ulang dengan kerangka tetap sama, agar dapat diakses publik luas.]
Coen Husain Pontoh, mantan tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik) dan Editor IndoProgress, menulis artikel "Masa Depan Politik Mesir"[i]. Substansi gagasan yang diuraikannya sama sekali tak cocok dengan judul terpasang. Bukan masa depan demokrasi di Mesir dengan beragam tantangannya yang diulas, tapi debat perspektif Liberal vs Islamis, konstelasi politik domestik, bahkan kolaborasi militer yang menyembulkan pengkhianatan Ikhwanul Muslimin (IM), seperti dituduhkan Coen. Posisi IM sebagai salah satu aktor politik utama dikuliti habis, hingga visi ekonomi IM diadili tanpa riset memadai.
Tesis tentang masa depan demokrasi di Mesir hanya dibeberkan dalam dua – cuma dua – paragraf terakhir. Sayang sekali, pembaca disodorkan banyak informasi parsial dan logika tak nyambung dengan dinamika faktual di lapangan.
Perspektif Kiri
Artikel Coen mewakili pandangan golongan Kiri yang terkesan lepas tangan atas gejolak politik atau – lebih keren dijuluki -- revolusi rakyat yang telah didorongnya. Aktivis Kiri di Mesir yang tergabung dalam gerakan Tamarrud[ii] (pembangkangan sipil) berperan sentral dalam penjatuhan Presiden Muhammad Mursi. Namun, ketika kudeta militer mengambil alih kuasa, mereka terkejut dan meradang, lalu kini gamang menghadapi situasi yang tak bisa dikendalikan lagi.
Karena itu, sangat aneh bila Coen hanya menyorot perdebatan terbuka antara pendukung liberal vs islamis. Pada kenyataannya, ada kelompok Kiri semisal Egyptians Movement for Change yang memelopori Tamarrud dengan membuat petisi penolakan atas legitimasi Presiden Mursi.
Petisi Tamarrud itu mengklaim telah berhasil mengumpulkan dukungan: 15 juta (10 Juni) atau 22 juta (29 Juni) atau 30 juta (2 Juli) tanda tangan. Entah mana yang benar dan bagaimana proses pengumpulan tanda tangan secepat itu dilakukan, karena bukti kongkritnya tak pernah diperlihatkan ke publik, kecuali 170.000 tanda tangan yang dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi. Jika benar Tamarrud mampu mengumpulkan dukungan sebanyak itu, mengapa mereka tidak segera membentuk “Partai Pelopor Revolusioner”? Niscaya tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menandinginya di kotak suara atau di jalanan.
Tamarrud juga menepuk dada telah sukses mengerahkan 17 juta massa di Tahrir Square, dan itu dipercaya oleh para pengagumnya di luar Mesir sebagai demonstrasi terbesar sepanjang sejarah. Tetapi, orang yang pernah datang ke Kairo dan mengunjungi Tahrir Square akan bingung, bagaimana mungkin jutaan orang bisa berkumpul di kawasan yang mirip dengan lapangan Monas Jakarta itu?
Gamal Abdel Nasser memang acap berbagi inspirasi dengan Soekarno, sehingga mereka melontarkan gagasan dan kebijakan yang mirip, salah satunya adalah membangun Tahrir Square dan Medan Merdeka (dengan Monas sebagai simbol) menjadi lanskap utama ibukota Mesir dan Indonesia. Bagi pengamat yang obyektif, Tahrir Square hanya bisa disesaki oleh 300-400 ribu massa. Lebih dari itu, akan jadi neraka kerumunan[iii].
Sementara itu, pendukung Mursi – bukan hanya dari kubu Islamis, tetapi juga National Coalition for Supporting Legitimacy yang bersetuju dengan hasil Pemilu dan supremasi sipil – telah mencatat 11 juta dukungan (pertengahan Juni 2013)[iv]. Ini juga sulit dibuktikan, tetapi bisa dilacak tanda-tandanya dalam demonstrasi massa yang berpusat di lapangan Rabiah el-Adaweyah (Naser City), lalu menyebar Maidan Nahdah, selanjutnya menyemuti pusat kota Ramses Street. Sekujur kota Kairo stop beraktivitas untuk sementara waktu. Bahkan, aksi massa itu mempengaruhi lalu lintas ke kota lain, karena terminal Ramses yang berdekatan dengan Jembatan 6 Oktober jadi urat nadi. Tapi semua berjalan damai, tak ada aksi anarki, kecuali saat preman bayaran dan aparat keamanan memprovokasi. Karena itulah bisa dipahami majalah Time[v]membuat laporan utama “The World Best Protesters”, dengan 7 juta massa di seluruh penjuru kota.
Diskursus revolusi di Mesir pada pada fase penumbangan diktator (2011) maupun fase kudeta (2013) tak mungkin dilepaskan dari peran gerakan Kiri (sosialis-Nasseris), karena itu tak bisa disederhanakan hanya sebagai pertarungan wacana Liberal vs Islamis[vi]. Coen sengaja menyimpan jejak aktivis Kiri agar terselamatkan dari perebutan kekuasaan temporal, sehingga dapat berlindung dalam tesis suci tentang revolusi genuin rakyat. Hal itu tidak berlaku bagi Alaa Abdel Fattah[vii], salah seorang tokoh muda Kiri di balik Revolusi 25 Januari 2011 yang mempopulerkan slogan “Roti, Kebebasan, dan Keadilan Sosial” (Bread, Freedom, Social Justice).
Sebenarnya ada pula peran kelompok independen yang antara lain diwakili figur Wael Ghanem[viii], Marketing Executive Google untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang menginisiasi gerakan “We Are All Khaled Said” lewat facebook. Ada lagi, aktivis perempuan Asmaa Mahfoudz[ix] yang menerbitkan video berani mati sebagai bentuk deklarasi anti-Mubarak di YouTube untuk membakar semangat para demonstran di Tahrir Square. Spektrum ideologi pendukung Revolusi sangat rancak mirip Wikipedia, dalam istilah Ghanem, setiap orang dapat memberikan kontribusi.
Apakah Coen sengaja membatasi bacaan atau menyembunyikan fakta gerakan Kiri (dan beragam kelompok lain) di Mesir? Yang menyedihkan, inisiatif pembangkangan aktivis Kiri telah dimanfaatkan jenderal militer loyalis Mubarak dan memunculkan impase politik baru, kebuntuan yang berujung kekerasan. Sebagaimana pengamat liberal, Zuhairi Misrawi[x], Coen berselebrasi dengan wacana kudeta, seraya melupakan sejarah kelam pemerintahan sipil Salvador Allende yang digulingkan Jenderal Augusto Pinochet (Arief Budiman, 1987).
Menjadi tanggung-jawab intelektual Kiri untuk berterus-terang: apakah mereka bersetuju dengan kudeta militer sebagai bagian dari perlawanan rakyat tak bersenjata? Jika menolak pemerintahan sipil hasil pemilu yang dinilai tak becus menjalankan tuntutan Revolusi, maka haruskah bersepakat dengan pemerintahan boneka yang dikontrol penuh militer dan berniat menjalankan pemilu di masa darurat (agar calon militer maju lagi dalam pemilu dan mendapat legitimasi palsu)? Bagaimana upaya mencerdaskan dan menjaga stamina rakyat proletar untuk mengawal misi Revolusi, jika sebagai intelektual Kiri sudah menentukan distingsi: mana (kelompok) rakyat yang harus dibela, mana (kelompok) rakyat yang harus dikorbankan? Seberapa relevan pandangan humanisme Kiri dalam menimbang nyawa manusia yang bergelora menuntut perubahan?[xi] Darah yang tumpah di Indonesia (1965) atau di Chile (1973) atau di Mesir (2013) adalah darah rakyat, meski berlabel komunis atau sosialis atau islamis.
Konstelasi Politik Rumit
Coen menyebut empat kekuatan yang berpengaruh pasca kejatuhan Mubarak di Mesir, yaitu: militer yang terselamatkan gempuran Revolusi, birokrat antek Mubarak (fulul), IM yang diakui memiliki struktur dan jaringan organisasi luas, dan massa rakyat yang berasal dari berbagai aliran politik dan ideologi campur-aduk. Lalu, di mana posisi kekuatan kiri (sosialis-nasseris)? Rupanya, Coen menisbatkan kelompok Kiri sebagai bagian dari kuasa besar bernama "massa rakyat", padahal real politiknya terbatas. Tiga kelompok pertama dicap Coen sebagai “pemain lama dalam desain politik Mubarak dan secara institusi dan program-program politik adalah yang paling siap dalam proses politik pasca penggulingan”. Sementara kekuatan rakyat, dijelaskan Coen, walaupun moral politiknya besar, tapi secara kelembagaan politik paling lemah karena: tidak punya kepemimpinan politik yang jelas, tidak punya struktur organisasi yang teratur dan luas, serta tidak memiliki program-program politik dan ekonomi alternatif yang solid. Sebuah otokritik yang jujur tentang kelemahan golongan Kiri.
Coen mengkategorikan IM sebagai pemain lama bersama militer dan birokrat fulul, seakan terpisah dari kekuatan rakyat yang secara implisit dipersepsikan sebagai pemain baru. Di sinilah kesalahan persepsi itu bermula, berdasar asumsi bahwa IM tidak terlibat dalam arus Revolusi Januari 2011 menggulingkan rezim Mubarak. Suatu asumsi yang terbangun berlandaskan teks formal dan tidak membaca secara cermat dinamika di lapangan, termasuk di Medan Tahrir pada masa-masa genting kejatuhan Mubarak. Pimpinan IM[xii] memang tidak memberikan pernyataan formal untuk memelopori atau memimpin Revolusi, namun mereka mendukung penuh dan menugaskan kader-kader muda[xiii] untuk memperkuat soliditas aksi dan melindungi peserta aksi dari kalangan perempuan atau kelompok rentan.
Tokoh muda IM, Mohammed Abbas tercatat sebagai salah seorang anggota The Revolutionary Youth Council yang terbentuk di Medan Tahrir dan bertahan selama 18 hari Revolusi. Tokoh senior IM secara bijak mengambil jarak dari Revolusi Kaum Muda Mesir, agar gerakan perlawanan massif itu tidak prematur karena bisa dituding mengusung ideologi radikal Islamis atau dicap sekadar duplikasi Revolusi Islam Iran (1979). Harga yang harus dibayar adalah IM dipersepsikan kontra-revolusioner atau justru menunggangi Revolusi untuk ambisi kekuasaan. Anehnya, tak ada yang menuding hal serupa ketika tokoh liberal semacam Mohammed el-Baradei baru turun ke Medan Tahrir persis di bulan Januari 2011. El-Baradei kini diangkat sebagai Wakil PM dalam pemerintahan sementara, setelah kalah dalam pilpres tahun 2012.
Para aktivis dan wartawan yang terlibat langsung di Medan Tahrir telah mencatat peran tak terbantahkan kader IM dalam melindungi gerakan rakyat dari penyusupan dan provokasi preman atau aparat loyalis Mubarak.[xiv] Tugas lain kader IM ialah mengamankan toko dan apartemen yang ditinggalkan penghuninya karena bergabung dengan aksi di Medan Tahrir, termasuk memasok dan mengatur logistik demonstran. Bahkan, sampai soal kecil kebersihan di Medan Tahrir menjadi perhatian kader IM, disamping penataan waktu dan barisan shalat berjamaah. Konsistensi IM dalam pendisiplinan aksi massa tetap terjaga pada saat atau pasca penjatuhan Mursi dengan mengusung slogan pro-legitimasi dan pro-konstitusi. Demonstrasi Tajarrud yang berpusat di Medan Rabiah al-Adawiyah terlihat rapi dan aman (sehingga digambarkan mirip jamaah haji yang sedang berkumpul di kota suci), sementara demonstrasi di Medan Tahrir yang dimotori Tamarrud merekam pelecehan seksual terhadap sedikitnya 100 perempuan.
Pada momen yang tepat dan diperhitungkan dengan jeli untuk menandai Revolusi 2011, IM menghadirkan tokoh sekaliber Yusuf Qaradhawy untuk memimpin khutbah Jum’at di Medan Tahrir, Tapi, IM tidak mau memonopoli panggung Tahrir, sehingga tokoh seperti el-Baradei dan Amr Mousa yang lebih menguasai panggung, selain Hamdin Sabahi. IM memang pemain lama dalam perpolitikan Mesir, jauh sebelum Mubarak berkuasa, karena sejak berdiri 1928 di kota Ismailiyah, IM menyatakan menaruh perhatian terhadap kondisi negara Mesir (saat masih di bawah kekuasaan Raja Farouk) dan dunia Islam. IM bukan semata gerakan dakwah yang meramaikan masjid dengan zikir, namun memompa semangat perjuangan rakyat. Pendukung utama IM di masa awal terdiri dari kalangan pedagang, pekerja, kuli pelabuhan dan petani kecil plus guru dan dosen (Ishak Musa al-Husaini, 1983). Karena formasi keanggotaan yang beragam itulah, IM menampilkan diri sebagai gerakan populis, meski tak bisa dibilang gerakan proletariat dalam kacamata Kiri. Tapi jelas, IM tak bisa dikategorikan sebagai kelas borjuasi yang tak memiliki basis sosial dan ideologi di akar rumput.
Hasil pemilu legislatif tahun 2011 diperkuat dengan pemilihan presiden 2012 menunjukkan basis IM justru di pedesaan dan kota-kota kecil di luar Kairo. Sangat gamblang tergambar dalam hasil pemilu itu, betapa loyalis Mubarak hanya menguasai kota-kota besar yang dikontrol ketat aparat, sambil berbagi suara dengan partai sosialis dan liberal yang bermain di kalangan menengah. Jika harus dibandingkan, IM di Mesir bak perpaduan Masyumi (dalam hal ideologi) cum PDIP/NU (dalam hal loyalitas pengikut) di Indonesia. Mungkin tak paralel betul, namun siapa dapat memungkiri bahwa IM adalah arus utama gerakan populis di Mesir dan bukan kelompok minoritas pinggiran, apalagi sekadar klub intelektual salon.
Pengkhianatan IM?
Untuk mendukung tesisnya, betapa kudeta militer tak perlu ditangisi, Coen mendalilkan IM mengkhianati Revolusi saat berkolaborasi dengan militer. Pada Februari 2011, Coen menyitir beberapa anggota Dewan Penasehat[xv] IM bertemu dengan Wakil Presiden Jenderal Omar Suleiman. Hasil pertemuan itu, masih menurut Coen, adalah IM sepakat untuk membersihkan Tahrir Square dari para demonstran. Sebagai imbalannya, militer akan membebaskan dua tokoh terkemuka IM dari dalam penjara, yakni Khairat El-Shater dan Hassan Malek. Entah apa kaitannya, Coen menjelaskan, militer kemudian membebaskan Aboud dan Tarek El Zomor yang dipenjara karena tuduhan hendak membunuh Presiden Anwar Sadat. Tak lama kemudian, Tarek al-Bishri dan anggota IM Sobhi Saleh, ditunjuk SCAF untuk mempersiapkan amandemen konstitusi.
Simpulan Coen terlalu jauh menafsirkan interaksi antar kekuatan politik di tengah situasi chaos pasca mundurnya Mubarak. Esam al-Amin[xvi] mencatat, justru militer (SCAF) yang berinisiatif mencari pelindung agar kejahatan politik dan skandal korupsinya selama rezim Mubarak berkuasa tak dituntut kaum revolusioner. Militer memasang tiga target utama sebagai garansi apabila kekuasaan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pertama, mengamankan kekayaan haram para jenderal yang bernilai 25-35 persen dari ekonomi nasional hasil korupsi. Kedua, imunitas dan impunitas dari segala kejahatan politik dan ekonomi yang dilakukan di masa lalu. Ketiga, status istimewa dalam konstitusi yang membolehkan militer mengontrol anggarannya tanpa pengawasan sipili dan memiliki hak veto untuk kebijakan strategis, termasuk hubungan luar negeri dan keputusan untuk menyatakan perang dan damai. Bagaimana mungkin IM dapat memberikan garansi itu semua, sedang legitimasi politik belum di tangan dan pemilu yang bebas masih dalam wacana? Media pro-militer dan loyalis Mubarak telah mendefinisikan setiap peristiwa sesuai dengan kehendak politiknya. Bahkan, media pro-status quo tak segan-segan melakukan manipulasi agar membentuk opini publik. Itulah yang dianggap sebagai fakta.
Sikap kritis tetap dipertahankan kaum Islamis sebagaimana terlihat dalam kritik Tariq Ramadan[xvii], cucu langsung Hassan al-Banna yang kini menetap di Eropa, dalam kondisi revolusi yang kompleks sering terjadi paradoks. Setelah Mursi terpilih sebagai Presiden dan rancangan konstitusi mulai disusun, maka militer menuntut kembali hak prerogatifnya. Konstitusi itu menetapkan 15 anggota Dewan Keamanan Nasional, sesuai dengan jumlah wilayah otonomi militer, mencakup tanggung-jawab untuk masalah vital seperti pernyataan perang dan damai, serta kewenangan peradilan militer untuk memeriksa kasus sipil. Sebuah porsi kuasa yang membuat peran militer lebih menentukan dalam konfigurasi baru politik Mesir, bahkan lebih luas daripada di masa Mubarak, begitu kritik tajam Ramadan.
Pandangan kritis semacam itu sangat diperhatikan penentu kebijakan IM di masa Revolusi, karena itu mereka tidak pernah memberikan konsesi kepada militer untuk menekan aksi demonstran di Tahrir Square. Buktinya, kader muda IM tetap bergabung bersama kaum revolusioner sampai jadwal pemilu ditentukan. Setelah proses pemilu, segenap komponen gerakan IM menyokong fondasi kehidupan demokrasi berbasis konstitusi baru. Sebab, mereka merasakan betul derita rakyat akibat kondisi darurat militer sejak Revolusi 1952. Presiden sementara Adly Mansour dan PM Hazem Beblawi serta Wakil PM el-Baradei tak pernah merasakan sedikitpun derita rakyat. Mereka justru kaum elite borjuasi sejati yang hidup aman dan mewah di tengah penderitaan rakyat. IM menginginkan rakyat Mesir hidup normal sebagaimana negeri demokrasi lainnya. Sikap politik IM itu dapat diteorikan sebagai format baru gerakan Islam pasca Musim Semi Arab, yang mengarah pada gerakan konstitusionalisme. Andai saja, IM mau berkolaborasi dengan militer untuk memenuhi ambisi politiknya, sebagaimana ilusi Coen, maka kedua kekuatan itu akan sukses bersekutu menghabisi lawan-lawan politik lainnya. Tak ada yang mampu menandingi kedua aktor utama itu seandainya bersatu, meskipun kekuatan lain didukung Amerika Serikat dan Israel serta didanai Negara-negara Teluk sekalipun.
Tapi, IM menolak berselingkuh dengan militer. Mereka konsisten untuk memenuhi misi Revolusi: mengakhiri rezim darurat militer dan membentuk pemerintahan sipil yang kokoh. Untuk itu, IM menyetujui pembentukan partai politik (Freedom and Justice Party), sebagaimana kekuatan lain bebas melakukan hal serupa. Tatkala FPJ menang pemilu dan Mursi mendapat amanah kursi Presiden, Muhammad Badie selaku Ketua Umum IM menyatakan secara terbuka: “Rakyat Mesir telah menentukan pemimpinnya yang baru. Saya tunduk kepada perintah Presiden yang dipilih oleh rakyat.”[xviii] Tak ada dualisme kepemimpinan bagi rakyat Mesir.
Fakta tak terbantahkan, Presiden Mursi kemudian memensiunkan dini dua Jenderal paling berpengaruh dalam militer, yakni Hussein Tantawi (Panglima Angkatan Bersenjata Mesir yang berkuasa sejak 1991) dan Sami Anan (Kepala Staf Angkatan Bersenjata sejak 2005). Tak hanya itu, Mursi juga membebas-tugaskan 70 perwira militer dan menugaskan perwira baru yang lebih berintegritas. Hal itu bagian dari upaya reformasi di tubuh militer. Sebelumnya pada Juli 2011 telah dilakukan pemecatan terhadap 600 perwira polisi yang terlibat dalam penyerangan terhadap demonstran di Tahrir Square. Mantan tentara dan polisi inilah yang berkolaborasi dengan preman bayaran menimbulkan instabilitas baru.
Mursi sempat menumbuhkan kebanggaan baru di tubuh militer saat berhasil merebut wilayah Sinai dari tangan Israel dan sukses menggelar gencatan senjata Palestina-Israel serta mengakhiri blokade Gaza. Tak ada nuansa kolaborasi, apalagi pengkhianatan IM dalam konteks itu, secara terang-terangan atau sembunyi. Suatu perkara yang luput dilakukan Mursi: reformasi di tubuh Kepolisian dan Dinas Intelijen (Mukhabarat) yang selama ini membatasi gerak bebas rakyat. Selain itu juga, institusi Kejaksaan dan Kehakiman masih dipenuhi pendukung rezim lama, sehingga mereka dapat memproses dakwaan yang tak masuk akal kepada kaum sipil.
Tudingan Coen melompat ke kebijakan ekonomi Mursi yang dicap neoliberal seperti model Erdoganomic di Turki. Apa yang bisa dilakukan seorang Presiden di masa transisi, ketika tuntutan rakyat begitu tinggi dan tekanan asing demikian dahsyat? Tatkala cadangan devisa merosot drastik, inflasi menjulang dan angka kemiskinan serta pengangguran ikut terkerek; sebuah langkah darurat harus dilakukan. Menurut Strategic Analysis[xix], cadangan devisa Mesir menciut dari $13,5 milyar (2010) tinggal $4,8 milyar (2012). Angka pengangguran meningkat dari 12,06 persen (2011) menjadi 12,31 persen (2012). Begitu pula angka kemiskinan sangat tinggi (40 persen).
Suasana yang dihadapi Mursi boleh jadi mirip dengan tekanan yang dihadapi Presiden B.J. Habibie (1998-1999) di Indonesia. Karena itu, Mursi menempuh langkah drastik mengurangi impor gandum, seraya mengoptimalkan anggaran negara untuk subsidi pertanian agar kebutuhan pokok (roti) terpenuhi. Di era Mubarak produksi gandum domestik dibatasi maksimal 20 persen, sekarang sudah melampaui 60 persen. Dulu Mesir harus mengimpor gandum sepenuhnya dari AS, sekarang Mursi mengimpor dari negara yang lebih bersahabat demi menghemat belanja negara, sambil meningkatkan pendapatan petani lokal. Mursi juga membebaskan hutang produktif 40.000 petani marjinal yang memiliki hutang di bawah 10.000 pounds (Rp 30 Juta), sehingga mereka bisa bernafas lega dan memulai hidup baru. Itu semacam bail out untuk rakyat kecil.
Kesalahan Mursi yang dibesar-besarkan kelompok kiri adalah menerima pinjaman IMF sebesar $4,8 milyar. Hal itu yang membakar emosi gerakan Tamarrud, bahkan Mursi digembar-gemborkan sebagai antek AS hanya karena alumni Universitas California (1982). Padahal, pinjaman IMF itu untuk memperkuat cadangan devisa, sedangkan pihak yang paling beruntung dapat pinjaman AS selama ini adalah militer Mesir, tiap tahun dapat $1,3 miliar atau 70 persen dari total anggaran militernya (Global Research, 27 Juli 2013). Di luar IMF, Mursi juga mendapat bantuan Qatar senilai $8 milyar dan pinjaman lunak dari Turki sebesar $2 milyar. Investasi memang sulit datang di tengah krisis politik, tapi kunjungan Mursi ke China (Agustus 2012) menghasilkan perjanjian investasi senilai $4,9 milyar. Bersama investor Korea, Mursi merintis pembangunan pabrik Samsung terbesar di kawasan Arab, di provinsi Bani Suweif, agar barang elektronik terjangkau masyarakat. Pembangunan pabrik otomotif nasional, komputer, hingga peralatan militer sudah masuk dalam program kabinet Mursi. Yang paling memukul Negara-negara Teluk penyokong kudeta adalah kebijakan Mursi merevitalisasi Terusan Suez, sehingga dalam satu tahun ditargetkan meningkatkan devisa hingga $100 milyar dari semula hanya $5,6 milyar. Hal itu tentu akan menekan ekonomi Uni Emirat dan Kuwait yang bersandar pada pelabuhan internasional. Terang sekali, nasionalisme ekonomi yang coba dimunculkan Mursi.
Jika Coen masih berpikir Mursi menjalankan kebijakan neoliberal sebagaimana Erdogan, maka Coen harus membaca ulang referensi yang digunakannya[xx].
Kiri Romantik
Sikap intelektual kiri yang membiarkan kudeta militer tanpa kritik, bahkan melakukan selebrasi, telah menciderai aspirasi gerakan rakyat yang murni. Dalam bahasa Khaled Abou el-Fadl[xxi], justru intelegensia sekular yang terang-terangan melakukan pengkhianatan terhadap cita-cita Revolusi dan demokrasi. Romantisme yang mengorbankan akal sehat dan nurani universal. Sebagian di antara aktivis Kiri ada yang menjual ayat-ayat Revolusi demi kekuasaan atau kemewahan.
Kaum Islamis dengan segala catatan plus-minus atas gebrakan politiknya di Mesir, telah membuktikan bahwa mereka lebih siap untuk menghadapi ajang demokrasi (Pemilu dan Referendum). Lebih dari itu, mereka juga siap untuk berpolitik secara elegan (nir-kekerasan) di jalanan dengan aksi massa yang tak pernah terbayangkan (unthinkable) sebelumnya. Bukan semata mempertahankan kekuasaan, tapi menegakkan konstitusi dan meraih legitimasi publik otentik.
Sementara tokoh Kiri semacam Coen (yang melanjutkan studi ke City University of New York pasca bubarnya PRD) berlindung di balik tesis Rosa Luxemburg atau Leon Trotsky, tapi kehilangan elan revolusionernya. Sebab, mereka tak dapat lagi merasakan harumnya gas air mata dan wanginya darah yang tumpah ditembus peluru aparat, saat asyik berdiskusi di kafe atau gedung berpendingin udara. []
________________________________________
[i] Coen Husain Pontoh, “Masa Depan Demokrasi Mesir”, http://indoprogress.com/masa-depan-demokrasi-mesir/, diakses 19 Juli 2013.
[ii] Sapto Waluyo, “Tamarrud vs Tajarrud”, Republika, 11 Juli 2013, h. 6.
[iii] Noah Shachtman, How Many People Are in Tahrir Square? Here’s How to Tell, www.wired.com/dangerroom/2011/02/how-many-people-are-in-tahrir-square-heres-how-to-tell/, diakses 21 Juli 2013.
[iv] Al-Sharq Al-Awsat, Egypt Braces for June 30 Protests, http://www.aawsat.net/2013/06/article55307786, diunduh 23 Juli 2013
[v] Time, Egypt: The Street Rules, 22 Juli 2013, h. 18-25.
[vi] Kekeliruan serupa juga terlihat dalam opini Ikhwanul Kiram di Republika, Islam Versus Liberal Sekuler, http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/12/23/mfhk6f-islam-versus-liberalsekuler, diunduh 24 Juli 2013.
[vii] Alaa Abdel Fattah adalah seorang blogger yang mencetuskan slogan Revolusi. Ia pembaca buku Sayid Qutb, yang salah satunya membahas “Keadilan Sosial dalam Islam” (Al Adalah al-Ijtimaiyah fil Islam). The Guardian, 2 November 2011, Egyptian activist Alaa Abd El Fattah accuses army of hijacking revolution,http://www.guardian.co.uk/world/2011/nov/02/egyptian-activist-alaa-accuses-army, diunduh 24 Juli 2013.
[viii] Nancy Scola, Ghonim: "Our Revolution Is Like Wikipedia", 14 Februari 2011, http://techpresident.com/blog-entry/ghonim-our-revolution-wikipedia, diakses 24 Juli 2013.
[ix] Democracy Now!, Asmaa Mahfouz & the YouTube Video that Helped Spark the Egyptian Uprising, http://www.democracynow.org/2011/2/8/asmaa_mahfouz_the_youtube_video_that, diunduh 24 Juli 2013.
[x] Zuhairi Misrawi, “Ikhwanul Muslimin Tumbang” dalam Kompas, 5 Juli 2013, h. 6.
[xi] Gelombang demonstran pro-Legitimasi telah merasakan tragedi pasca kudeta: penyerangan Jum’at (5/7) menyebabkan 47 tewas, pembantaian subuh (8/7) menewaskan 51 jamaah di Masjid Rabiah al Adawiyah, dan penyerangan preman bayaran di Manshurah (19/7) menewaskan 4 perempuan demonstran.
[xii] Jonathan D. Halevi, the Jerusalem Center for Public Affairs, Intelligence Document Reveals Muslim Brotherhood Role in Egyptian Revolution, http://jcpa.org/intelligence-document-reveals-muslim-brotherhood-role-in-egyptian-revolution/#sthash.oFSkJGL7.dpuf, diunduh 24 Juli 2013.
[xiii] Global Post, Inside the Muslim Brotherhood: Part 1, www.globalpost.com/dispacth/egypt/110220/inside-the-muslim-brotherhood#1, diakses 22 Juli 2013.
[xiv] Al Youm al Sab’aa, No. 120, “Protesters in Bloody Wednesday clashes in Cairo’s Tahrir Square would have been slain but for the fact that young Muslim Brothers defended them”, 15 Februari 2011.
[xv] Suatu bukti Coen tak menguasasi betul struktur organisasi IM. Maktab al-Irsyad bukanlah “Dewan Penasehat”, tapi Pengurus Pusat IM. Istilah Mursyid Aam, sebagai konsekuensinya, juga bukan “Ketua Dewan Penasehat”, tapi Ketua Umum. IM memang kerap menggunakan nomenklatur sufi sebagai identitas organisasinya.
[xvi] Esam al-Amin, The Calculus of Egypt’s Presidential Race, International Policy Digest, http://www.internationalpolicydigest.org/2012/04/23/the-calculus-of-egypts-presidential-race/, diunggah 22 Juli 2013.
[xvii] Tariq Ramadan, Mohammad Morsy's dangerous game: The unfolding paradox in Egypt, http://www.abc.net.au/religion/articles/2012/12/13/3654018.htm, diunduh 22 Juli 2013.
[xviii] Al-Masry Al-Youm, 25 Juni 2012.
[xix] Strategic Analysis, Middle East and North Africa Oil and Gas Sector Risks and Forecasts Report, The Henry Jackson Society, Juni 2013.
[xx] Telaah tentang sistem ekonomi yang ditawarkan IM dapat disimak “Visi Peradaban Komprehensif Al-Ikhwan Al-Muslimun”, Jakarta: Maktaba Syameela, 2009. Sementara, untuk meneliti kebijakan ekonomi Erdogan, lihat Ahmad Dzakirin, Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2012.
[xxi] Khaled Abou El Fadl, The collapse of legitimacy How Egypts secular intelligentsia betrayed the revolution, http://www.abc.net.au/religion/articles/2013/07/11/3800817.htm, diakses 24 Juli 2013.
Coen Husain Pontoh, mantan tokoh PRD (Partai Rakyat Demokratik) dan Editor IndoProgress, menulis artikel "Masa Depan Politik Mesir"[i]. Substansi gagasan yang diuraikannya sama sekali tak cocok dengan judul terpasang. Bukan masa depan demokrasi di Mesir dengan beragam tantangannya yang diulas, tapi debat perspektif Liberal vs Islamis, konstelasi politik domestik, bahkan kolaborasi militer yang menyembulkan pengkhianatan Ikhwanul Muslimin (IM), seperti dituduhkan Coen. Posisi IM sebagai salah satu aktor politik utama dikuliti habis, hingga visi ekonomi IM diadili tanpa riset memadai.
Tesis tentang masa depan demokrasi di Mesir hanya dibeberkan dalam dua – cuma dua – paragraf terakhir. Sayang sekali, pembaca disodorkan banyak informasi parsial dan logika tak nyambung dengan dinamika faktual di lapangan.
Perspektif Kiri
Artikel Coen mewakili pandangan golongan Kiri yang terkesan lepas tangan atas gejolak politik atau – lebih keren dijuluki -- revolusi rakyat yang telah didorongnya. Aktivis Kiri di Mesir yang tergabung dalam gerakan Tamarrud[ii] (pembangkangan sipil) berperan sentral dalam penjatuhan Presiden Muhammad Mursi. Namun, ketika kudeta militer mengambil alih kuasa, mereka terkejut dan meradang, lalu kini gamang menghadapi situasi yang tak bisa dikendalikan lagi.
Karena itu, sangat aneh bila Coen hanya menyorot perdebatan terbuka antara pendukung liberal vs islamis. Pada kenyataannya, ada kelompok Kiri semisal Egyptians Movement for Change yang memelopori Tamarrud dengan membuat petisi penolakan atas legitimasi Presiden Mursi.
Petisi Tamarrud itu mengklaim telah berhasil mengumpulkan dukungan: 15 juta (10 Juni) atau 22 juta (29 Juni) atau 30 juta (2 Juli) tanda tangan. Entah mana yang benar dan bagaimana proses pengumpulan tanda tangan secepat itu dilakukan, karena bukti kongkritnya tak pernah diperlihatkan ke publik, kecuali 170.000 tanda tangan yang dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi. Jika benar Tamarrud mampu mengumpulkan dukungan sebanyak itu, mengapa mereka tidak segera membentuk “Partai Pelopor Revolusioner”? Niscaya tidak ada satu kekuatan pun yang bisa menandinginya di kotak suara atau di jalanan.
Tamarrud juga menepuk dada telah sukses mengerahkan 17 juta massa di Tahrir Square, dan itu dipercaya oleh para pengagumnya di luar Mesir sebagai demonstrasi terbesar sepanjang sejarah. Tetapi, orang yang pernah datang ke Kairo dan mengunjungi Tahrir Square akan bingung, bagaimana mungkin jutaan orang bisa berkumpul di kawasan yang mirip dengan lapangan Monas Jakarta itu?
Gamal Abdel Nasser memang acap berbagi inspirasi dengan Soekarno, sehingga mereka melontarkan gagasan dan kebijakan yang mirip, salah satunya adalah membangun Tahrir Square dan Medan Merdeka (dengan Monas sebagai simbol) menjadi lanskap utama ibukota Mesir dan Indonesia. Bagi pengamat yang obyektif, Tahrir Square hanya bisa disesaki oleh 300-400 ribu massa. Lebih dari itu, akan jadi neraka kerumunan[iii].
Sementara itu, pendukung Mursi – bukan hanya dari kubu Islamis, tetapi juga National Coalition for Supporting Legitimacy yang bersetuju dengan hasil Pemilu dan supremasi sipil – telah mencatat 11 juta dukungan (pertengahan Juni 2013)[iv]. Ini juga sulit dibuktikan, tetapi bisa dilacak tanda-tandanya dalam demonstrasi massa yang berpusat di lapangan Rabiah el-Adaweyah (Naser City), lalu menyebar Maidan Nahdah, selanjutnya menyemuti pusat kota Ramses Street. Sekujur kota Kairo stop beraktivitas untuk sementara waktu. Bahkan, aksi massa itu mempengaruhi lalu lintas ke kota lain, karena terminal Ramses yang berdekatan dengan Jembatan 6 Oktober jadi urat nadi. Tapi semua berjalan damai, tak ada aksi anarki, kecuali saat preman bayaran dan aparat keamanan memprovokasi. Karena itulah bisa dipahami majalah Time[v]membuat laporan utama “The World Best Protesters”, dengan 7 juta massa di seluruh penjuru kota.
Diskursus revolusi di Mesir pada pada fase penumbangan diktator (2011) maupun fase kudeta (2013) tak mungkin dilepaskan dari peran gerakan Kiri (sosialis-Nasseris), karena itu tak bisa disederhanakan hanya sebagai pertarungan wacana Liberal vs Islamis[vi]. Coen sengaja menyimpan jejak aktivis Kiri agar terselamatkan dari perebutan kekuasaan temporal, sehingga dapat berlindung dalam tesis suci tentang revolusi genuin rakyat. Hal itu tidak berlaku bagi Alaa Abdel Fattah[vii], salah seorang tokoh muda Kiri di balik Revolusi 25 Januari 2011 yang mempopulerkan slogan “Roti, Kebebasan, dan Keadilan Sosial” (Bread, Freedom, Social Justice).
Sebenarnya ada pula peran kelompok independen yang antara lain diwakili figur Wael Ghanem[viii], Marketing Executive Google untuk kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara yang menginisiasi gerakan “We Are All Khaled Said” lewat facebook. Ada lagi, aktivis perempuan Asmaa Mahfoudz[ix] yang menerbitkan video berani mati sebagai bentuk deklarasi anti-Mubarak di YouTube untuk membakar semangat para demonstran di Tahrir Square. Spektrum ideologi pendukung Revolusi sangat rancak mirip Wikipedia, dalam istilah Ghanem, setiap orang dapat memberikan kontribusi.
Apakah Coen sengaja membatasi bacaan atau menyembunyikan fakta gerakan Kiri (dan beragam kelompok lain) di Mesir? Yang menyedihkan, inisiatif pembangkangan aktivis Kiri telah dimanfaatkan jenderal militer loyalis Mubarak dan memunculkan impase politik baru, kebuntuan yang berujung kekerasan. Sebagaimana pengamat liberal, Zuhairi Misrawi[x], Coen berselebrasi dengan wacana kudeta, seraya melupakan sejarah kelam pemerintahan sipil Salvador Allende yang digulingkan Jenderal Augusto Pinochet (Arief Budiman, 1987).
Menjadi tanggung-jawab intelektual Kiri untuk berterus-terang: apakah mereka bersetuju dengan kudeta militer sebagai bagian dari perlawanan rakyat tak bersenjata? Jika menolak pemerintahan sipil hasil pemilu yang dinilai tak becus menjalankan tuntutan Revolusi, maka haruskah bersepakat dengan pemerintahan boneka yang dikontrol penuh militer dan berniat menjalankan pemilu di masa darurat (agar calon militer maju lagi dalam pemilu dan mendapat legitimasi palsu)? Bagaimana upaya mencerdaskan dan menjaga stamina rakyat proletar untuk mengawal misi Revolusi, jika sebagai intelektual Kiri sudah menentukan distingsi: mana (kelompok) rakyat yang harus dibela, mana (kelompok) rakyat yang harus dikorbankan? Seberapa relevan pandangan humanisme Kiri dalam menimbang nyawa manusia yang bergelora menuntut perubahan?[xi] Darah yang tumpah di Indonesia (1965) atau di Chile (1973) atau di Mesir (2013) adalah darah rakyat, meski berlabel komunis atau sosialis atau islamis.
Konstelasi Politik Rumit
Coen menyebut empat kekuatan yang berpengaruh pasca kejatuhan Mubarak di Mesir, yaitu: militer yang terselamatkan gempuran Revolusi, birokrat antek Mubarak (fulul), IM yang diakui memiliki struktur dan jaringan organisasi luas, dan massa rakyat yang berasal dari berbagai aliran politik dan ideologi campur-aduk. Lalu, di mana posisi kekuatan kiri (sosialis-nasseris)? Rupanya, Coen menisbatkan kelompok Kiri sebagai bagian dari kuasa besar bernama "massa rakyat", padahal real politiknya terbatas. Tiga kelompok pertama dicap Coen sebagai “pemain lama dalam desain politik Mubarak dan secara institusi dan program-program politik adalah yang paling siap dalam proses politik pasca penggulingan”. Sementara kekuatan rakyat, dijelaskan Coen, walaupun moral politiknya besar, tapi secara kelembagaan politik paling lemah karena: tidak punya kepemimpinan politik yang jelas, tidak punya struktur organisasi yang teratur dan luas, serta tidak memiliki program-program politik dan ekonomi alternatif yang solid. Sebuah otokritik yang jujur tentang kelemahan golongan Kiri.
Coen mengkategorikan IM sebagai pemain lama bersama militer dan birokrat fulul, seakan terpisah dari kekuatan rakyat yang secara implisit dipersepsikan sebagai pemain baru. Di sinilah kesalahan persepsi itu bermula, berdasar asumsi bahwa IM tidak terlibat dalam arus Revolusi Januari 2011 menggulingkan rezim Mubarak. Suatu asumsi yang terbangun berlandaskan teks formal dan tidak membaca secara cermat dinamika di lapangan, termasuk di Medan Tahrir pada masa-masa genting kejatuhan Mubarak. Pimpinan IM[xii] memang tidak memberikan pernyataan formal untuk memelopori atau memimpin Revolusi, namun mereka mendukung penuh dan menugaskan kader-kader muda[xiii] untuk memperkuat soliditas aksi dan melindungi peserta aksi dari kalangan perempuan atau kelompok rentan.
Tokoh muda IM, Mohammed Abbas tercatat sebagai salah seorang anggota The Revolutionary Youth Council yang terbentuk di Medan Tahrir dan bertahan selama 18 hari Revolusi. Tokoh senior IM secara bijak mengambil jarak dari Revolusi Kaum Muda Mesir, agar gerakan perlawanan massif itu tidak prematur karena bisa dituding mengusung ideologi radikal Islamis atau dicap sekadar duplikasi Revolusi Islam Iran (1979). Harga yang harus dibayar adalah IM dipersepsikan kontra-revolusioner atau justru menunggangi Revolusi untuk ambisi kekuasaan. Anehnya, tak ada yang menuding hal serupa ketika tokoh liberal semacam Mohammed el-Baradei baru turun ke Medan Tahrir persis di bulan Januari 2011. El-Baradei kini diangkat sebagai Wakil PM dalam pemerintahan sementara, setelah kalah dalam pilpres tahun 2012.
Para aktivis dan wartawan yang terlibat langsung di Medan Tahrir telah mencatat peran tak terbantahkan kader IM dalam melindungi gerakan rakyat dari penyusupan dan provokasi preman atau aparat loyalis Mubarak.[xiv] Tugas lain kader IM ialah mengamankan toko dan apartemen yang ditinggalkan penghuninya karena bergabung dengan aksi di Medan Tahrir, termasuk memasok dan mengatur logistik demonstran. Bahkan, sampai soal kecil kebersihan di Medan Tahrir menjadi perhatian kader IM, disamping penataan waktu dan barisan shalat berjamaah. Konsistensi IM dalam pendisiplinan aksi massa tetap terjaga pada saat atau pasca penjatuhan Mursi dengan mengusung slogan pro-legitimasi dan pro-konstitusi. Demonstrasi Tajarrud yang berpusat di Medan Rabiah al-Adawiyah terlihat rapi dan aman (sehingga digambarkan mirip jamaah haji yang sedang berkumpul di kota suci), sementara demonstrasi di Medan Tahrir yang dimotori Tamarrud merekam pelecehan seksual terhadap sedikitnya 100 perempuan.
Pada momen yang tepat dan diperhitungkan dengan jeli untuk menandai Revolusi 2011, IM menghadirkan tokoh sekaliber Yusuf Qaradhawy untuk memimpin khutbah Jum’at di Medan Tahrir, Tapi, IM tidak mau memonopoli panggung Tahrir, sehingga tokoh seperti el-Baradei dan Amr Mousa yang lebih menguasai panggung, selain Hamdin Sabahi. IM memang pemain lama dalam perpolitikan Mesir, jauh sebelum Mubarak berkuasa, karena sejak berdiri 1928 di kota Ismailiyah, IM menyatakan menaruh perhatian terhadap kondisi negara Mesir (saat masih di bawah kekuasaan Raja Farouk) dan dunia Islam. IM bukan semata gerakan dakwah yang meramaikan masjid dengan zikir, namun memompa semangat perjuangan rakyat. Pendukung utama IM di masa awal terdiri dari kalangan pedagang, pekerja, kuli pelabuhan dan petani kecil plus guru dan dosen (Ishak Musa al-Husaini, 1983). Karena formasi keanggotaan yang beragam itulah, IM menampilkan diri sebagai gerakan populis, meski tak bisa dibilang gerakan proletariat dalam kacamata Kiri. Tapi jelas, IM tak bisa dikategorikan sebagai kelas borjuasi yang tak memiliki basis sosial dan ideologi di akar rumput.
Hasil pemilu legislatif tahun 2011 diperkuat dengan pemilihan presiden 2012 menunjukkan basis IM justru di pedesaan dan kota-kota kecil di luar Kairo. Sangat gamblang tergambar dalam hasil pemilu itu, betapa loyalis Mubarak hanya menguasai kota-kota besar yang dikontrol ketat aparat, sambil berbagi suara dengan partai sosialis dan liberal yang bermain di kalangan menengah. Jika harus dibandingkan, IM di Mesir bak perpaduan Masyumi (dalam hal ideologi) cum PDIP/NU (dalam hal loyalitas pengikut) di Indonesia. Mungkin tak paralel betul, namun siapa dapat memungkiri bahwa IM adalah arus utama gerakan populis di Mesir dan bukan kelompok minoritas pinggiran, apalagi sekadar klub intelektual salon.
Pengkhianatan IM?
Untuk mendukung tesisnya, betapa kudeta militer tak perlu ditangisi, Coen mendalilkan IM mengkhianati Revolusi saat berkolaborasi dengan militer. Pada Februari 2011, Coen menyitir beberapa anggota Dewan Penasehat[xv] IM bertemu dengan Wakil Presiden Jenderal Omar Suleiman. Hasil pertemuan itu, masih menurut Coen, adalah IM sepakat untuk membersihkan Tahrir Square dari para demonstran. Sebagai imbalannya, militer akan membebaskan dua tokoh terkemuka IM dari dalam penjara, yakni Khairat El-Shater dan Hassan Malek. Entah apa kaitannya, Coen menjelaskan, militer kemudian membebaskan Aboud dan Tarek El Zomor yang dipenjara karena tuduhan hendak membunuh Presiden Anwar Sadat. Tak lama kemudian, Tarek al-Bishri dan anggota IM Sobhi Saleh, ditunjuk SCAF untuk mempersiapkan amandemen konstitusi.
Simpulan Coen terlalu jauh menafsirkan interaksi antar kekuatan politik di tengah situasi chaos pasca mundurnya Mubarak. Esam al-Amin[xvi] mencatat, justru militer (SCAF) yang berinisiatif mencari pelindung agar kejahatan politik dan skandal korupsinya selama rezim Mubarak berkuasa tak dituntut kaum revolusioner. Militer memasang tiga target utama sebagai garansi apabila kekuasaan diserahkan kepada pemerintahan sipil. Pertama, mengamankan kekayaan haram para jenderal yang bernilai 25-35 persen dari ekonomi nasional hasil korupsi. Kedua, imunitas dan impunitas dari segala kejahatan politik dan ekonomi yang dilakukan di masa lalu. Ketiga, status istimewa dalam konstitusi yang membolehkan militer mengontrol anggarannya tanpa pengawasan sipili dan memiliki hak veto untuk kebijakan strategis, termasuk hubungan luar negeri dan keputusan untuk menyatakan perang dan damai. Bagaimana mungkin IM dapat memberikan garansi itu semua, sedang legitimasi politik belum di tangan dan pemilu yang bebas masih dalam wacana? Media pro-militer dan loyalis Mubarak telah mendefinisikan setiap peristiwa sesuai dengan kehendak politiknya. Bahkan, media pro-status quo tak segan-segan melakukan manipulasi agar membentuk opini publik. Itulah yang dianggap sebagai fakta.
Sikap kritis tetap dipertahankan kaum Islamis sebagaimana terlihat dalam kritik Tariq Ramadan[xvii], cucu langsung Hassan al-Banna yang kini menetap di Eropa, dalam kondisi revolusi yang kompleks sering terjadi paradoks. Setelah Mursi terpilih sebagai Presiden dan rancangan konstitusi mulai disusun, maka militer menuntut kembali hak prerogatifnya. Konstitusi itu menetapkan 15 anggota Dewan Keamanan Nasional, sesuai dengan jumlah wilayah otonomi militer, mencakup tanggung-jawab untuk masalah vital seperti pernyataan perang dan damai, serta kewenangan peradilan militer untuk memeriksa kasus sipil. Sebuah porsi kuasa yang membuat peran militer lebih menentukan dalam konfigurasi baru politik Mesir, bahkan lebih luas daripada di masa Mubarak, begitu kritik tajam Ramadan.
Pandangan kritis semacam itu sangat diperhatikan penentu kebijakan IM di masa Revolusi, karena itu mereka tidak pernah memberikan konsesi kepada militer untuk menekan aksi demonstran di Tahrir Square. Buktinya, kader muda IM tetap bergabung bersama kaum revolusioner sampai jadwal pemilu ditentukan. Setelah proses pemilu, segenap komponen gerakan IM menyokong fondasi kehidupan demokrasi berbasis konstitusi baru. Sebab, mereka merasakan betul derita rakyat akibat kondisi darurat militer sejak Revolusi 1952. Presiden sementara Adly Mansour dan PM Hazem Beblawi serta Wakil PM el-Baradei tak pernah merasakan sedikitpun derita rakyat. Mereka justru kaum elite borjuasi sejati yang hidup aman dan mewah di tengah penderitaan rakyat. IM menginginkan rakyat Mesir hidup normal sebagaimana negeri demokrasi lainnya. Sikap politik IM itu dapat diteorikan sebagai format baru gerakan Islam pasca Musim Semi Arab, yang mengarah pada gerakan konstitusionalisme. Andai saja, IM mau berkolaborasi dengan militer untuk memenuhi ambisi politiknya, sebagaimana ilusi Coen, maka kedua kekuatan itu akan sukses bersekutu menghabisi lawan-lawan politik lainnya. Tak ada yang mampu menandingi kedua aktor utama itu seandainya bersatu, meskipun kekuatan lain didukung Amerika Serikat dan Israel serta didanai Negara-negara Teluk sekalipun.
Tapi, IM menolak berselingkuh dengan militer. Mereka konsisten untuk memenuhi misi Revolusi: mengakhiri rezim darurat militer dan membentuk pemerintahan sipil yang kokoh. Untuk itu, IM menyetujui pembentukan partai politik (Freedom and Justice Party), sebagaimana kekuatan lain bebas melakukan hal serupa. Tatkala FPJ menang pemilu dan Mursi mendapat amanah kursi Presiden, Muhammad Badie selaku Ketua Umum IM menyatakan secara terbuka: “Rakyat Mesir telah menentukan pemimpinnya yang baru. Saya tunduk kepada perintah Presiden yang dipilih oleh rakyat.”[xviii] Tak ada dualisme kepemimpinan bagi rakyat Mesir.
Fakta tak terbantahkan, Presiden Mursi kemudian memensiunkan dini dua Jenderal paling berpengaruh dalam militer, yakni Hussein Tantawi (Panglima Angkatan Bersenjata Mesir yang berkuasa sejak 1991) dan Sami Anan (Kepala Staf Angkatan Bersenjata sejak 2005). Tak hanya itu, Mursi juga membebas-tugaskan 70 perwira militer dan menugaskan perwira baru yang lebih berintegritas. Hal itu bagian dari upaya reformasi di tubuh militer. Sebelumnya pada Juli 2011 telah dilakukan pemecatan terhadap 600 perwira polisi yang terlibat dalam penyerangan terhadap demonstran di Tahrir Square. Mantan tentara dan polisi inilah yang berkolaborasi dengan preman bayaran menimbulkan instabilitas baru.
Mursi sempat menumbuhkan kebanggaan baru di tubuh militer saat berhasil merebut wilayah Sinai dari tangan Israel dan sukses menggelar gencatan senjata Palestina-Israel serta mengakhiri blokade Gaza. Tak ada nuansa kolaborasi, apalagi pengkhianatan IM dalam konteks itu, secara terang-terangan atau sembunyi. Suatu perkara yang luput dilakukan Mursi: reformasi di tubuh Kepolisian dan Dinas Intelijen (Mukhabarat) yang selama ini membatasi gerak bebas rakyat. Selain itu juga, institusi Kejaksaan dan Kehakiman masih dipenuhi pendukung rezim lama, sehingga mereka dapat memproses dakwaan yang tak masuk akal kepada kaum sipil.
Tudingan Coen melompat ke kebijakan ekonomi Mursi yang dicap neoliberal seperti model Erdoganomic di Turki. Apa yang bisa dilakukan seorang Presiden di masa transisi, ketika tuntutan rakyat begitu tinggi dan tekanan asing demikian dahsyat? Tatkala cadangan devisa merosot drastik, inflasi menjulang dan angka kemiskinan serta pengangguran ikut terkerek; sebuah langkah darurat harus dilakukan. Menurut Strategic Analysis[xix], cadangan devisa Mesir menciut dari $13,5 milyar (2010) tinggal $4,8 milyar (2012). Angka pengangguran meningkat dari 12,06 persen (2011) menjadi 12,31 persen (2012). Begitu pula angka kemiskinan sangat tinggi (40 persen).
Suasana yang dihadapi Mursi boleh jadi mirip dengan tekanan yang dihadapi Presiden B.J. Habibie (1998-1999) di Indonesia. Karena itu, Mursi menempuh langkah drastik mengurangi impor gandum, seraya mengoptimalkan anggaran negara untuk subsidi pertanian agar kebutuhan pokok (roti) terpenuhi. Di era Mubarak produksi gandum domestik dibatasi maksimal 20 persen, sekarang sudah melampaui 60 persen. Dulu Mesir harus mengimpor gandum sepenuhnya dari AS, sekarang Mursi mengimpor dari negara yang lebih bersahabat demi menghemat belanja negara, sambil meningkatkan pendapatan petani lokal. Mursi juga membebaskan hutang produktif 40.000 petani marjinal yang memiliki hutang di bawah 10.000 pounds (Rp 30 Juta), sehingga mereka bisa bernafas lega dan memulai hidup baru. Itu semacam bail out untuk rakyat kecil.
Kesalahan Mursi yang dibesar-besarkan kelompok kiri adalah menerima pinjaman IMF sebesar $4,8 milyar. Hal itu yang membakar emosi gerakan Tamarrud, bahkan Mursi digembar-gemborkan sebagai antek AS hanya karena alumni Universitas California (1982). Padahal, pinjaman IMF itu untuk memperkuat cadangan devisa, sedangkan pihak yang paling beruntung dapat pinjaman AS selama ini adalah militer Mesir, tiap tahun dapat $1,3 miliar atau 70 persen dari total anggaran militernya (Global Research, 27 Juli 2013). Di luar IMF, Mursi juga mendapat bantuan Qatar senilai $8 milyar dan pinjaman lunak dari Turki sebesar $2 milyar. Investasi memang sulit datang di tengah krisis politik, tapi kunjungan Mursi ke China (Agustus 2012) menghasilkan perjanjian investasi senilai $4,9 milyar. Bersama investor Korea, Mursi merintis pembangunan pabrik Samsung terbesar di kawasan Arab, di provinsi Bani Suweif, agar barang elektronik terjangkau masyarakat. Pembangunan pabrik otomotif nasional, komputer, hingga peralatan militer sudah masuk dalam program kabinet Mursi. Yang paling memukul Negara-negara Teluk penyokong kudeta adalah kebijakan Mursi merevitalisasi Terusan Suez, sehingga dalam satu tahun ditargetkan meningkatkan devisa hingga $100 milyar dari semula hanya $5,6 milyar. Hal itu tentu akan menekan ekonomi Uni Emirat dan Kuwait yang bersandar pada pelabuhan internasional. Terang sekali, nasionalisme ekonomi yang coba dimunculkan Mursi.
Jika Coen masih berpikir Mursi menjalankan kebijakan neoliberal sebagaimana Erdogan, maka Coen harus membaca ulang referensi yang digunakannya[xx].
Kiri Romantik
Sikap intelektual kiri yang membiarkan kudeta militer tanpa kritik, bahkan melakukan selebrasi, telah menciderai aspirasi gerakan rakyat yang murni. Dalam bahasa Khaled Abou el-Fadl[xxi], justru intelegensia sekular yang terang-terangan melakukan pengkhianatan terhadap cita-cita Revolusi dan demokrasi. Romantisme yang mengorbankan akal sehat dan nurani universal. Sebagian di antara aktivis Kiri ada yang menjual ayat-ayat Revolusi demi kekuasaan atau kemewahan.
Kaum Islamis dengan segala catatan plus-minus atas gebrakan politiknya di Mesir, telah membuktikan bahwa mereka lebih siap untuk menghadapi ajang demokrasi (Pemilu dan Referendum). Lebih dari itu, mereka juga siap untuk berpolitik secara elegan (nir-kekerasan) di jalanan dengan aksi massa yang tak pernah terbayangkan (unthinkable) sebelumnya. Bukan semata mempertahankan kekuasaan, tapi menegakkan konstitusi dan meraih legitimasi publik otentik.
Sementara tokoh Kiri semacam Coen (yang melanjutkan studi ke City University of New York pasca bubarnya PRD) berlindung di balik tesis Rosa Luxemburg atau Leon Trotsky, tapi kehilangan elan revolusionernya. Sebab, mereka tak dapat lagi merasakan harumnya gas air mata dan wanginya darah yang tumpah ditembus peluru aparat, saat asyik berdiskusi di kafe atau gedung berpendingin udara. []
________________________________________
[i] Coen Husain Pontoh, “Masa Depan Demokrasi Mesir”, http://indoprogress.com/masa-depan-demokrasi-mesir/, diakses 19 Juli 2013.
[ii] Sapto Waluyo, “Tamarrud vs Tajarrud”, Republika, 11 Juli 2013, h. 6.
[iii] Noah Shachtman, How Many People Are in Tahrir Square? Here’s How to Tell, www.wired.com/dangerroom/2011/02/how-many-people-are-in-tahrir-square-heres-how-to-tell/, diakses 21 Juli 2013.
[iv] Al-Sharq Al-Awsat, Egypt Braces for June 30 Protests, http://www.aawsat.net/2013/06/article55307786, diunduh 23 Juli 2013
[v] Time, Egypt: The Street Rules, 22 Juli 2013, h. 18-25.
[vi] Kekeliruan serupa juga terlihat dalam opini Ikhwanul Kiram di Republika, Islam Versus Liberal Sekuler, http://www.republika.co.id/berita/kolom/resonansi/12/12/23/mfhk6f-islam-versus-liberalsekuler, diunduh 24 Juli 2013.
[vii] Alaa Abdel Fattah adalah seorang blogger yang mencetuskan slogan Revolusi. Ia pembaca buku Sayid Qutb, yang salah satunya membahas “Keadilan Sosial dalam Islam” (Al Adalah al-Ijtimaiyah fil Islam). The Guardian, 2 November 2011, Egyptian activist Alaa Abd El Fattah accuses army of hijacking revolution,http://www.guardian.co.uk/world/2011/nov/02/egyptian-activist-alaa-accuses-army, diunduh 24 Juli 2013.
[viii] Nancy Scola, Ghonim: "Our Revolution Is Like Wikipedia", 14 Februari 2011, http://techpresident.com/blog-entry/ghonim-our-revolution-wikipedia, diakses 24 Juli 2013.
[ix] Democracy Now!, Asmaa Mahfouz & the YouTube Video that Helped Spark the Egyptian Uprising, http://www.democracynow.org/2011/2/8/asmaa_mahfouz_the_youtube_video_that, diunduh 24 Juli 2013.
[x] Zuhairi Misrawi, “Ikhwanul Muslimin Tumbang” dalam Kompas, 5 Juli 2013, h. 6.
[xi] Gelombang demonstran pro-Legitimasi telah merasakan tragedi pasca kudeta: penyerangan Jum’at (5/7) menyebabkan 47 tewas, pembantaian subuh (8/7) menewaskan 51 jamaah di Masjid Rabiah al Adawiyah, dan penyerangan preman bayaran di Manshurah (19/7) menewaskan 4 perempuan demonstran.
[xii] Jonathan D. Halevi, the Jerusalem Center for Public Affairs, Intelligence Document Reveals Muslim Brotherhood Role in Egyptian Revolution, http://jcpa.org/intelligence-document-reveals-muslim-brotherhood-role-in-egyptian-revolution/#sthash.oFSkJGL7.dpuf, diunduh 24 Juli 2013.
[xiii] Global Post, Inside the Muslim Brotherhood: Part 1, www.globalpost.com/dispacth/egypt/110220/inside-the-muslim-brotherhood#1, diakses 22 Juli 2013.
[xiv] Al Youm al Sab’aa, No. 120, “Protesters in Bloody Wednesday clashes in Cairo’s Tahrir Square would have been slain but for the fact that young Muslim Brothers defended them”, 15 Februari 2011.
[xv] Suatu bukti Coen tak menguasasi betul struktur organisasi IM. Maktab al-Irsyad bukanlah “Dewan Penasehat”, tapi Pengurus Pusat IM. Istilah Mursyid Aam, sebagai konsekuensinya, juga bukan “Ketua Dewan Penasehat”, tapi Ketua Umum. IM memang kerap menggunakan nomenklatur sufi sebagai identitas organisasinya.
[xvi] Esam al-Amin, The Calculus of Egypt’s Presidential Race, International Policy Digest, http://www.internationalpolicydigest.org/2012/04/23/the-calculus-of-egypts-presidential-race/, diunggah 22 Juli 2013.
[xvii] Tariq Ramadan, Mohammad Morsy's dangerous game: The unfolding paradox in Egypt, http://www.abc.net.au/religion/articles/2012/12/13/3654018.htm, diunduh 22 Juli 2013.
[xviii] Al-Masry Al-Youm, 25 Juni 2012.
[xix] Strategic Analysis, Middle East and North Africa Oil and Gas Sector Risks and Forecasts Report, The Henry Jackson Society, Juni 2013.
[xx] Telaah tentang sistem ekonomi yang ditawarkan IM dapat disimak “Visi Peradaban Komprehensif Al-Ikhwan Al-Muslimun”, Jakarta: Maktaba Syameela, 2009. Sementara, untuk meneliti kebijakan ekonomi Erdogan, lihat Ahmad Dzakirin, Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu, Solo: Era Adicitra Intermedia, 2012.
[xxi] Khaled Abou El Fadl, The collapse of legitimacy How Egypts secular intelligentsia betrayed the revolution, http://www.abc.net.au/religion/articles/2013/07/11/3800817.htm, diakses 24 Juli 2013.
Artikel yang luar biasa, lugas dan tajam...
ردحذفإرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com