Assalamualaikum wr wb.
Ustaz, kalau kita mengasuh dan membiayai seorang anak yang dibuang ibunya —yang mungkin disebabkan lahir di luar pernikahan atau ditinggalkan orang tuanya di panti asuhan— dengan tidak menasabkannya kepada kita (tidak menjadikannya anak angkat), apakah sama hukumnya dengan memelihara dan menyantuni anak yatim? Mohon penjelasannya.
Ibnu Zubeir - Pontianak
Waalaikumussalam wr wb.
Budaya tabarruj dan perzinahan sebagai budaya Jahiliyah telah menjadi gaya hidup banyak orang saat ini. Lahirnya anak-anak di luar nikah, dibuangnya anak-anak tak berdosa oleh orang yang tak bertanggung jawab, tingginya perceraian dan kehancuran rumah tangga mungkin akan menjadi hal yang semakin biasa terlihat.
Situasi ini harus menambah semangat seorang mukmin untuk melindungi diri dan keluarga dari siksa neraka. Lebih dari itu, seorang mukmin harus menegakkan amar makruf nahi mungkar dari lingkungan yang paling dekat jika ingin diselamatkan Allah dengan pertolongan-Nya.
Anak yatim dalam istilah syariat adalah anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya sebelum baligh. Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, yatim adalah orang yang mati ayahnya sebelum baligh, baik dia kaya maupun miskin, laki-laki atau perempuan.
Syariat Islam sangat memuliakan orang yang menyantuni dan memperhatikan anak-anak yatim sebagaimana firman Allah, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS al-Insan [76]: 8).
Karena begitu mulianya mengasuh dan menanggung kehidupan anak yatim, sehingga Rasulullah SAW menegaskan hal itu adalah salah satu amalan yang dapat mengantarkan seorang Muslim masuk surga, bahkan berada dekat dengan Nabi SAW.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini,” kemudian beliau SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan keduanya. (HR Bukhari).
Namun, apakah anak yang kehilangan ayahnya bukan karena kematian, seperti anak yang dibuang orang tuanya, atau anak yang ditinggalkan orang tuanya di panti asuhan termasuk ke dalam kategori yatim?
Dalam fikih disebutkan istilah laqith, yaitu seorang anak ditemukan di jalan yang tidak diketahui orang tuanya, sehingga disebut juga dengan istilah majhul al-nasab (yang tidak diketahui nasabnya).
Para ulama menegaskan, mengasuh dan menanggung segala keperluan kehidupannya termasuk ke dalam kategori menyantuni dan mengasuh anak yatim. Ulama menyebut mereka sebagai yatim hukmi (anak yatim secara hukum).
Karenanya, ada dua jenis yatim, pertama yatim hakiki, yaitu anak yang ditinggal mati ayahnya ketika belum baligh. Dan, kedua yatim hukmi, yaitu anak yang diikutkan kepada hukum yatim.
Bahkan, ulama menjelaskan, mengasuh dan menyantuni anak yang dibuang ini lebih utama daripada anak yatim karena seorang anak yatim mungkin masih memiliki ibu, kakek, nenek, paman, atau bibi yang mengasihinya.
Sedangkan, anak yang dibuang tidak diketahui orang tuanya dan tidak memiliki siapa pun untuk dijadikan tempat bersandar.
Tentunya, mengasuh dan menyantuni di sini bukan dalam arti mengadopsinya untuk kemudian dinasabkan kepada yang mengasuhnya karena hal itu diharamkan dalam Islam.
Tetapi, hanya membantu mereka untuk dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya, baik berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa pendidikan dan kasih sayang.
Semoga Allah SWT mengilhamkan kepada kita untuk memiliki jiwa yang selalu mengasihi dan menyantuni anak yatim dan memuliakan kita berada dekat dengan Rasulullah SAW di surga nanti. Allahumma waffiqna lima tuhibbuh wa tardhah.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ustaz Bachtiar Nasir
Ustaz, kalau kita mengasuh dan membiayai seorang anak yang dibuang ibunya —yang mungkin disebabkan lahir di luar pernikahan atau ditinggalkan orang tuanya di panti asuhan— dengan tidak menasabkannya kepada kita (tidak menjadikannya anak angkat), apakah sama hukumnya dengan memelihara dan menyantuni anak yatim? Mohon penjelasannya.
Ibnu Zubeir - Pontianak
Waalaikumussalam wr wb.
Budaya tabarruj dan perzinahan sebagai budaya Jahiliyah telah menjadi gaya hidup banyak orang saat ini. Lahirnya anak-anak di luar nikah, dibuangnya anak-anak tak berdosa oleh orang yang tak bertanggung jawab, tingginya perceraian dan kehancuran rumah tangga mungkin akan menjadi hal yang semakin biasa terlihat.
Situasi ini harus menambah semangat seorang mukmin untuk melindungi diri dan keluarga dari siksa neraka. Lebih dari itu, seorang mukmin harus menegakkan amar makruf nahi mungkar dari lingkungan yang paling dekat jika ingin diselamatkan Allah dengan pertolongan-Nya.
Anak yatim dalam istilah syariat adalah anak yang ditinggal wafat oleh ayahnya sebelum baligh. Syekh Wahbah al-Zuhaili menjelaskan dalam kitabnya Al-Fiqh al-Islam wa adillatuhu, yatim adalah orang yang mati ayahnya sebelum baligh, baik dia kaya maupun miskin, laki-laki atau perempuan.
Syariat Islam sangat memuliakan orang yang menyantuni dan memperhatikan anak-anak yatim sebagaimana firman Allah, “Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim, dan orang yang ditawan.” (QS al-Insan [76]: 8).
Karena begitu mulianya mengasuh dan menanggung kehidupan anak yatim, sehingga Rasulullah SAW menegaskan hal itu adalah salah satu amalan yang dapat mengantarkan seorang Muslim masuk surga, bahkan berada dekat dengan Nabi SAW.
Rasulullah SAW bersabda, “Aku dan orang yang menanggung anak yatim (kedudukannya) di surga seperti ini,” kemudian beliau SAW mengisyaratkan dengan jari telunjuk dan jari tengah beliau, serta agak merenggangkan keduanya. (HR Bukhari).
Namun, apakah anak yang kehilangan ayahnya bukan karena kematian, seperti anak yang dibuang orang tuanya, atau anak yang ditinggalkan orang tuanya di panti asuhan termasuk ke dalam kategori yatim?
Dalam fikih disebutkan istilah laqith, yaitu seorang anak ditemukan di jalan yang tidak diketahui orang tuanya, sehingga disebut juga dengan istilah majhul al-nasab (yang tidak diketahui nasabnya).
Para ulama menegaskan, mengasuh dan menanggung segala keperluan kehidupannya termasuk ke dalam kategori menyantuni dan mengasuh anak yatim. Ulama menyebut mereka sebagai yatim hukmi (anak yatim secara hukum).
Karenanya, ada dua jenis yatim, pertama yatim hakiki, yaitu anak yang ditinggal mati ayahnya ketika belum baligh. Dan, kedua yatim hukmi, yaitu anak yang diikutkan kepada hukum yatim.
Bahkan, ulama menjelaskan, mengasuh dan menyantuni anak yang dibuang ini lebih utama daripada anak yatim karena seorang anak yatim mungkin masih memiliki ibu, kakek, nenek, paman, atau bibi yang mengasihinya.
Sedangkan, anak yang dibuang tidak diketahui orang tuanya dan tidak memiliki siapa pun untuk dijadikan tempat bersandar.
Tentunya, mengasuh dan menyantuni di sini bukan dalam arti mengadopsinya untuk kemudian dinasabkan kepada yang mengasuhnya karena hal itu diharamkan dalam Islam.
Tetapi, hanya membantu mereka untuk dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya, baik berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal maupun berupa pendidikan dan kasih sayang.
Semoga Allah SWT mengilhamkan kepada kita untuk memiliki jiwa yang selalu mengasihi dan menyantuni anak yatim dan memuliakan kita berada dekat dengan Rasulullah SAW di surga nanti. Allahumma waffiqna lima tuhibbuh wa tardhah.
Wallahu a’lam bish shawab.
Ustaz Bachtiar Nasir
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com