HUKUM MENGGUGURKAN KANDUNGAN HASIL PEMERKOSAAN

Pengantar

Pertanyaan penting ini saya terima ketika buku ini telah  siap untuk  dicetak.  Yang mengajukan pertanyaan adalah Saudara Dr. Musthafa Siratisy, Ketua  Muktamar  Alami  untuk  Pemeliharaan Hak-hak    Asasi   Manusia   di   Bosnia   Herzegovina,   yang diselenggarakan di Zagreb ibu kota Kroasia,  pada  18  dan  19 September  1992. Saya juga mengikuti kegiatan tersebut bersama Fadhilatus-Syekh Muhammad al-Ghazali dan sejumlah ulama  serta juru dakwah kaum muslim dari seluruh penjuru dunia Islam.
 
Pertanyaan:

Dr.   Musthafa  berkata,  "Sejumlah  saudara  kaum  muslim  di Republik Bosnia Herzegovina ketika mengetahui kedatangan Syekh Muhammad  al-Ghazali  dan  Syekh  al-Qardhawi,  mendorong saya untuk mengajukan pertanyaan yang menyakitkan dan membingungkan yang disampaikan secara malu-malu oleh lisan para remaja putri kita yang diperkosa  oleh  tentara  Serbia  yang  durhaka  dan bengis,  yang  tidak  memelihara  hubungan  kekerabatan dengan orang mukmin dan tidak pula mengindahkan perjanjian, dan tidak menjaga  kehormatan dan harkat manusia. Akibat perilaku mereka yang penuh dosa (pemerkosaan) itu maka banyak  gadis  muslimah yang  hamil  sehingga menimbulkan perasaan sedih, takut, malu, serta merasa rendah dan hina. Karena itulah mereka  menanyakan kepada  Syekh  berdua  dan  semua ahli ilmu: apakah yang harus mereka lakukan terhadap tindak kriminalitas beserta  akibatnya ini?   Apakah   syara'   memperbolehkan   mereka  menggugurkan kandungan yang terpaksa mereka alami ini? Kalau kandungan  itu dibiarkan hingga si janin dilahirkan dalam keadaan hidup, maka bagaimana hukumnya? Dan sampai dimana tanggung jawab si  gadis yang diperkosa itu?"
 
Jawaban:

Fadhilatus-Syekh  al-Ghazali  menyerahkan  kepada  saya  untuk menjawab  pertanyaan  tersebut   dalam   sidang,   maka   saya menjawabnya  secara lisan dan direkam agar dapat didengar oleh saudara-saudara khususnya remaja putri di Bosnia.

Saya pandang lebih bermanfaat lagi jika saya tulis jawaban ini agar   dapat   disebarluaskan   serta  dijadikan  acuan  untuk peristiwa-peristiwa  serupa.  Tiada   daya   (untuk   menjauhi keburukan)  dan  tiada  kekuatan  (untuk  melakukan  ketaatan) kecuali dengan pertolongan Allah.

Kita kaum muslim telah dijadikan objek oleh  orang-orang  yang rakus  dan  dijadikan  sasaran  bagi setiap pembidik, dan kaum wanita serta anak-anak  perempuan  kita  menjadi  daging  yang "mubah"   untuk  disantap  oleh  serigala-serigala  lapar  dan binatang-binatang  buas  itu  tanpa   takut   akibatnya   atau pembalasannya nanti.

Pertanyaan  serupa  juga  pernah  diajukan  kepada  saya  oleh saudara-saudara kita di Eritrea mengenai  nasib  yang  menimpa anak-anak  dan  saudara-saudara  perempuan  mereka akibat ulah tentara  Nasrani  yang  tergabung  dalam  pasukan   pembebasan Eritrea,  sebagaimana  yang  diperbuat tentara Serbia hari ini terhadap anak-anak perempuan muslimah Bosnia yang tak berdosa.

Pertanyaan yang sama juga pernah diajukan beberapa tahun  lalu oleh  sekelompok  wanita  mukminah  yang cendekia dari penjara orang-orang zalim jenis thaghut di beberapa negara  Arab  Asia kepada  sejumlah  ulama di negara-negara Arab yang isinya: apa  yang harus  mereka  lakukan  terhadap  kandungan  mereka  yang merupakan  kehamilan  haram  yang  terjadi bukan karena mereka berbuat dosa dan bukan atas kehendak mereka?

Pertama-tama perlu saya  tegaskan  bahwa  saudara-saudara  dan anak-anak  perempuan  kita,  yang  telah  saya sebutkan, tidak menanggung dosa sama sekali terhadap  apa  yang  terjadi  pada diri   mereka,   selama  mereka  sudah  berusaha  menolak  dan memeranginya, kemudian mereka dipaksa di bawah acungan senjata dan  di  bawah  tekanan  kekuatan yang besar. Maka apakah yang dapat diperbuat oleh wanita tawanan yang tidak punya  kekuatan di hadapan para penawan atau pemenjara yang bersenjata lengkap yang tidak takut kepada Sang Pencipta dan tidak menaruh  belas kasihan kepada makhluk? Allah sendiri telah menetralisasi dosa (yakni tidak menganggap  berdosa)  dari  orang  yang  terpaksa dalam  masalah yang lebih besar daripada zina, yaitu kekafiran dan mengucapkan kalimatul-kafri. Firman-Nya:
"... kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa)." (an-Nahl: 106)
Bahkan Al-Qur'an mengampuni dosa (tidak  berdosa)  orang  yang dalam  keadaan darurat, meskipun ia masih punya sisa kemampuan lahiriah untuk berusaha,  hanya  saja  tekanan  kedaruratannya lebih  kuat.  Allah  berfirman setelah menyebutkan macam-macam makanan yang diharamkan:
"... Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (al-Baqarah: 173)
Dan Rasulullah saw. bersabda:

"Sesungguhnya Allah menggugurkan dosa dari umatku atas suatu perbuatan yang dilakukannya karena khilaf (tidak sengaja), karena lupa, dan karena dipaksa melakukannya."1

Bahkan   anak-anak   dan   saudara-saudara   perempuan    kita mendapatkan  pahala  atas musibah yang menimpa mereka, apabila mereka  tetap  berpegang  teguh  pada  Islam   --yang   karena keislamannyalah  mereka  ditimpa bala bencana dan cobaan-- dan mengharapkan  ridha  Allah  Azza  wa  Jalla  dalam  menghadapi gangguan dan penderitaan tersebut. Rasulullah saw. bersabda:

"Tiada seorang muslim yang menderita kelelahan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, atau kerisauan, bahkan gangguan yang berupa duri, melainkan Allah akan menghapus dosa-dosanya denganperistiwa-peristiwa itu."2

Apabila  seorang  muslim  mendapat  pahala  hanya  karena  dia tertusuk  duri, maka bagaimana lagi jika kehormatannya dirusak orang dan kemuliaannya dikotori?

Karena itu saya nasihatkan kepada  pemuda-pemuda  muslim  agar mendekatkan  diri  kepada  Allah dengan menikahi salah seorang dari wanita-wanita tersebut, karena kasihan  terhadap  keadaan mereka   sekaligus  mengobati  luka  hati  mereka  yang  telah kehilangan  sesuatu  yang  paling  berharga   sebagai   wanita terhormat dan suci, yaitu kegadisannya.

Adapun  menggugurkan kandungan, maka telah saya jelaskan dalam fatwa  terdahulu  bahwa  pada  dasarnya  hal  ini   terlarang, semenjak   bertemunya  sel  sperma  laki-laki  dan  sel  telur perempuan, yang dari keduanya muncul  makhluk  yang  baru  dan menetap didalam tempat menetapnya yang kuat di dalam rahim.

Maka  makhluk baru ini harus dihormati, meskipun ia hasil dari hubungan yang haram seperti zina. Dan  Rasulullah  saw.  telah memerintahkan  wanita  Ghamidiyah  yang  mengaku telah berbuat zina dan akan dijatuhi hukuman rajam itu agar menunggu  sampai melahirkan  anaknya,  kemudian setelah itu ia disuruh menunggu sampai anaknya sudah tidak menyusu  lagi  --baru  setelah  itu dijatuhi hukuman rajam.

Inilah  fatwa  yang  saya pilih untuk keadaan normal, meskipun ada sebagian fuqaha yang memperbolehkan menggugurkan kandungan asalkan  belum  berumur empat puluh hari, berdasarkan sebagian riwayat yang mengatakan bahwa peniupan ruh terhadap janin  itu terjadi  pada  waktu  berusia empat puluh atau empat puluh dua hari.

Bahkan sebagian fuqaha ada  yang  memperbolehkan  menggugurkan kandungan  sebelum berusia seratus dua puluh hari, berdasarkan riwayat yang masyhur bahwa peniupan  ruh  terjadi  pada  waktu itu.

Tetapi  pendapat  yang  saya pandang kuat ialah apa yang telah saya sebutkan sebagai pendapat pertama di atas, meskipun dalam keadaan udzur tidak ada halangan untuk mengambil salah satu di antara  dua  pendapat  terakhir  tersebut.  Apabila   udzurnya semakin kuat, maka rukhshahnya semakin jelas; dan bila hal itu terjadi sebelum berusia empat puluh hari  maka  yang  demikian lebih dekat kepada rukhshah (kemurahan/kebolehan).

Selain  itu, tidak diragukan lagi bahwa pemerkosaan dari musuh yang kafir dan durhaka,  yang  melampaui  batas  dan  pendosa, terhadap wanita muslimah yang suci dan bersih, merupakan udzur yang kuat bagi si muslimah dan keluarganya  karena  ia  sangat benci  terhadap  janin  hasil pemerkosaan tersebut serta ingin terbebas  daripadanya.  Maka  ini  merupakan   rukhshah   yang difatwakan karena darurat, dan darurat itu diukur dengan kadar ukurannya.

Meskipun begitu, kita juga tahu bahwa ada fuqaha  yang  sangat ketat dalam masalah ini, sehingga mereka melarang menggugurkan kandungan meskipun baru berusia satu  hari.  Bahkan  ada  pula yang  mengharamkan usaha pencegahan kehamilan, baik dari pihak laki-laki  maupun   dari   pihak   perempuan,   ataupun   dari kedua-duanya,  dengan beralasan beberapa hadits yang menamakan nazl  sebagai  pembunuhan  tersembunyi   (terselubung).   Maka tidaklah  mengherankan  jika  mereka  mengharamkan pengguguran setelah terjadinya kehamilan.

Pendapat terkuat ialah pendapat yang tengah-tengah antara yang memberi kelonggaran dengan memperbolehkannya dan golongan yang ketat yang melarangnya.

Sedangkan pendapat yang  mengatakan  bahwa  sel  telur  wanita setelah  dibuahi  oleh  sel  sperma  laki-laki  telah  menjadi manusia, maka yang demikian hanyalah  semacam  majas  (kiasan) dalam ungkapan, karena kenyataannya ia adalah bakal manusia.

Memang  benar  bahwa  wujud  ini  mengandung kehidupan, tetapi kehidupan itu sendiri bertingkat-tingkat dan bertahap, dan sel sperma  serta  sel  telur  itu  sendiri  sebelum bertemu sudah mengandung kehidupan, namun yang demikian  bukanlah  kehidupan manusia yang telah diterapkan hukum padanya.

Karena itu rukhshah terikat dengan kondisi udzur yang muktabar (dibenarkan), yang ditentukan oleh ahli  syara',  dokter,  dan cendekiawan.  Sedangkan  yang  kondisinya tidak demikian, maka tetaplah ia dalam hukum asal, yaitu terlarang.

Maka bagi  wanita  muslimah  yang  mendapatkan  cobaan  dengan musibah   seperti  ini  hendaklah  memelihara  janin  tersebut --sebab menurut syara' ia tidak menanggung  dosa,  sebagaimana saya   sebutkan   di   muka--   dan  ia  tidak  dipaksa  untuk menggugurkannya. Dengan demikian, apabila janin tersebut tetap dalam kandungannya selama kehamilan hingga ia dilahirkan, maka dia adalah anak muslim, sebagaimana sabda Nabi saw.:

"Tiap-tiap anak itu dilahirkan dalam keadaan fitrah."3

Yang dimaksud dengan fitrah ialah tauhid, yaitu Islam.

Menurut ketetapan fiqhiyah, bahwa seorang anak  apabila  kedua orang  tuanya berbeda agama, maka dia mengikuti orang tua yang terbaik  agamanya.  Ini  bagi  orang  (anak)  yang   diketahui ayahnya,  maka  bagaimana dengan anak yang tidak ada bapaknya? Sesungguhnya dia adalah anak muslim, tanpa diragukan lagi.

Dalam  hal  ini,  bagi  masyarakat  muslim  sudah   seharusnya mengurus  pemeliharaan  dan  nafkah  anak itu serta memberinyapendidikan yang baik,  jangan  menyerahkan  beban  itu  kepada ibunya  yang  miskin  dan  yang telah terkena cobaan. Demikian pula pemerintah  dalam  Islam,  seharusnya  bertanggung  jawab terhadap pemeliharaan ini melalui departemen atau badan sosial tertentu. Dalam hadits sahih muttafaq 'alaih, Rasulullah  saw. bersabda:

"Masing-masing kamu adalah pemimpin, dan masing-masing kamu akan dimintai pertanggungjawabannya."4

 
Catatan kaki:
 
1 HR Ibnu Majah dalam "ath-Thalaq," juz 1, him. 659, hadits nomor 2045; disahkan oleh Hakim dalam kitabnya,juz 2, hlm. 198; disetujui oleh adz-Dzahabi; dan diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Sunan-nya, juz 7, hlm. 356 ^
2 HR Bukhari dalam "al-Mardha' (dari kitab Shahih-nya), juz 10, hlm. 103, hadits nomor 5641 dan 5642. ^
3 HR Bukhari dalam "al-Jana'iz," juz 3, hlm. 245, hadits nomor 1385. ^
4 HR Bukhari dalam "al-'Itq," juz 5, hlm. 181, hadits nomor 2558, dan dalam "an-Nikah," juz 9, hlm. 299, hadits nomor 5200. ^

2 تعليقات

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

إرسال تعليق

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

أحدث أقدم