Masih ingatkah kita kisah seorang yang telah membunuh sebanyak 99 orang kemudian menyesali dan ingin bertobat, ia men-coba berjalan mencari sedikit harapan agar kesalahann/ya bisa diampuni. Pertemuannya dengan seorang rahib yang pertama membuat-nya tidak puas sehingga harus membuatnya membunuh rahib itu, tapi harapan akan datangnya anugerah tidak membuatnya ber-henti mencari tempat bertanya apakah dosanya bisa diampuni atau tidak, Walhasil ia menemu-kan seorang rahib yang bijak dan memberikan angin segar bahwa dosanya bisa diampuni. Sang rahib menyuruhnya untuk pergi ke suatu negeri dimana penduduknya jauh dari perbua-tan dosa. Di tengah perjalanan ia menemukan ajalnya sehingga malaikat rahmat dan malaikat azabpun berdebat apakah ia di surga atau di neraka yang akhirnya dihitunglah jarak antara daerah yang akan ia tuju yang ternyata lebih dekat. Kisah ini dinukilkan imam Bukhari dalam kitab Shahih Bukhari.
Di suatu tempat kita tidak memperoleh anu-gerah. Di tempat lain mungkin tersedia anu-gerah lain yang tidak terhitung jumlahnya, Kalau di suatu negeri kita tidak bisa diterima, di negeri lain terbuka kesempatan untuk diterima dan dimanfaatkan. Jadi tidak ada alasan untuk berhenti berharap atas kehadiran anugerah-Nya. Justru berhenti berharap pertanda kita bukanlah termasuk orang-orang beriman, se-bab orang beriman itu salah satu kekuatannya adalah selalu memiliki harapan, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat az-Zumar ayat 53. Malahan Rasulullah mencoba menjelaskan bahwa pada hakikatnya Allah Swt selalu mem-berikan rahmat kepada hamba-Nya yang selalu berharap dan berprasangka baik kepada-Nya. ”Wahai anak adam”, ucap Rasulullah Saw men-gutip perkataan Allah Swt, “selama kamu ber-do‟a dan berharap kepadaku, niscaya Aku akan mengampuni segala dosamu yang telah kamu
lakukan, dan Aku tidak peduli berapa banyak dosa yang yang telah kamu lakukan, Seandainya dosamu bagaikan awan di langit kemudian kamu minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni kamu. Sean-dainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa seisi bumi tanpa menyekutukan-Ku, niscaya Akupun akan mengampunimu dengan ampunan se-besar isi bumi itu”. (HR.Tarmizi)
Inilah psikologi harapan yang ditumbuhkan melalui pintu agama. Psikologi ini pula yang dicoba diben-tangkan dalam menghadapi berbagai momentum kehidupan baik merugikan maupun yan menguntung-kan. Di sini pulalah kiranya Nabi Muhammad Saw bersabda “Seandainya orang mukmin mengetahui dengan pasti sanksi yang disediakan oleh Allah Swt niscaya tidak ada seorangpun yang berputus asa dari rahmat-Nya”.(HR. Muslim)
Maka hakikat psikologi harapan itu tiada lain kecuali untuk memberikan kelapangan bagi jiwa manusia, agar jiwa yang sempit bisa memperoleh keluasan kembali, agar jiwa yang merana dapat tercerahkan dengan kehadiran berbagai anugerah-Nya, karena jiwa yang sempit akibat buruk sangka kepada-Nya akan menjauhkan orang itu dari anugerah-Nya pula.
Berharap akan kehadiran anugerah adalah perintah agama dan tabah terhadap ujian-Nya perintah agama pula. Karena itu bila kita berharap kemudian Dia menganugerahkan sesuai harapan kita maka bersyu-kurlah jangan takabur. Sebaliknya bila berharap ke-mudian Dia belum menganugerahkannya sesuai den-gan harapan kita maka bersabarlah jangan berpaling, mungkin dibalik penolakan-Nya itu tersimpan anu-gerah lain yang jauh lebih besar yang akan kita terima di belakang hari. Semoga Allah Swt mendengar hara-pan ini. Wallahu A„lam. . Hendra Gumanti*
Di suatu tempat kita tidak memperoleh anu-gerah. Di tempat lain mungkin tersedia anu-gerah lain yang tidak terhitung jumlahnya, Kalau di suatu negeri kita tidak bisa diterima, di negeri lain terbuka kesempatan untuk diterima dan dimanfaatkan. Jadi tidak ada alasan untuk berhenti berharap atas kehadiran anugerah-Nya. Justru berhenti berharap pertanda kita bukanlah termasuk orang-orang beriman, se-bab orang beriman itu salah satu kekuatannya adalah selalu memiliki harapan, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat az-Zumar ayat 53. Malahan Rasulullah mencoba menjelaskan bahwa pada hakikatnya Allah Swt selalu mem-berikan rahmat kepada hamba-Nya yang selalu berharap dan berprasangka baik kepada-Nya. ”Wahai anak adam”, ucap Rasulullah Saw men-gutip perkataan Allah Swt, “selama kamu ber-do‟a dan berharap kepadaku, niscaya Aku akan mengampuni segala dosamu yang telah kamu
lakukan, dan Aku tidak peduli berapa banyak dosa yang yang telah kamu lakukan, Seandainya dosamu bagaikan awan di langit kemudian kamu minta ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuni kamu. Sean-dainya kamu datang kepada-Ku dengan membawa dosa seisi bumi tanpa menyekutukan-Ku, niscaya Akupun akan mengampunimu dengan ampunan se-besar isi bumi itu”. (HR.Tarmizi)
Inilah psikologi harapan yang ditumbuhkan melalui pintu agama. Psikologi ini pula yang dicoba diben-tangkan dalam menghadapi berbagai momentum kehidupan baik merugikan maupun yan menguntung-kan. Di sini pulalah kiranya Nabi Muhammad Saw bersabda “Seandainya orang mukmin mengetahui dengan pasti sanksi yang disediakan oleh Allah Swt niscaya tidak ada seorangpun yang berputus asa dari rahmat-Nya”.(HR. Muslim)
Maka hakikat psikologi harapan itu tiada lain kecuali untuk memberikan kelapangan bagi jiwa manusia, agar jiwa yang sempit bisa memperoleh keluasan kembali, agar jiwa yang merana dapat tercerahkan dengan kehadiran berbagai anugerah-Nya, karena jiwa yang sempit akibat buruk sangka kepada-Nya akan menjauhkan orang itu dari anugerah-Nya pula.
Berharap akan kehadiran anugerah adalah perintah agama dan tabah terhadap ujian-Nya perintah agama pula. Karena itu bila kita berharap kemudian Dia menganugerahkan sesuai harapan kita maka bersyu-kurlah jangan takabur. Sebaliknya bila berharap ke-mudian Dia belum menganugerahkannya sesuai den-gan harapan kita maka bersabarlah jangan berpaling, mungkin dibalik penolakan-Nya itu tersimpan anu-gerah lain yang jauh lebih besar yang akan kita terima di belakang hari. Semoga Allah Swt mendengar hara-pan ini. Wallahu A„lam. . Hendra Gumanti*
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com