Kairo, Hari-hari ini Mesir kembali memanas suhu
politiknya. Pasalnya presiden Mursi mengeluarkan dekrit untuk
menyelamatkan tuntutan revolusi. Salah satu isi dekrit itu adalah
memberkehentikan Jaksa Agung, Abdul Majid Mahmud. Siapa dia? Berikut
tulisan dari Kaisarelrima:
Abdul Majid Mahmud, lelaki tua gagap dan tidak pandai berbahasa
Inggris ini, pada tahun 2006 diangkat oleh Mubarak sebagai Jaksa Agung.
Tahun 1992, meski belum menduduki jabatan Jaksa Agung, Abdul Majid sudah
mengabdi kepada rezim militer. Ketika seorang timses Ikhwan pada pemilu
parlemen ditangkap, mereka meminta kepada Abdul Majid untuk
membebaskannya. “Tugas saya hanya menandatangi berkas yang sudah
disortir negara. Selain itu saya tidak tahu-menahu,” jawab Abdul Majid.
Untuk itulah loyalis fanatik seperti dirinya, saat revolusi
menghantam Mubarak dan seketika kasus-kasus kroninya dimeja-hijaukan,
dengan rapih Abdul Majid mengubur semua data-data kriminil di kantornya.
Di sanalah alasan, mengapa pengadilan tersangka pembunuhan demonstran
pada Mauqiatul Jamal setelah berjalan terlunta-lunta selama 20 bulan
berakhir dengan keputusan membebaskan 101 nama. “Tidak adanya data kuat
untuk menjerat tersangka,” alasan hakim.
Maka rakyat marah. Dan pihak kepresidenan menetapkan agar Abdul Majid
dipindah jabatan sebagai Duta Besar di Vatikan. Abdul Majid yang gagap
ini awalnya menyetujui secara lisan. Namun pada waktu Ashar hingga
Maghrib, beberapa pengusaha pemilik stasiun televisi dan donatur partai
sekular berkumpul di satu hotel. Yang terjadi setelahnya adalah televisi
sibuk menyiarkan berita : “Pemecatan Jaksa Agung” ; “Presiden
Mengintervensi Lembaga Kehakiman.” Tokoh-tokoh politik sekular juga
mengecam langkah Mursi. Padahal di awal-awal revolusi salah satu
tuntutan demonstran juga menggulingkan Jaksa Agung. Demi berkata ‘tidak’
terhadap apapun kebijakan Mursi, politikus sekular ini berpihak pada
kroni Mubarak dan menjual darah pejuang yang telah gugur menegakkan
revolusi. Sebetulnya tidak ada intervensi presiden di ranah yudikatif.
Dan birokrasi untuk menugaskan Abdul Majid menjabat Duta Besar sah
secara konstitusi. Sebelumnya, Jamal Abdul Nashir memindah tugaskan 3
Jaksa Agung di masanya, Anwar Sadar memecat Jaksa Agung di
kepemimpinannya, dan Husni Mubarak mengganti Jaksa Agung di
pemerintahannya.
Pada Jum’at 12 Oktober Ikhwanul Muslimin menginstruksikan kadernya
untuk turun ke Tahrir setelah Ashar. Di hari dan tempat yang sama,
sekitar 14 parpol sekular memutuskan untuk berdemonstrasi dengan
mengusung tema ‘Kegagalan Mursi di 100 Hari Pertama’. Jadi pada saat itu
terdapat dua faksi di Tahrir ; pendukung dan oposisi Mursi. Anehnya,
meskipun Ikhwanul Muslimin menginstruksikan kadernya untuk datang ke
Tahrir selepas Ashar, kerusuhan justeru meletus setelah shalat Jum’at.
Puluhan orang tak dikenal datang dari jalan Muhammad Mahmud dan
tiba-tiba merobohkan panggung faksi oposisi seraya meneriakkan yel-yel
“Mursi.. Mursi..”
Serta merta media massa yang mendapat suntikan dana politikus sekular
berulang-kali mempublish gambar perobohan panggung dan menuding
Ikhwanul Muslimin yang paling bertanggung jawab. Jelas mereka tidak akan
menampilkan gambar dibakarnya 2 bus dan perusakan 1 bus milik Ikhwanul
Muslimin, sebanyak 71 kader yang berdemonstrasi di depan kantor
Kehakiman luka-luka diserang batu dan kantor FJP dilempari molotof.
Untung masyarakat berhasil meringkus 3 pelaku dan mereka mengaku
dibayar.
Maka Jaksa Agung adalah kotak pandora. Jika diisi oleh orang
pro-revolusi data-data yang telah dikubur bisa dibangkitkan kembali.
Itulah yang melandasi pengusaha gelap pemilik televisi berkumpul di satu
hotel. Itulah alasan mengapa Abdul Majid merevisi keputusannya untuk
menerima jabatan dubes Vatikan. Kata Mahmud Ghazlan, jubir Ikhwanul
Muslimin, “sedikitnya sebanyak 40 ribu kader Ikhwanul Muslimin
dijebloskan ke penjara tanpa bukti di masa Husni Mubarak. Dan Abdul
Majid bertanggung jawab atas separuhnya.” Maka bagi Abdul Majid,
pengunduran dirinya dari jabatan Jaksa Agung tidak lain senjata makan
tuan, bunuh diri.
Satu-satunya senjata kroni Mubarak untuk tetap bertahan setelah
dicopotnya jenderal-jenderal totalitarian adalah bermain di ranah
pengadilan. Ke depan, kita akan menyaksikan pertempuran undang-undang.
Dan untuk itulah Mursi memilih wakilnya dari kalangan profesional hukum.
[http://kaisarelrema.wordpress.com/2012/10/14/jaksa-agung-dan-kotak-pandora/]
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com