Tidakkah engkau tahu anakku,
segala ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya,
“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!”?
-Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
Di buku "Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim", saya pernah berkisah tentang Ibnu Taimiyah. Dia yang selalu dipasang di garis depan, menjadi pejuang pengobar semangat ketika serbuan Mongol bergemuruh menerjang Damaskus. Dan dialah juga yang tiap kali tugas jihad itu usai harus bersetia menghuni selnya di penjara kota.
Tetapi orang-orang kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan jihad yang diserukan Yazid ibn Mu’awiyah, orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain sekeluarga. “Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang.
“Memangnya ada apa dengannya?”
“Dia meninggalkan shalat, meminum khamr, dan jauh dari hukum Allah!”
“Aku tidak melihat itu ketika membersamainya. Dia menunaikan shalat, cenderung pada kebajikan, dan bertanya tentang Al Quran juga sunnah RasulNya.”
“Dia hanya berpura-pura di hadapanmu!”
“Apakah yang ditakutkannya atasku hingga harus berpura-pura? Dan jika kalian memang melihatnya melakukan semua itu, mengapa dia tidak berpura-pura pada kalian? Apakah kalian semua ini sahabat akrabnya yang ingin menjebakku?”
segala ‘udzur telah dihapus dengan firmanNya,
“Berangkatlah dalam keadaan ringan ataupun berat!”?
-Abu Ayyub Al Anshari, Radhiyallaahu ‘Anhu-
Di buku "Saksikan Bahwa Aku Seorang Muslim", saya pernah berkisah tentang Ibnu Taimiyah. Dia yang selalu dipasang di garis depan, menjadi pejuang pengobar semangat ketika serbuan Mongol bergemuruh menerjang Damaskus. Dan dialah juga yang tiap kali tugas jihad itu usai harus bersetia menghuni selnya di penjara kota.
Tetapi jeruji-jeruji tak
menghentikannya. Disaksikan besinya yang berkarat dan temboknya yang
berlumut dia ucapkan kekatanya yang menyejarah. “Apa yang mereka lakukan
padaku? Jiwaku merdeka dalam genggaman Allah. Jika aku dipenjara,
jadilah ia rehat. Jika dibuang jadilah ia tamasya. Jika dibunuh, apalagi
yang lebih kurindukan selain menemui Allah?” Penjara tak
menghentikannya. Ia tetap berkarya. Saat tinta, kertas, dan pena
dijauhkan darinya, ditulisnya Risalatul Hamawiyah di dinding penjara
dengan arang sisa perapian. Dan dunia pun menjadi saksi, bahwa jiwanya
telah menari di atas semua batas, merayakan pengabdian yang hanya ia
tujukan pada Allah sepanjang hidupnya.
Izinkan kali ini saya hadirkan seorang
lagi yang menari di atas batas. Namanya Muhammad ibn ‘Ali. Tapi orang
akan lebih mengangguk tanda kenal jika disebut nama Muhammad ibn Al
Hanafiyah. Ini menisbat pada ibunya, seorang wanita dari Bani Hanifah.
Ya, ayahandanya adalah ‘Ali ibn Abi Thalib, radhiyallaahu ‘anhu. Tapi
ibundanya bukanlah Fathimah. Artinya, dia bukan berasal dari garis turun
langsung Sang Nabi, Shallallaahu ‘Alaihi wa Sallam.
Satu saat seseorang mempermasalahkan
pembedaan yang dilakukan atas dirinya dibanding kedua kakandanya, Al
Hasan dan Al Husain. “Tidakkah kau lihat”, kata orang itu, “Ayahmu lebih
mencintai Al Hasan dan Al Husain dibanding dirimu?”
“Duh, jangan katakan begitu kawan!”,
jawabnya kalem. “Al Hasan dan Al Husain bagaikan dua mata bagi ayahku.
Sedang aku ini bagaikan kedua tangannya. ” Senyumnya mengembang, manis
sekali. “Adalah tugas kedua tangan”, lanjutnya, “Untuk menjaga kedua
mata.” Dan memang begitulah kehidupannya, diabdikan untuk menjaga kedua
kakandanya hingga batas waktu yang telah Allah tetapkan. Hingga, Al
Hasan wafat dan Al Husain pun gugur dalam kisah yang terlalu pedih untuk
kita ceritakan.
Dendamkah Muhammad ibn Al Hanafiyah pada
keluarga besar yang telah menzhalimi keluarganya itu; Bani Umayyah?
Secara manusiawi tentu jawabnya ya. Apalagi rasa pedih itu kadang muncul
di saat seharusnya ia tunduk khusyu’ dan mentaati wasiat taqwa. Masa
itu, hampir tak ada khuthbah Jum’at yang melewatkan pujian untuk
Mu’awiyah sekeluarga sekaligus cacian untuk ‘Ali, ayahandanya. Seakan,
mengumpat ‘Ali ibn Abi Thalib adalah bagian dari rukun khuthbah.
Tetapi orang-orang kemudian tertakjub ketika ia memenuhi panggilan jihad yang diserukan Yazid ibn Mu’awiyah, orang yang paling bertanggungjawab atas pembantaian Al Husain sekeluarga. “Layakkah orang seperti itu ditaati?”, tanya orang-orang.
“Memangnya ada apa dengannya?”
“Dia meninggalkan shalat, meminum khamr, dan jauh dari hukum Allah!”
“Aku tidak melihat itu ketika membersamainya. Dia menunaikan shalat, cenderung pada kebajikan, dan bertanya tentang Al Quran juga sunnah RasulNya.”
“Dia hanya berpura-pura di hadapanmu!”
“Apakah yang ditakutkannya atasku hingga harus berpura-pura? Dan jika kalian memang melihatnya melakukan semua itu, mengapa dia tidak berpura-pura pada kalian? Apakah kalian semua ini sahabat akrabnya yang ingin menjebakku?”
Mereka terdiam. Saling pandang. Lalu
berkata lagi, “Bukankah Bani Umayyah yang telah menzhalimi keluargamu
hingga binasa dan curas? Apa yang akan kau katakan di hadapan Allah dan
di hadapan ayahmu, juga saudara-saudaramu, jika kini kau berperang di
bawah panji-panji Bani Umayyah?”
Muhammad ibn Al Hanafiyah tersenyum.
“Ayahku kini membersamai Rasulullah di surga tertinggi, sementara
saudara-saudaraku adalah penghulu para pemuda di sana. Kezhaliman Bani
Umayyah adalah urusan mereka dengan Allah. Urusanku kini adalah berjihad
di jalan Allah dan mentaati Ulil Amri.”
Begitulah. Tak mudah menjadi seorang
Muhammad ibn Al Hanafiyah. Ada kendala-kendala, ada batas-batas yang
membuatnya terhalang untuk memberikan pengabdian. Batas-batas itu bukan
hanya ada di dataran raga, tapi jauh di sana, di dalam jiwanya. Dan kini
jiwanya menari di atas batas, merayakan pengabdian yang sepanjang hidup
ia tujukan untuk Allah.
Memaknai batas kadang memberi kita
permakluman untuk mengambil ‘udzur. Selalu ada pembenaran atas setiap
langkah mundur yang kita ambil. Selalu ada alasan untuk berlama-lama di
tiap perhentian yang kita singgahi. Tetapi di jalan cinta para pejuang,
para kstaria agung itu bertanya pada hati. Dan mereka menemukan jawab
yang membuat jiwa menari di atas batas, meski jasad harus bersipayah
mengimbanginya. ‘Amr ibn Al Jamuh, lelaki pincang dari Bani Najjar itu
diminta rehat ketika hari Uhud tiba. “Dengan kaki pincangku inilah”,
katanya, “Aku akan melangkah ke surga!” Jiwanya menari di atas batas,
dan Sang Nabi di hari Uhud bersaksi, “Ia kini telah berada di antara
para bidadari, dengan kaki yang utuh tak pincang lagi!”
Dengan nikmat Allah yang begitu besar
atas jiwa dan raga ini, apa yang harus kita katakan pada ‘Amr ibn Al
Jamuh, Ahmad Yassin, dan orang-orang semisal mereka saat kita disaput
diam dan santai? Dengan kemudaan ini, berkacalah kita pada Abu Ayyub Al
Anshari yang di usia delapanpuluh tahunnya bergegas-gegas ke
Konstantinopel, menjadikan pedangnya sebagai tongkat penyangga tubuh
sepanjang jalan. Dan apa jawab kita saat kita ingatkan bahwa ia punya
‘udzur, tapi justru dia bertanya, “Tidak tahukah engkau Nak, bahwa
‘udzur telah dihapus dengan firmanNya, ‘Berangkatlah dalam keadaan
ringan maupun berat!’?”
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
sepenuh cinta,
Salim A. Fillah
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com