picture

Hukum Operasi Cesar



Dahulu, ibu-ibu kita kalau melahirkan anak, mereka melahirkan secara normal, tanpa operasi.  Namun, akhir-akhir ini banyak dari ibu-ibu yang melahirkan anak mereka melalui proses operasi dengan cara membedah perut mereka. Mereka melakukan hal itu karena alasan medis, seperti bayi kembar, atau panggul yang sempit, atau ukuran bayi yang terlalu besar. Kadang juga  karena alasan sosial atau sekedar sebagai pelengkap saja, seperti jalan lahir bayi ingin tetap utuh sehingga organ kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin menentukan tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki dan lain-lainnya.  
Bagaimana Islam memandang kecenderungan sebagian masyarakat untuk melakukan operasi cesar setiap melahirkan, padahal kalau diteliti secara seksama sebagian dari mereka bisa melahirkan secara normal. Oleh karena itu dibutuhkan penjelasan secara syar’I tentang hukum operasi cesar dari kaca mata Islam.
Pengertian Operasi Cesar
Operasi Cesar yang dalam bahasa Arabnya adalah Jirahah al-Wiladah adalah operasi yang bertujuan mengeluarkan bayi dari perut seorang ibu, baik itu terjadi setelah sempurnanya penciptaan bayi atau sebelum sempurnanya penciptaannya.[1] Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebut bahwa bedah cesar adalah pembedahan yang dilakukan dengan pengirisan dinding perut dan peranakan untuk melahirkan ( mengeluarkan ) janin.
Hukum Operasi Cesar
Hukum operasi cesar dilihat dari sisi kepentingan wanita hamil atau janin dibagi menjadi tiga :
Pertama : Dalam Keadaan Darurat.
Yang dimaksud dalam keadaan darurat dalam operasi cesar adalah adanya kekhawatiran terancamnya jiwa ibu, atau bayi, atau kedua-duanya secara bersamaan.[2]  
(1) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu, misalnya untuk ibu yang mengalami eklampsia atau kejang dalam kehamilan, mempunyai penyakit jantung, persalinan tiba-tiba macet, pendarahan banyak selama kehamilan, infeksi dalam rahim, dan dinding rahimnya yang menipis akibat bedah caesar atau operasi rahim sebelumnya.

 (2) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa bayi, adalah jika sang ibu sudah meninggal dunia, tapi bayi yang berada di dalama perutnya masih hidup.
Apakah dibolehkan untuk membedah perut ibu dalam keadaan seperti ini ? Para ulama berbeda pendapat [3] :  
Pendapat Pertama : Dibolehkan untuk dilakukan operasi dengan membedah perut ibunya, agar bayi bisa dikeluarkan. Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan, Madzhab Syafi’iyah, dan Dhahiriyah, serta dipilih oleh beberapa ulama dari Malikiyah dan Hanabilah.
Pendapat Kedua : Tidak dibolehkan dilakukan operasi dengan membedah perut ibunya. Ini adalah pendapat Malikiyah dan Hanabilah. Mereka berdalil dengan dalil-dali sebagai berikut :
Pertama : Hadist Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya ia berkata, bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
 كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا
 "Memecahkan tulang mayit seperti memecahkannya ketika masih hidup. " ( HR Abu Daud dan Ibnu Majah) [4]
            Kedua : Bahwa janin yang masih hidup dalam perut ibunya yang sudah mati tersebut, sering tidak tertolong. Seandainya perut ibunya sudah dibedahpun dan janin tersebut bisa hidup, biasanya hidupnya tidak lama. Oleh karenanya, tidak boleh melakukan kerusakan yang pasti hanya sekedar mengejar sesuatu yang belum tentu bisa diselamatkan. [5]
(3) Operasi Cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan bayi secara bersamaan adalah ketika air ketuban pecah, namun belum ada kontraksi akan melahirkan, bayi terlilit tali pusar sehingga tidak dapat keluar secara normal, usia bayi belum matang (prematur), posisi bayi sungsang, dan lain-lain.
Dalam tiga keadaan di atas, menurut pendapat yang benar, dibolehkan dilakukan operasi cesar untuk menyelamatkan jiwa ibu dan anak . Dalil-dalilnya sebagai berikut :
Pertama : Firman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا
“ Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. "  ( Qs Al Maidah : 32 )

Dalam ayat ini, Allah swt memuji setiap orang yang memelihara kehidupan  manusia, termasuk di dalamnya orang yang menyelamatkan ibu dan bayi dari kematian dengan melakukan pembedahan pada perut.  
            Ibnu Hazm berkata : “ Jika seorang ibu yang hamil meninggal dunia, sedangkan bayinya masih hidup dan bergerak dan sudah berumur enam bulan, maka dilakukan pembedaan perutnya dengan memanjang untuk mengeluarkan  bayi tersebut, ini berdasarkan firman Allah ( Qs. 5 : 32 ), dan barang siapa membiarkannya bayi tersebut di dalam sampai mati, maka orang tersebut dikatagorikan pembunuh. “ [6]
            Kedua : Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :
الضرر يزال
 “  Suatu bahaya itu harus dihilangkan “ [7]
  1.   
Ketiga : Kaidah Fiqhiyah yang berbunyi :
إذَا تَعَارَضَ مَفْسَدَتَانِ رُوعِيَ أَعْظَمُهُمَا ضَرَرًا بِارْتِكَابِ أَخَفِّهِمَا
“ Jika terjadi pertentangan antara dua kerusakan, maka diambil yang paling ringan kerusakannya[8]
            Keterangan dari kaidah di atas adalah bahwa operasi cesar dalam keadaan darurat terdapat dua kerusakan, yang pertama adalah terancamnya jiwa ibu atau anak, sedangkan kerusakan yang kedua adalah dibedahnya perut ibu. Dari dua kerusakan tersebut, maka yang paling ringan adalah dibedahnya perut ibu, maka tindakan ini diambil untuk menghindari kerusakan yang lebih besar, yaitu terancamnya jiwa ibu dan anak.
            Berkata Syekh Abdurrahman as- Sa’di [9]: “ Dan dibolehkan melukai badan, seperti membedah perut, untuk mengobati penyakit. Jika manfaatnya lebih banyak dari pada mafsadahnya, maka Allah tidak mengharamkannya. Hal semacam ini telah disinggung oleh Allah di beberapa tempat dari kitab-Nya, diantaranya adalah firman-Nya :
 يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَفْعِهِمَا
“ Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. “ ( Qs al-Baqarah : 219 )

Kedua : Dalam Keadaan Hajiyat
Keadaan Hajiyat dalam operasi Cesar adalah adanya kekhawatiran terjadinya bahaya atau sesuatu yang tidak baik, seperti cacat permanen dan lainnya, yang akan menimpa ibu, atau bayi, atau kedua-duanya secara bersamaan, tetapi bahaya ini tidak sampai pada terancamnya jiwa ibu atau anak. Seperti halnya jika  lingkar rongga panggul yang lebih kecil dari ukuran janin, sehingga akan kesulitan ketika melahirkan secara alami, usia ibu yang terlalu tua, kelainan letak plasenta, ukuran bayi terlalu besar atau terjadi bayi kembar.
Dalam keadaan hajiyat ini, operasi cesar boleh dilakukan, karena hajiyat kadang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, sehingga sebagian ulama menyamakan kedudukannya dengan darurat.  Oleh karenanya, mereka meletakkan kaidah fiqhiyat sebagai berikut :
الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ ، عَامَّةً كَانَتْ أَوْ خَاصَّةً
“ Kebutuhan itu disamakan dengan kedudukan darurat, baik yang bersifat umum, maupun khusus. “       [10]

Ketiga : Dalam Keadaan Tahsiniyat
Keadaan Tahsiniyat di dalam operasi Cesar adalah adanya keinginan dari pasien atau yang mewakilinya untuk bisa mencapai sesuatu yang merupakan pelengkap di dalam kehidupannya, yang sebenarnya hal itu tidak mengancam jiwanya atau tidak menyebabkan bahaya jika tidak dilakukan operasi Cesar. seperti halnya seorang istri yang melakukan operasi cesar dengan harapan bisa membahagiakan suaminya, karena jalan lahir bayi masih utuh, sehingga organ kewanitaannya sama seperti sebelum melahirkan, atau sekedar ingin menentukan tanggal kelahiran sesuai yang dikehendaki,  atau tidak mau berlama-lama menjalani proses persalinan normal yang kadang membutuhkan waktu berjam-jam, atau hanya sekedar ingin menghindari rasa sakit ketika melahirkan secara normal.
Selain itu operasi cesar mempunyai beberapa dampak buruk bagi kesehatan ibu dan anak. Yang terjadi pada anak misalnya gangguan pernafasan akibat cairan yang memenuhi paru-paru janin selama berada dalam rahim, rendahnya sistem kekebalan tubuh, rentan alergi, emosi cenderung rapuh, terpengaruh anestesi dan lain-lain. Yang terjadi pada ibu, misalnya rasa sakit yang sangat pada bagian perut dan rahim akibat robekan saat operasi, kemungkinan terjadi infeksi rahim dan pendarahan yang banyak, bahkan efeknya masih dirasakan hingga bertahun-tahun lamanya. Wallahu A’lam


[1] Dr. Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, Jeddah, Maktabah as-Shahabah, 1415 H/ 1994 M, Cet ke-2, hlm : 154
[2] Pengertian darurat secara lebih lengkap telah dijelaskan oleh para ulama, diantaranya bisa dilihat  di : Dr. Samih Abdul al-Wahab al-Jundi, Ahammiyatu al –Maqasid fi asy-Syari’ah al-Islamiyah,  Iskandariyah, Dar al-Iman, 2003, hlm : 231- 234, Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh wa Adilatuhu, Damaskus, Dar al-Fikri,  1409 H/ 1989 M, Cet. Ke- 3, juz : 3, hlm : 515- 520
[3] Dr. Muhammad al-Mukhtar asy-Syinqiti, Ahkam al-Jirahiyah ath-Thibiyah, hlm : 322
[4] Hadist ini dihasankan oleh Ibnu Qattan. Berkata Ibnu Hajar : hadist ini sesuai dengan syarat Muslim ( Syekh Abdullah Bassam, Taudhih al-Ahkam, juz 2, hlm : 367 )
[5] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh wa Adilatuhu, juz : 3, hlm : 521
[6] Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz : 5, hlm : 166
[7] As-Suyuti, al-Asybah wa an-Nadhair, Beirut, Daar al-Kutub al-Ilmiyah, 1403 H/1983 M, Cet- 1, hlm : 87. Imam Suyuthi juga membolehkan pembedahan perut ibu yang mati untuk mengeluarkan janin yang masih hidup dengan alasan kaidah di atas.  
[8] Ibnu Nujaim, al-Asybah wa an-Nadhair, Kairo, al-Maktabah at- Taufiqiyah,  hlm : 97
[9] Pernyataan Syekh Abdurrahman as-Sa’di ini  bisa dilihat  di dalam Dewan Ulama Senior Saudi Arabia, al-Buhuts al-Ilmiyah, juz : 2, hlm : 72, dan dinukil ulang  oleh Syekh Abdurrahman al-Basaam di dalam Taudhih al-Ahkam : juz : 2, hlm : 368.
[10] Kaidah Fiqhiyah ini disebutkan oleh Ibnu Nujaim di dalam  al-Asybah wa an-Nadhair, hlm : 100, Imam Suyuthi di dalam  al-Asybah wa an-Nadhair, , hlm : 88
 Dr. Ahmad Zain An Najah, MA

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

أحدث أقدم