GemaDakwah - Sering kali kita mendengar kata rabbânî, baik
di media massa atau di majelis-majelis ta’lim. Namun, tidak menutup
kemungkinan ada di antara mereka yang tidak memahami makna kata
tersebut.
Olehnya itu, Al-Qur’an sejak dini menggarisbawahi
beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi mereka yang ingin menyandang
gelar ini, gelar yang derajatnya jauh lebih tinggi dari gelar
kesarjanaan yang pernah dianugerahkan kepada seseorang.
Allah SWT berfirman:
وَلَٰكِن كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنتُمْ تَدْرُسُونَ ﴿٧٩﴾
“Akan tetapi (dia berkata): Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbânî dengan apa yang engkau senantiasa ajarkan dari Al-Kitab, dan dengan apa yang kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali Imran [3]: 79)
Hemat
penulis, sebelum terlalu jauh menelaah pemaknaan Al-Qur’an terhadap
kata tersebut, seyogianya menempatkan ayat ini terlebih dahulu dalam
kaca mata historis. Tentunya, mengaca ke sebab turunnya ayat ini (Asbabun Nuzul) akan melahirkan corak penafsiran yang terpadu dan sempurna antara konteks kesejarahan dan sistematika ayat ini sendiri.
Syekh para penafsir, Imam Ibn Jarîr at-Thabarî [[1]] berkata:
“Ada
yang berpendapat bahwa ayat ini turun terhadap Ahli Kitab yang berkata
kepada Nabi Saw: “Apakah Engkau menyeru kami menyembahmu?” Sebagaimana
yang diriwayatkan dari Ikrimah atau Said bin Jubair dari Ibn Abbâs,
beliau berkata: “tatkala para Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani kaum
Nejran berkumpul mendengarkan ajakan Rasul Saw terhadap mereka untuk
memeluk Islam, Abu Râfi’ al-Quradziyyi berkata: ”Apakah
Engkau menginginkan kami menyembahmu, seperti orang-orang Nasrani
menyembah Nabi Isa as.?” Selanjutnya, ar-Ribbîs, salah seorang penduduk
Nejran, ikut mempertegas pertanyaan tersebut dan berkata: “apakah benar
itu yang Engkau perintahkan wahai Muhammad?” Rasul Saw menjawab: “kami
berlindung dari Allah SWT untuk menyembah selain dari Dia, atau kami
memerintahkan kemusyrikan! Bukan itu sebab Aku di utus, dan bukan itu
pula yang diperintahkan kepadaku.” Maka Allah SWT pun menurunkan ayat
tersebut.”[[2]]
Hemat penulis, jika periwayatan ini sah, maka Rasul Saw adalah sebaik-baiknya murabbi. Dia teladan terhadap para murabbi dalam mendidik umat. Olehnya itu, hadits ini seperti menyiratkan pesan sebagaimana berikut:
“Wahai
para murabbi, jika engkau sekalian ingin menjadi pendidik umat, maka
mengacalah kepada tarbiyah Nabi Saw! Ikuti metode tarbiyah dan jalan
dakwahnya yang terbukti telah melahirkan generasi umat yang mumpuni di
pelbagai aspek kehidupan!”
Syekh Sya’râwî berkata:
“perkataan
mereka di atas: (apakah Engkau ingin kami menyembahmu dan menjadikanmu
tuhan?) Artinya: mereka tidak mengetahui perbedaan tajam antara Rasul
Saw dalam menjalankan dakwah Allah SWT dan pembesar-pembesar mereka yang
menyalahi hukum Islam dan menggantikannya dengan hukum lain. Rasul Saw
tidak pernah meminta dari mereka untuk mentaati dirinya semata, akan
tetapi ia meminta kepada mereka untuk mentaati ajaran dan metode
kehidupan yang diembannya. Olehnya itu, ia sangat mengingkari wacana
distorsif tersebut.”[[3]]
Berangkat
dari penjelasan di atas, sang murabbi hendaknya tidak menjadikan diri
pribadi mereka sebagai fokus perhatian umat. Akan tetapi, ia lebih
menitikberatkan perhatian umat terhadap pesan yang disampaikan. Makna
ini tersirat dari kata rabbânî itu sendiri yang berarti bahwa semua bentuk penyampaian dakwah datang dari Allah SWT dan tidak terambil dari yang lain.
Di
lain sisi, ia juga memberi pesan bahwa murabbi itu hendaknya mampu
menjadi cerminan terhadap akhlaq mulia, bias dari manifestasi hakikat
nama-nama Allah SWT (Asmaul Husna), murabbi yang senantiasa mengedepankan kemaslahatan dan keselamatan umat dari segala bentuk ego.
Bukanlah dari rabbânî
murabbi yang menjadikan dakwah sebagai media penggalangan massa demi
kepentingan kelompok tertentu atau partai. Akan tetapi, murabbi yang rabbânî
adalah pejuang dakwah yang mengenyampingkan bentuk kepentingan seperti
ini dan tidak mempeta-petakan medan dakwah. Bukan pula dari mereka yang
mengeluhkan sepinya jamaah yang datang mendengarkan penyampaiannya. Akan
tetapi, sebenar-benarnya murabbi adalah yang perhatian dan cita-citanya
jauh lebih tinggi dari mengeluhkan hal kecil seperti ini. Bukankah
tugas utama mereka adalah sekedar menyampaikan dan tidak memaksakan
kehendak kepada siapa pun? Jangan pernah mengharap massa, dan jangan
pernah bersedih dari sepinya massa! Karena datang dan berpalingnya massa
dari Anda, itu merupakan keputusan Allah SWT saja. Boleh jadi, satu
kalimat yang Anda sampaikan dengan penuh keikhlasan terhadap seseorang
jauh lebih berharga dari seribu satu kalimat yang Anda sampaikan di
jutaan orang demi menarik perhatian massa.
Singkatnya, yang rabbânî itu dari mereka adalah yang berjuang karena Allah, di jalan Allah dan demi meninggikan agama Allah.
Paparan di atas merupakan syarat pertama yang diletakkan Al-Qur’an bagi mereka yang ingin menjadi murabbi yang rabbânî.
Jika ada yang bertanya dan berkata:
“mengapa Al-Qur’an lebih memilih kata rabbânî dari kata murabbi? Tidak pernah ditemukan kata murabbi di ayat manapun. Bukankah kedua kata itu berasal dari akar kata [[4]] yang sama?”
Kepada penanya dijelaskan bahwa tidak semua murabbi rabbânî, tetapi semua Rabbânî itu
pasti murabbi. Tentunya, ini menunjukkan keindahan bahasa Al-Qur’an
yang terlihat dari ketelitiannya memilih kata dalam menyuguhkan sebuah
pemaknaan.
Jawaban singkat ini akan dijelaskan lebih jauh di syarat-syarat lain bagi mereka yang ingin menjadi murabbi yang Rabbânî sebagaimana berikut:
Syarat kedua dan ketiga: meniti dakwah dan menimba ilmu sebagai jalan hidup
Kedua syarat ini terangkum di kalimat berikut ini:
(بِماَ كُنْتثمْ تُعَلِّمُوْنَ الكِتاَبِ وَبِماَ كُنْتمْ تَدْرُسُون)
Artinya, yang rabbânî dari
mereka adalah murabbi yang senantiasa ingin bertatap muka dengan umat,
menyampaikan pesan-pesan agama, berpegang teguh kepada syariat dalam
menjalankan dakwah dan senantiasa menimba ilmu untuk dibeberkan ke umat,
bukan untuk dirinya semata dan disembunyikan dari mereka.
Ini telah ditegaskan oleh telaah Jârullâh az-Zamakhsyarî terhadap ayat di atas, beliau berkata:
“pribadi Rabbânî
lahir dari ilmu dan pembelajaran. Sosok yang senantiasa ingin
menyalurkan ilmunya, memberi dan menerima, serta tidak mengenal kata
bosan dan jenuh dalam belajar dan mengajar. Olehnya itu, yang rabbânî
dari mereka adalah yang mengetahui dan mengamalkan pengetahuannya. Orang
yang telah menghabiskan umurnya belajar, kemudian tidak mengamalkannya,
seperti petani yang menanam pohon dan terbuai oleh keindahannya, tetapi
buahnya tidak memberikan manfaat terhadapnya. Pendek kata, Rabbânî itu
adalah sosok yang senantiasa ingin mengajarkan dan mengamalkan apa yang
diketahuinya.”[[5]]
Olehnya
itu, bagi Syekh Abu Suûd sendiri, keurgensian mengamalkan ilmu
pengetahuan ditandai oleh penempatan kata (تُعَلِّمُوْن) lebih awal,
yang berarti mengajar dan mempraktekkan ilmu, dari kata (تَدْرُسُون) itu
sendiri, yang berarti menekuni pelajaran.[[6]]
Meskipun
demikian, kedua makna tersebut merupakan organ vital dari lahirnya
proses pembelajaran yang benar dan tepat. Pernyataan ini dipertegas oleh
Syekh Sya’râwî berikut ini:
“kedua kata kerja tersebut mempunyai makna yang beda. Kata (تُعَلِّمُوْن) artinya: yang rabbânî
dari mereka adalah yang senantiasa menyampaikan dan mengajarkan kepada
umat metode kehidupan yang bersumber dari Allah, yang demikian itu
diatur dalam sebuah mekanisme belajar-mengajar. Dan kata (تَدْرُسُون)
artinya: mereka yang senantiasa berupaya memahami pesan-pesan agama
secara benar sebelum disampaikan ke umat. Dan pastinya, selagi Anda
belajar, tentu mengetahui teks-teks baku yang valid untuk dijadikan
metode kehidupan, dan selama Anda belajar-mengajar, tentu memahami tata
cara menerima dan menerapkan metode tersebut dengan baik dan benar.
Olehnya itu, Anda wajib menjadi sosok rabbânî dalam kedua hal tersebut.”[[7]]
Imam Ibn Qayyîm al-Jauzî berkata:
“Sesungguhnya ulama-ulama terdahulu sepakat bahwa orang berilmu tidak berhak disebut rabbânî
hingga ia mengetahui kebenaran, mengamalkan dan mengajarkannya. Barang
siapa yang mengetahui, mengamalkan dan mengajarkannya, maka ia disebut
sebagai ilmuwan agung di kerajaan yang ada di langit.”[[8]]
Dari
paparan singkat di atas, pemerhati tema-tema keislaman dengan mudahnya
menyimpulkan jawaban dari pertanyaan tersebut sebagaimana berikut:
“yang rabbânî
dari murabbi adalah mereka yang senantiasa meniti jalan-jalan dakwah,
mereka yang gemar belajar dan mengajarkan ilmu, mereka yang mengamalkan
ilmu dan ingin menjadi panutan umat, mereka yang berpegang teguh dan
taat terhadap ajaran agama, mereka yang berdakwah tanpa mengenal keluh
kesah, mereka yang berjuang bukan karena kepentingan golongan dan
partai, mereka yang tidak disibukkan oleh banyak dan sedikitnya
penyimak, dan mereka yang selalu berjuang karena Allah, di jalan Allah,
demi menegakkan dan meninggikan agama Allah SWT.”
Olehnya
itu, ambillah satu bentuk keteladanan tarbiyah dari Ibn Abbas! Beliau
di hari wafatnya disanjung oleh Muhammad bin al-Hanafiah dalam pujiannya
berikut ini: ”hari ini telah berpulang ke rahmatulllah Rabbânî umat ini.“[[9]]
Catatan Kaki:
[1] Lihat: Imam Ibn Jarir at-Thabari, Tafsir at-Thabarî, vol. 6, hlm. 539
[2] Imam
Jamaluddîn az-Zaelaî’ menyebutkan tempat periwayatan hadits ini di
pelbagai buku hadits tanpa memberikan justifikasi hukum, beliau berkata:
“Al-Baihaqî
meriwayatkan hadits ini di Dalaîl an-Nubuwwah di Abwab al-Wufud, bab
Wafd Nejrân yang perawi-perawinya terdiri dari: Abi Abdillâh al-Hakîm,
Muhammad bin Ishâq, Muhammad bin Abî Muhammad (maula Said bin Tsâbit),
Saîd bin Jubair atau Ikrîmah, dari Ibn Abbâs.
Hadits ini
pun diriwayatkan At-Tabarî di tafsirnya dengan sanad dan matan yang
sama, dan al-Wâhidî di Asbabun Nuzul dari al-Kalbî dan Atâ’ dari Ibn
Abbâs.” [lihat: Jamaluddin az-Zaelaî', Takhrîj al-Ahâdîts wa al-Ātzâr al-Wâqiah fi al-Kassyâf li az-Zamakhsyarî, dikomentari dan ditahkik oleh Ali Umar Ahmad Badahdah, dipromotori oleh Prof. Dr. Abdul Majîd Mahmûd Abdul Majîd, (buku ini disertasi pentahkik dalam meraih gelar Doktoral di Universitas Ummul Qurâ' di Mekah al-Mukarramah), [hadits. No: 401], vol. 1, hlm. 815-816].
Meskipun
hadits ini tidak dijustifikasi oleh para mufassir dan ahli hadits yang
meriwayatkannya, hal ini tidak mencegah Salîm bin Abdu al-Hilâlî, dan
Mûsâ Āli Nasr untuk menjustifikasinya sebagai hadits lemah (Hadits Dhaif),
mengingat syekh, tempat Ibn Ishaq mengambil hadits darinya tidak
diketehui profil dan riwayat hidupnya oleh para ulama. [lihat: Salîm bin
Abdu al-Hilâlî, dan Mûsâ Āli Nasr, al-Isti'âb fi Bayân al-Asbâb, Dar Ibn al-Jauzî, cet. 1, 1425 H, vol. 1, hlm. 269].
[3] Syekh Mutawallî as-Sya’râwî, Tafsir as-Sya’râwî, vol. 3, hlm. 1563
[4] Pemaknaan ar-Rabbânî
dikembalikan ke (الرَّبّ) dengan tambahan Alif dan Nun, yang artinya:
orang yang berpegang teguh dan taat terhadap agama Allah SWT. [Lihat:
Jârullâh az-Zamakhsyarî, al-Kasyyâf, vol. 3, hlm. 574]
[5] Lihat: Jârullâh az-Zamakhsyarî, Ibid, vol. 3, hlm. 575
[6] Lihat: Syekh Abu Suûd al-Imâdî, Tafsir Syekh Abu Suûd, vol. 1, hlm. 385
[7] Lihat: as-Sya’râwî, Op.Cit, vol. 3, hlm. 1565-1566
[8] Imam Ibn Qayyîm al-Jauzî, Zâd al-Maâd fi Hadyi Khairil Ibâd, ditahkik oleh Syuab al-Arnauth, Maktabah ar-Risalah, cet. 7, 1415 h/1994 m, vol. 3, hlm. 10
[9] Lihat: al-Imam al-Bagawî, Maâlm at-Tanzîl, vol. 2, hlm. 61
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com