Sedihnya Melihat Industri Strategis Negeriku!

Assalamuaalaikum Wr Wb

Baru-baru ini dalam sebuah pemberitaan, saya membaca maskapai penerbangan Indonesia Lion Air berencana membeli 230 pesawat terbang Boeing 737.

Bukan main luar-biasanya. Order yang diperkirakan bernilai 21,7 milar dolar, menurut harian sore Belanda, NRC Handelsblad, sebuah media Belanda, disebut sebagai order terbesar dalam sejarah perusahaan Amerika saat ini.

Seperti diketahui, Armada Lion Air seluruhnya adalah pesawat Boeing. Maskapai penerbangan tersebut terbang ke 60 bandara tujuan, termasuk 55 di dalam negeri dan lima di luar negeri. Lion Air juga menyatakan ingin membeli 201 Boeing 737 Max, lengkap dengan mesin baru yang lebih hemat energi ketimbang generasi 737 yang sekarang.

Lion Air selanjutnya juga berencana memesan 29 Boeing 737 yang bisa menempuh jarak jauh. Sebagai ilustrasi: armada maskapai penerbangan Belanda KLM terdiri dari 113 pesawat terbang (11 sedang dipesan).

Kesepakatan antara maskapai penerbangan Indonesia dengan Boeing disampaikan oleh Gedung Putih. Boeing bahkan berharap bisa mengirim pesawatnya mulai tahun 2017. Kontrak masih harus ditandatangani.
Kasus pembelian pesawat terbang ini mengingatkan saya akan sejarah panjang industri pesawat terbang kita.


Di mana tahun 1968, Dr BJ Habibie telah mengundang sejumlah insinyur untuk bekerja di industri pesawat terbang Jerman. Sekitar 40 insinyur Indonesia akhirnya dapat bekerja di MBB atas rekomendasi Pak Habibie. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan skill dan pengalaman (SDM) insinyur Indonesia untuk suatu saat bisa kembali ke Indonesia dan membuat produk industri dirgantara (dan kemudian maritim dan darat).


Pak Harto kala itu mengirim Ibnu Sutowo ke Jerman untuk menemui seraya membujuk Habibie pulang ke Indonesia. Demi bangsa, ia rela meninggalkan posisi dan prestise tinggi di Jerman. Tahun 1974 di usia 38 tahun, BJ Habibie pulang ke tanah air. Ia dipercaya mengelola bidang teknologi pesawat terbang dan teknologi tinggi hingga tahun 1978. Saat itu, ia masih masih menjabat sebagai Vice Presiden dan Direktur Teknologi di MBB.


Sejak Habibibe diangkat menjadi Menteri Negara Riset dan Teknologi (Menristek) sekaligus merangkap sebagai Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Indonesia telah memproduksi teknologi tinggi. Di antaranya pernah memproduksi Pesawat CN-235 milik Angkatan Udara Turki dan Pesawat CN-235 milik AU Spanyol.


Pak Harto, juga memberikan “kekuasan” lebih pada Habibie untuk memimpin industri-industri strategis seperti Pindad, PAL, dan PT IPTN.


Saat menggantikan pak Harto, ia banyak mereformasi bidang politik. Di antaranya setuju mengamandemen UUD 45 untuk membatasi periode jabatan presiden maksimal 2 kali. Semua orang tahu, tanpa amandemen tidak ada yang namanya reformasi. Salah satu tolok ukur obyektif reformasi adalah pembatasan masa jabatan presiden.


Habibie juga menjamin kebebasan pers, meminjam istilah Yusril Ihza Mahendra di Majalah Matra, Habibie memberi keluluasaan pers, hingga pers mengolok-oloknya.


Berbagai koran, majalah, tanpa perlu surat izin layaknya era Harmoko. Mereka juga bebas memaki dan menghina Habibie. Menurut catatan sejarah, 16 bulan massa pemerintahan Habibie justru pers meningkat lebih dari 400% dari 32 tahun massa pemerintahan Soekarno ataupun Soeharto. Ini adalah fakta sejarah.


Bego-nya media-media kita –-termasuk para polisi— justru menjadi sumber musibah ikut menghancurkan SDM dan sumber daya yang kita miliki kala itu. Habibie dijatuhkan dalam Sidang Umum (SU MPR) tahun 1999. Jika yang menggoyang itu PDI-P, masih bisa dimaklumi, tapi kok ya partai berbasis pesantren seperti PKB ikut-ikut menggusur SDM mahal dan langka. 


Baru-baru ini, Direktur Teknik dan Pengembangan PT Dirgantara Indonesia (DI), Dita Ardoni Safri di sebuah laman Sindo sempat mengatakan, pembuatan komponen pesawat terbang di PT Dirgantara Indonesia di Bandung mengalami masa surut.


Aktivitas di tempat itu, sudah tidak seramai ketika Prof BJ Habibie masih memimpin industri pesawat terbang kebanggaan Tanah Air. Pabrik rata-rata bekerja untuk membuat komponen pesawat pesanan perusahaan asing. Berbagai jenis helikopter maupun pesawat yang dulu diproduksi dari tempat ini sudah tidak dibuat lagi.Bukan karena kemampuan sumber daya manusia yang tidak memadai,melainkan lisensi untuk membuat helikopter dan sebagian besar pesawat terbang telah habis.

Jumlah karyawan pun berkurang drastis dari belasan ribu orang tinggal beberapa ribu saja,termasuk para ahli.
“Mereka lama-lama menjadi ‘sastra teknik’.Mereka orang teknik,tapi hanya membaca tidak pernah praktik membuat pesawat.Jadi seperti sastrawan,”kata Ardoni. (http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/442559/)
Ribuan orang tenaga ahli yang terpaksa hengkang dari PT Dirgantara Indonesia sekarang tersebar di berbagai industri yang masih ada kesesuaian dengan keahlian mereka.Bahkan ada pula yang bergabung ke industri penerbangan di luar negeri. Innalillahi!


Dalam sebuah kesempatan, BJ Habibie sempat mengatakan merasa kecewa perkembangan industri strategis di tanah air mengalami kemunduran. Padahal, kemandirian Indonesia dalam mengembangkan industri strategis merupakan amanat dari Presiden Soekarno sejak tahun 1950.
“Industri strategis terhenti perkembangannya karena tidak didukung bantuan anggaran pemerintah,” kata BJ Habibie, dalam Rapat Kerja (Raker) bersama Komisi I DPR RI di gedung parlemen di Jakarta.


Di depan anggota DPR ia mengingatkan kita agar menjadi bangsa mandiri dan tak membeli produk asing.
“Kalau Anda membeli produk dari sana (luar negeri), ya itu artinya Anda membeli jam kerja sana. Rakyat di sini yang gigit jempol (tidak ada lapangan kerja),” kata Habibie.


Karena itu, ketika Anda membaca Lion membeli produk pesawat begitu banyak kepada bangsa lain, itu kemajuan atau kecelakaan?
Lebih aneh lagi, bangsa, pemerintah dan media massa di negeri-ku justru membiarkan pikiran Pak Habibie dan anak-anaknya justru dimanfaatkan orang lain. Pasti betapa senangnya asing (khususnya Amerika).  Sungguh aneh rasanya!

KATA MEREKA

Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com

أحدث أقدم