Ada pepatah terkenal berbunyi, "Tidak ada gading yang tidak retak."
Artinya, manusia sebaik dan sehebat apa pun, selain al ma 'shum, pasti memiliki
kekurangan. Begitupun dengan Ikhwanul Muslimunyang lahir bukan tanpa kritik dan
cela dari dalam maupun dari luar. Kritik yang diarahkan kepadanya harus
dipandang sebagai bentuk nasihat yang berguna dan bukan upaya pelecehan yang
merendahkan. Sebaliknya, celaan yang datang bertubi-tubi kepadanya sarna sekali
tidak akan pemah membuatnya rendah dan hina di mata umat.
Tidak ada yang mengingkari bahwa kritik adalah sesuatu yang berguna dan dibutuhkan manusia walau getir dan pedas. Apalagi, manusia adalah makhluk Allah Swt yang tidak lepas dari kesalahan. Sebenamya kritik pada hakikatnya sama dengan nasihat. Tidak perlu pula diingkari bahwa celaan adalah hal yang berbeda dengan kritik. Mencela bukanlah akhlak terpuji walau kadangkala manusia harus mencela orang yang pantas dicela. Pada saat itu, fungsi celaan sarna dengan nasihat.
Mengkritik dan mencela memiliki perbedaan yang jelas. Mengkritik adalah upaya memperbaiki yang keliru, menyempurnakan yang kurang, menguatkan yang lemah, dan membangunkan yang tertidur dengan menunjukkan masalah dan jalan keluamya agar manusia cepat kembali kepada kebenaran. Mengkritik haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan, ilmu, dan akal sehat, serta ketulusan hati. Obyek yang dikritik pun adalah sesuatu yang benar-benar perlu dikritik dan bukan dilontarkan sekadar prasangka, asumsi, atau mencari-cari kesalahan dengan landasan emosi dan rasa benci.
Adapun mencela atau menghujat (apa pun istilahnya) amat bertolak belakang dengan mengkritik. Mencela secara halus (sinis) atau kasar (sarkas) adalah upaya merendahkan, melecehkan, atau meremehkan agar manusia menjauh tanpa memberikan jalan keluar. Landasan mencela adalah nafsu amarah serta tanpa pertimbangan ilmu dan akal sehat. Paling tidak, nafsu amarah telah mengendalikan ilmu dan akal sehat. Obyek yang dicela mungkin benar, mungkin juga salah. Bahkan, boleh jadi kebenaran tertutup cahayanya, lalu dianggap salah. Oleh karena nafsu amarah yang dituruti akan rnembuat gelap mata dan tidak mampu rnemandang secara jemih antara yang benar dan salah.
Tidak diragukan lagi bahwa Ikhwan telah rnendapatkan keduanya; kritik dan celaan. Pada keadaan tertentu, Ikhwan rnenerirna sernua kritikan dan berlapang dada karena Allah Swt rnenyadarkan rnereka dari kekeliruan, Namun pada keadaan lain, Ikhwan rnerasa perlu mernberi tanggapan terhadap celaan yang rnereka terirna lantaran celaan tersebut zalirn dan tidak pada tempatnya.,
Perlu diingat, rneskipun kebajikan yang telah dipersembahkan Ikhwanul Muslimin segunung banyaknya, mereka-seperti jamaah lain-adalah jamaah manusia. Pendiri, pemimpin, petinggi, anggota, dan sirnpatisannya adalah rnanusia biasa yang berpotensi rnelakukan kesalahan. Hanya rnanusia yang selalu dalarn penjagaan Allah Swt-Iah yang senantiasa mampu rnengajak dirinya bersatu dengan kebenaran dan rnenyisihkan kesalahan. Sernentara orang yang selalu dalam penjagaan Allah azza wa Jalla hanya Rasulullah Saw. Ikhwan bukanlah jamaah rnalaikat yang selalu taat dan tidak pemah salah. Bukan pula jamaah setan yang selalu durhaka dan ingkar serta nengajak manusia kepada kedurhakaan.
Sungguh telah datang secara bergelornbang celaan dan tuduhan kepada Ikhwan. Hal yang amat rnengherankan, tuduhan dan celaan itu salin bertolak belakang. Satu pihak rnenuduh Ikhwan terlalu ketat dan konservatif
Namun, pihak lain menuduh Ikhwan longgar dan permissive terhadap semua pembaruan. Tuduhan atau celaan itu saling mementahkan satu sarna lainnya dan rnenernpatkan Ikhwan berada di antara keduanya. Demikianlah kedudukan yang adil, yaitu wasathiyah (pertengahan/rnoderat).
Dalam pandangan kami-wallahu a'lam-hal itu terjadi karena beberapa alasan. Di antaranya:
Tidak ada yang mengingkari bahwa kritik adalah sesuatu yang berguna dan dibutuhkan manusia walau getir dan pedas. Apalagi, manusia adalah makhluk Allah Swt yang tidak lepas dari kesalahan. Sebenamya kritik pada hakikatnya sama dengan nasihat. Tidak perlu pula diingkari bahwa celaan adalah hal yang berbeda dengan kritik. Mencela bukanlah akhlak terpuji walau kadangkala manusia harus mencela orang yang pantas dicela. Pada saat itu, fungsi celaan sarna dengan nasihat.
Mengkritik dan mencela memiliki perbedaan yang jelas. Mengkritik adalah upaya memperbaiki yang keliru, menyempurnakan yang kurang, menguatkan yang lemah, dan membangunkan yang tertidur dengan menunjukkan masalah dan jalan keluamya agar manusia cepat kembali kepada kebenaran. Mengkritik haruslah dilakukan dengan penuh pertimbangan, ilmu, dan akal sehat, serta ketulusan hati. Obyek yang dikritik pun adalah sesuatu yang benar-benar perlu dikritik dan bukan dilontarkan sekadar prasangka, asumsi, atau mencari-cari kesalahan dengan landasan emosi dan rasa benci.
Adapun mencela atau menghujat (apa pun istilahnya) amat bertolak belakang dengan mengkritik. Mencela secara halus (sinis) atau kasar (sarkas) adalah upaya merendahkan, melecehkan, atau meremehkan agar manusia menjauh tanpa memberikan jalan keluar. Landasan mencela adalah nafsu amarah serta tanpa pertimbangan ilmu dan akal sehat. Paling tidak, nafsu amarah telah mengendalikan ilmu dan akal sehat. Obyek yang dicela mungkin benar, mungkin juga salah. Bahkan, boleh jadi kebenaran tertutup cahayanya, lalu dianggap salah. Oleh karena nafsu amarah yang dituruti akan rnembuat gelap mata dan tidak mampu rnemandang secara jemih antara yang benar dan salah.
Tidak diragukan lagi bahwa Ikhwan telah rnendapatkan keduanya; kritik dan celaan. Pada keadaan tertentu, Ikhwan rnenerirna sernua kritikan dan berlapang dada karena Allah Swt rnenyadarkan rnereka dari kekeliruan, Namun pada keadaan lain, Ikhwan rnerasa perlu mernberi tanggapan terhadap celaan yang rnereka terirna lantaran celaan tersebut zalirn dan tidak pada tempatnya.,
Perlu diingat, rneskipun kebajikan yang telah dipersembahkan Ikhwanul Muslimin segunung banyaknya, mereka-seperti jamaah lain-adalah jamaah manusia. Pendiri, pemimpin, petinggi, anggota, dan sirnpatisannya adalah rnanusia biasa yang berpotensi rnelakukan kesalahan. Hanya rnanusia yang selalu dalarn penjagaan Allah Swt-Iah yang senantiasa mampu rnengajak dirinya bersatu dengan kebenaran dan rnenyisihkan kesalahan. Sernentara orang yang selalu dalam penjagaan Allah azza wa Jalla hanya Rasulullah Saw. Ikhwan bukanlah jamaah rnalaikat yang selalu taat dan tidak pemah salah. Bukan pula jamaah setan yang selalu durhaka dan ingkar serta nengajak manusia kepada kedurhakaan.
Sungguh telah datang secara bergelornbang celaan dan tuduhan kepada Ikhwan. Hal yang amat rnengherankan, tuduhan dan celaan itu salin bertolak belakang. Satu pihak rnenuduh Ikhwan terlalu ketat dan konservatif
Namun, pihak lain menuduh Ikhwan longgar dan permissive terhadap semua pembaruan. Tuduhan atau celaan itu saling mementahkan satu sarna lainnya dan rnenernpatkan Ikhwan berada di antara keduanya. Demikianlah kedudukan yang adil, yaitu wasathiyah (pertengahan/rnoderat).
Dalam pandangan kami-wallahu a'lam-hal itu terjadi karena beberapa alasan. Di antaranya:
- salah paham terhadap hakikat manhaj dakwah Ikhwan;
- tidak paham terhadap hakikat manhaj dakwah lkhwan;
- mungkin benar ada kekeliruan di dalarn lkhwan, tetapi para pencelannya tidak punya niat baik dan etika yang bagus untuk meluruskannya;
- ikut-ikutan (taklid)terhadap pembesar-pembesar rnereka; atau
- ada kedengkian (hiqd) di dalam hati mereka.
Beberapa Contoh Tuduhan dan Jawabannya
Telah berkata Samahatusy Syaikh Imam Kabir Abdul Aziz bin Abdullah bin
Bazz-semoga Allah Swt meridhainya, "Harakah Ikhwanul Muslimun telah dikritik
para ulama yang mu'tabar. Salah satu alasannya, mereka tidak memperhatikan
dakwah tauhid serta memberantas syirk dan bid'ah. Oleh karena itu, wajib bagi
Ikhwanul Muslimun untuk mengingkari ibadah-ibadah kepada kuburan. Kebanyakan
ahli ilmu mengkritik Ikhwanul Muslimun pada segi itu-tidak punya perhatian
terhadap dakwah tauhid, membiarkan kelakuan orang-orang jahil, dan meminta-minta
kepada orang yang sudah mati. Mereka pun tidak punya perhatian terhadap sunah
atau meneliti hadis dan perkataan salafush shalih dalam hukum-hukum syar'i"
1
Dari perkataan Samahatusy Syaikh itu, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan
dulu. Siapakah ulama mu'tabar (diakui) yang Syaikh mulia maksud? Apakah mereka
pemah berinteraksi dengan Ikhwanul Muslimun dan tokoh-tokohnya secara baik di
masa awal atau sekarang ini atau hanya mendengar dari kabar burung yang
dipelintir dan buku-buku yang dikutip secara sepotong-sepotong?
Jika ulama yang dimaksud adalah ulama dunia seperti Syaikh al Muhaddits Sayyid Muhibbudin al Khathib (redaksi harian /khwanul Muslimin), Syaikh Hasanain al Makhluf (mantan mufti Mesir), al Hajj Amin Husaini (mufti Palestina), Muhammad Abdul Hamid (ulama al Azhar), Syaikh Mahmud Syaltut (mantan Syaikh al Azhar), atau Abul A'la al Maududi (seorang 'alim dari Pakistan dan dipanggil 'ustad' oleh Syaikh al Albany)-mereka hidup sezaman dengan al Banna dan masa-masa generasi pertama Ikhwan tentulah tidak akan luput dari perhatian orang-orang 'alim itu jika benar Ikhwan adalah jamaah yang menyimpang. Tidak ada keterangan dari ulama-ulama itu yang menyebutkan kritik atau celaan seperti yang disebutkan Syaikh bin Bazz. Nyatanya, mereka amat mencintai Ikhwan dan manhaj-nya, bahkan sebagian di antara mereka bergabung bersama Ikhwan atau mengambil manfaat darinya.
Jika ulama yang dimaksud adalah ulama dunia seperti Syaikh al Muhaddits Sayyid Muhibbudin al Khathib (redaksi harian /khwanul Muslimin), Syaikh Hasanain al Makhluf (mantan mufti Mesir), al Hajj Amin Husaini (mufti Palestina), Muhammad Abdul Hamid (ulama al Azhar), Syaikh Mahmud Syaltut (mantan Syaikh al Azhar), atau Abul A'la al Maududi (seorang 'alim dari Pakistan dan dipanggil 'ustad' oleh Syaikh al Albany)-mereka hidup sezaman dengan al Banna dan masa-masa generasi pertama Ikhwan tentulah tidak akan luput dari perhatian orang-orang 'alim itu jika benar Ikhwan adalah jamaah yang menyimpang. Tidak ada keterangan dari ulama-ulama itu yang menyebutkan kritik atau celaan seperti yang disebutkan Syaikh bin Bazz. Nyatanya, mereka amat mencintai Ikhwan dan manhaj-nya, bahkan sebagian di antara mereka bergabung bersama Ikhwan atau mengambil manfaat darinya.
Namun, jika ulama mu 'tabar yang dimaksud adalah pengikut dan murid-murid Syaikh
Bin Bazz sendiri dan pengikut Syaikh al Albany-mereka memang ulama, seperti
Syaikh Muqbil bin Hadi al Wadi'i al Yamany, Syaikh Rabi' bin Hadi Umair al
Madkhaly, Syaikh Zaid bin Muhammad
bin Hadi al Madkhaly, Syaikh Farid bin Ahmad Manshur, Syaikh Ali Hasan al Halaby
al Atsary, dan Abdul Malik Ramadhan al Jazairy-bukanlah hal yang baru dan
mengherankan bagi kami. Mereka memang ulama-ulama
yang terkenal amat bersemangat mengkritik jamaah atau tokoh yang tidal sejalan
dengan fikrah mereka. Pembahasannya akan kami uraikan secara khusus.
Adapun ucapan Syaikh yang mulia bahwa Ikhwan melupakan dakwan tauhid serta memberantas bid'ah dan syirik kubur, itu tidaklah benar. Lagi pula wacana tauhid bukan hanya seputar bid'ah dan syirk kubur. Ikhlas dalam beramal, menegakkan syariat Islam dalam lirigkup pribadi, masyarakat, dan negara, .tidak meminta pertolongan orang kafir untuk memerangi sesama muslim, atau mengeluarkan fatwa bolehnya meminta pertolongan kepada AS saat Perang Teluk melawan Saddam Husein berkecamuk padahal biar bagaimana pun AS lebih jelas kekafirannya dibandingkam Saddam Hussein-termasuk bagian dari tauhid. Hasan al Banna telah menyebutkan di dalam Ushul isyrin keharusan bagi pengikut/anggota Ikhwan untuk memerangi kemungkaran di kuburan, pengunaan jimat, mantera dan sejenisnya. Hal itu akan kami ulas pada bagiannya tersendiri.
Begitu pula tidak sepenuhnya benar pemyataan bahwa lkhwan melupakan sunah serta tidak meneliti hadis dan atsar salafush shalih. Ikhwan memahami bahwa upaya meneliti hadis dan atsar-atsar salafush shalih bukanlah pekerjaan untuk semua manusia. Hanya ahlinya yang pantas untuk melakukan hal itu. Ikhwan sendiri tidak mendidik anggotanya secara khusus untuk menjadi ulama fiqh atau ulama hadis. Tidak ada gerakan Islam yanng berpikir bahwa semua anggotanya harus menjadi ahli.fiqh dan ahli hadist atau atsar. Namun, Ikhwan tetap memperhatikan haI itu melalui pemimpinnya yang memang punya keahlian di bidang itu. Ada Sayyid Sabiq, Abdul Qadir' 'Audah, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Abdul Halim Abu Syuqqah, Yusuf al Qaradhawy, dan ulama lainnya. Semuanya adalah tokoh ahli iImu liqh dan hadis yang diakui dunia. Syaikh bin Bazz pemah melontarkan perkataan yang berat ketika ditanya tentang Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun, "Kedua firqah itu masuk' ke dalam 72 golongan (yang tersesat). Siapa saja yang menyelisihi akidah Ahlussunnah, ia masuk ke dalam 72 golongan itu."2
Adapun ucapan Syaikh yang mulia bahwa Ikhwan melupakan dakwan tauhid serta memberantas bid'ah dan syirik kubur, itu tidaklah benar. Lagi pula wacana tauhid bukan hanya seputar bid'ah dan syirk kubur. Ikhlas dalam beramal, menegakkan syariat Islam dalam lirigkup pribadi, masyarakat, dan negara, .tidak meminta pertolongan orang kafir untuk memerangi sesama muslim, atau mengeluarkan fatwa bolehnya meminta pertolongan kepada AS saat Perang Teluk melawan Saddam Husein berkecamuk padahal biar bagaimana pun AS lebih jelas kekafirannya dibandingkam Saddam Hussein-termasuk bagian dari tauhid. Hasan al Banna telah menyebutkan di dalam Ushul isyrin keharusan bagi pengikut/anggota Ikhwan untuk memerangi kemungkaran di kuburan, pengunaan jimat, mantera dan sejenisnya. Hal itu akan kami ulas pada bagiannya tersendiri.
Begitu pula tidak sepenuhnya benar pemyataan bahwa lkhwan melupakan sunah serta tidak meneliti hadis dan atsar salafush shalih. Ikhwan memahami bahwa upaya meneliti hadis dan atsar-atsar salafush shalih bukanlah pekerjaan untuk semua manusia. Hanya ahlinya yang pantas untuk melakukan hal itu. Ikhwan sendiri tidak mendidik anggotanya secara khusus untuk menjadi ulama fiqh atau ulama hadis. Tidak ada gerakan Islam yanng berpikir bahwa semua anggotanya harus menjadi ahli.fiqh dan ahli hadist atau atsar. Namun, Ikhwan tetap memperhatikan haI itu melalui pemimpinnya yang memang punya keahlian di bidang itu. Ada Sayyid Sabiq, Abdul Qadir' 'Audah, Abdul Fattah Abu Ghuddah, Abdul Halim Abu Syuqqah, Yusuf al Qaradhawy, dan ulama lainnya. Semuanya adalah tokoh ahli iImu liqh dan hadis yang diakui dunia. Syaikh bin Bazz pemah melontarkan perkataan yang berat ketika ditanya tentang Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun, "Kedua firqah itu masuk' ke dalam 72 golongan (yang tersesat). Siapa saja yang menyelisihi akidah Ahlussunnah, ia masuk ke dalam 72 golongan itu."2
1 Buletin dakwah alFurqan edisi 10/1 Jumadil ula 1423 H, him. 2, kol. 2.
2 Rasulullah Saw memprediksikan perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan golongan yang masuk surga hanya satu, yaitu al Jama 'ah-artinya segala yang aku (Nabi Saw) dan sahabatku ada di atasnya. Adapun 72 golongan lainnya masuk neraka. Hadis itu diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Imam Hakim men-shahihkannya menurut syarat Imam Muslim dan disepakati Imam adz Dzahabi. Syaikh Albany men-shahih-kan hadis itu, sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengeluarkan hadis itu dalam kitab Shahihain mereka padahal masalahnya penting" Hal itu menunjukkan Imam Syaikhan (Bukhari-Muslim) meragukan kesahihan hadis.hadis itu. Bahkan, Imam Ibnu Wazir menganggapnya batil, tidak benar, dan merupakan rekayasa orang-orang mulht:l (atheis). Ibnu Hazm menilainya sebagai hadis palsu. Adapun Imam Ibnu Taimiyah men-shahihbn hadits itu dan Ibnu Hajar meng-hasan-kannya (Lihat dalam Fiqhul Ikhtilaf, hIm. 50-56 dan Seleksi Hadits-Hadits Shahih tentang Targhib dan Tarhib, hlm. 120. Keduanya karya Yusuf al Qaradhawy).
Ketika ditanya lagi, syaikh itu menegaskan, "Ya, keduanya masuk ke dalam 72 golongan beserta murji'ah dan golongan lainnya. Murji'ah dan khawarij-khusus khawarij menurut sebagian Ahlul 'ilmi telah keluar dari golongan orang-orang kafir, tetapi mereka masuk dalam keumuman 72 golongan yang sesat."3 Ucapan itu-jika memang benar ucapannya-sebenamya telah menjadi fatwa yang mengerikan bagi kedua jamaah berupa vonis sesat, bahkan lebih dari itu. Sinyalemen Rasulullah Saw bahwa umat ini akan terpecah menjadi73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu alJama 'ah, menunjukkan bahwa golongan yang masuk neraka sebanyak 72 golongan. Jadi, ketika syaikh itu menyebutkan bahwa Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun termasuk 72 golongan tersebut, otomatis kedua jamaah itu termasuk calon penghuni neraka. ltulah pemahaman yang dapat kita tangkap secara sederhana dan mudah. Namun, kami tidak dapat membayangkan jika syaikh itu bermaksud demikian karena ada akibat lain dari ucapan tersebut, yaitu tokoh-tokoh kedua jamaah itu dan pengikut mereka pun termasuk ahli neraka: Hasan al Banna, Sayyid Quthb (yang Syaikh Bin Bazz bela ketika divonis hukuman gantung), Sayyid Sabiq (pengarang Rqhus Sunnah yang terkenal dan bersama Yusuf al Qaradhawy mendapatkan penghargaan King Faishal Award), Abdul Halim Abu Syuqqah (pengarang Tahrirul Mar'ah Li 'Ahdir Risalah), Yusuf al Qaradhawy yang telah Syaikh Bin Bazz puji, dan banyak lagi. Merekalah pembesar Ikhwan yang jamaahnya dikelompokkan ke dalam 72 golongan ahli neraka! Padahal, mereka segolongan 'alim yang terdidik dalam madrasah Ikhwanul Muslimun.
Kami mengira- wallahu a'lam-berita yang diperoleh Syaikh Bin Bazz tentang Ikhwan tidak utuh. Mungkin hanya bisikan berita dari kalangan tertentu di sekelilingnya yang memang antipati terhadap Ikhwan. Seandainya beliau mau mengambil manfaat dari berita yang disampaikan Ikhwan langsung-minimal sebagai pengimbang-niscaya pandangan beliau pasti berbeda. Seandainya benar demikian, yaitu terjadi ketidakutuhan dalam pandangannya, sesungguhnya hukum fatwa yang dikeluarkan seorang mufti yang tidak mengetahui perkaranya dengan jelas dan utuh menjadi batal. Demikian kaidah yang disepakati ulama. Sesungguhnya ulama kecintaan kami, Syaikh al 'Allamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany-semoga Allah Swt me-ridha-'inya pemah berkata, "Ada pun mereka (Jamaah Tabligh) tidak mementingkan, dakwah kepada kitab dan sunah sebagai prinsip pokok. Bahkan, mereka menganggap dakwah tersebut hanya akan membawa perpecahan umat. Keadaan mereka persis seperti yang ada pada jamaah Ikhwanul Muslimun. Mereka mengatakan sesungguhnya dakwah mereka tegak di atas kitab dan sunah, tetapi itu hanya ucapan belaka. Mereka tidak mempunyai akidah (shahihah) yang dapat menyatukan mereka sehingga di dalamnya terdapat aliran al maturidy, asy'ary, sufi, dan ada pula yang tidak bermazhab. Hal itu karena dakwah mereka berdiri di atas prinsip "himpun, kumpulkan, dan didik" meskipun pada hakikatnya mereka tidak berpendidikan sarna sekali.(dakwah mereka, penerj.) telah berlalu lebih dari setengah abad lamanya, tetapi tidak ada seorang 'alim pun muncul dari kalangan mereka."4 Ucapan Syaikh al Albany yang mengatakan bahwa Ikhwan tidak pemah memunculkan ahli ilmu sebagai hasil dari dakwahnya adalah tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya, ulama-ulama dari Ikhwan sangat banyak-tanpa bermaksud berbangga diri. Apakah Syaikh al Albany menganggap Sayyid Sabiq, Yusuf al Qaradhawy (Syaikh sendiri pemah memujinya), Abdul Halim Abu Syuqqah, Manna' Khalil Qattan, Abdullah Nashih 'Ulwan, dan Muhammad al Assai adalah juhala (orang-orang bodoh)?
Syaikh yang mulia Rabi' bin Hadi-hafizhahullah wa ghafarahullah pemah mencela Ikhwan dengan perkataan, "Sebenamya dakwah Ikhwanul Muslimun didasarkan pada manhaj orang kafir Barat yang dibungkus dengan pakaian Islam."5
2 Rasulullah Saw memprediksikan perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan dan golongan yang masuk surga hanya satu, yaitu al Jama 'ah-artinya segala yang aku (Nabi Saw) dan sahabatku ada di atasnya. Adapun 72 golongan lainnya masuk neraka. Hadis itu diriwayatkan Imam Ahmad dan Imam Abu Daud. Imam Hakim men-shahihkannya menurut syarat Imam Muslim dan disepakati Imam adz Dzahabi. Syaikh Albany men-shahih-kan hadis itu, sedangkan Imam Bukhari dan Imam Muslim tidak mengeluarkan hadis itu dalam kitab Shahihain mereka padahal masalahnya penting" Hal itu menunjukkan Imam Syaikhan (Bukhari-Muslim) meragukan kesahihan hadis.hadis itu. Bahkan, Imam Ibnu Wazir menganggapnya batil, tidak benar, dan merupakan rekayasa orang-orang mulht:l (atheis). Ibnu Hazm menilainya sebagai hadis palsu. Adapun Imam Ibnu Taimiyah men-shahihbn hadits itu dan Ibnu Hajar meng-hasan-kannya (Lihat dalam Fiqhul Ikhtilaf, hIm. 50-56 dan Seleksi Hadits-Hadits Shahih tentang Targhib dan Tarhib, hlm. 120. Keduanya karya Yusuf al Qaradhawy).
Ketika ditanya lagi, syaikh itu menegaskan, "Ya, keduanya masuk ke dalam 72 golongan beserta murji'ah dan golongan lainnya. Murji'ah dan khawarij-khusus khawarij menurut sebagian Ahlul 'ilmi telah keluar dari golongan orang-orang kafir, tetapi mereka masuk dalam keumuman 72 golongan yang sesat."3 Ucapan itu-jika memang benar ucapannya-sebenamya telah menjadi fatwa yang mengerikan bagi kedua jamaah berupa vonis sesat, bahkan lebih dari itu. Sinyalemen Rasulullah Saw bahwa umat ini akan terpecah menjadi73 golongan dan semuanya masuk neraka kecuali satu golongan, yaitu alJama 'ah, menunjukkan bahwa golongan yang masuk neraka sebanyak 72 golongan. Jadi, ketika syaikh itu menyebutkan bahwa Jamaah Tabligh dan Ikhwanul Muslimun termasuk 72 golongan tersebut, otomatis kedua jamaah itu termasuk calon penghuni neraka. ltulah pemahaman yang dapat kita tangkap secara sederhana dan mudah. Namun, kami tidak dapat membayangkan jika syaikh itu bermaksud demikian karena ada akibat lain dari ucapan tersebut, yaitu tokoh-tokoh kedua jamaah itu dan pengikut mereka pun termasuk ahli neraka: Hasan al Banna, Sayyid Quthb (yang Syaikh Bin Bazz bela ketika divonis hukuman gantung), Sayyid Sabiq (pengarang Rqhus Sunnah yang terkenal dan bersama Yusuf al Qaradhawy mendapatkan penghargaan King Faishal Award), Abdul Halim Abu Syuqqah (pengarang Tahrirul Mar'ah Li 'Ahdir Risalah), Yusuf al Qaradhawy yang telah Syaikh Bin Bazz puji, dan banyak lagi. Merekalah pembesar Ikhwan yang jamaahnya dikelompokkan ke dalam 72 golongan ahli neraka! Padahal, mereka segolongan 'alim yang terdidik dalam madrasah Ikhwanul Muslimun.
Kami mengira- wallahu a'lam-berita yang diperoleh Syaikh Bin Bazz tentang Ikhwan tidak utuh. Mungkin hanya bisikan berita dari kalangan tertentu di sekelilingnya yang memang antipati terhadap Ikhwan. Seandainya beliau mau mengambil manfaat dari berita yang disampaikan Ikhwan langsung-minimal sebagai pengimbang-niscaya pandangan beliau pasti berbeda. Seandainya benar demikian, yaitu terjadi ketidakutuhan dalam pandangannya, sesungguhnya hukum fatwa yang dikeluarkan seorang mufti yang tidak mengetahui perkaranya dengan jelas dan utuh menjadi batal. Demikian kaidah yang disepakati ulama. Sesungguhnya ulama kecintaan kami, Syaikh al 'Allamah al Muhaddits Muhammad Nashiruddin al Albany-semoga Allah Swt me-ridha-'inya pemah berkata, "Ada pun mereka (Jamaah Tabligh) tidak mementingkan, dakwah kepada kitab dan sunah sebagai prinsip pokok. Bahkan, mereka menganggap dakwah tersebut hanya akan membawa perpecahan umat. Keadaan mereka persis seperti yang ada pada jamaah Ikhwanul Muslimun. Mereka mengatakan sesungguhnya dakwah mereka tegak di atas kitab dan sunah, tetapi itu hanya ucapan belaka. Mereka tidak mempunyai akidah (shahihah) yang dapat menyatukan mereka sehingga di dalamnya terdapat aliran al maturidy, asy'ary, sufi, dan ada pula yang tidak bermazhab. Hal itu karena dakwah mereka berdiri di atas prinsip "himpun, kumpulkan, dan didik" meskipun pada hakikatnya mereka tidak berpendidikan sarna sekali.(dakwah mereka, penerj.) telah berlalu lebih dari setengah abad lamanya, tetapi tidak ada seorang 'alim pun muncul dari kalangan mereka."4 Ucapan Syaikh al Albany yang mengatakan bahwa Ikhwan tidak pemah memunculkan ahli ilmu sebagai hasil dari dakwahnya adalah tidak sesuai dengan kenyataan. Sesungguhnya, ulama-ulama dari Ikhwan sangat banyak-tanpa bermaksud berbangga diri. Apakah Syaikh al Albany menganggap Sayyid Sabiq, Yusuf al Qaradhawy (Syaikh sendiri pemah memujinya), Abdul Halim Abu Syuqqah, Manna' Khalil Qattan, Abdullah Nashih 'Ulwan, dan Muhammad al Assai adalah juhala (orang-orang bodoh)?
Syaikh yang mulia Rabi' bin Hadi-hafizhahullah wa ghafarahullah pemah mencela Ikhwan dengan perkataan, "Sebenamya dakwah Ikhwanul Muslimun didasarkan pada manhaj orang kafir Barat yang dibungkus dengan pakaian Islam."5
3 Rabi' bin Hadi al Madkhaly, Fatwa Ulama Seputar Jama'ah Tabligh, hIm. 20-21.
4 Ibid him. 30-31
5 Rabi' bin Hadi al Madkhaly, Kekeliruan Pemikiran Sayyid Quthb, hlm. 177. 6 Ibid. him. 176-177. Uhat catatan kaki no. 39.
4 Ibid him. 30-31
5 Rabi' bin Hadi al Madkhaly, Kekeliruan Pemikiran Sayyid Quthb, hlm. 177. 6 Ibid. him. 176-177. Uhat catatan kaki no. 39.
Ia mengomentari
dakwah Ikhwan di berbagai negara dengan sinis, "Sekarang muncul berhala-berhala
yang lebih zalim dan lebih sewenang-wenang yang tidak ada tandingannya di Mesir,
Irak, Syam, Libya, Yaman, Sudan, dan negeri lain. ltu semua merupakan hasil dari
seruan Ikhwan. Oengan hasil yang mereka peroleh sekarang, mereka masih menuntut
lebih hingga akhimya mereka akan membunuh Islam dengan Islam itu sendiri.
Masih banyak lagi celaan terhadap Ikhwan darinya. Kami anggap hal
itu sebagai
celaan dan bukan kritikan karena kritikan memiliki kaidah, sedangkan ruh
yang
ada di dalam ucapan itu adalah ruh amarah. Sungguh, para berhala yang
dimaksud-yaitu para thawaghit (tiranik)-lebih cocok ditujukan kepada
orang-orang
yang memberangus Ikhwan di negeri-negeri mereka dan itu sudah amat
masyhur.
Bagaimana mungkin Syaikh Rabi' menganggap para tiranik itu dampak dari
keberadaan dakwah Ikhwan? Lebih baik seorang yang 'alim dalam iImu agama
membela
saudaranya yang dizalimi dan mencegah para pelaku kezaliman dari
perbuatan
zalim dan bukan berbuat zalim pula dengan tidak menghargai, bahkan
mencela upaya
dakwah saudaranya.Lebih baik lagi jika Rabi' atau siapa pun bersikap
adil dan seimbang dalam
menilai seseorang atau suatu jamaah. Imam Ibnul Qayyim dalam Madarijus
Salikin
telah memberikan koreksi atas kesalahan Syaikhul Islam Ismail al Harawi
dalam
buku Manazil Sairin. Namun, Ibnul Qayyim tetap memberikan pujian pada
kedudukan Syaikhul Islam alHarawi dan manfaat yang didapat dari
karyanya. Ibnu Taimiyah mengkritik Imam al Ghazaly lantaran karyanya al
Ihya' amat banyak
disusupi syubhat dalam masalah akidah dan perkataan para filsuf. Namun,
Ibnu
Taimiyah mengatakan bahwa manfaat dari buku itu lebih banyak
dibandingkan jika
buku itu ditolak. Demikianlah sikap adil yang kami maksud, yaitu tidak
melupakan
kebaikan yang telah ada pada seseorang walau orang tersebut berbuat
kesalahan.
Adakah Syaikh Rabi' mau melihat kebaikan yang ada pada Ikhwan? Jika
masih
menganggap "Kebaikan ahIi bid'ah jangan dipandang" , sungguh itu adalah
ucapan
yang benar, tetapi tidak pada tempatnya. Ikhwan bukanlah ahIi bid'ah.
Mereka
hanyalah manusia yang ber-ijtihad seperti Anda ber-ijtihad Lain halnya
jika
Syaikh Rabi' yakin dengan pendiriannya bahwa Ikhwan dan para tokohnya
adalah
ahli bid'ah sehingga sia-sialah semua nasihat ini.
Seandainya manusia mau menuangkan jasa-jasa Ikhwan dalam bentuk tuIisan, niscaya dibutuhkan berjilid-jilid buku. Berkata Syaikh Manna' Khalil al Qattan,7 "Gerakan Ikhwanul Muslimun yang didirikan asy Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini tanpa diragukan lagi. Tidak seorang pun dari lawan-Iawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam.
Bersama gerakan ini, segenap potensi pemuda Islam ditumpahkan untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimat-Nya, membangun kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap jamaah ini, pengaruh intelektualitasnya tidak dapat diingkari siapa pun."8
Seandainya manusia mau menuangkan jasa-jasa Ikhwan dalam bentuk tuIisan, niscaya dibutuhkan berjilid-jilid buku. Berkata Syaikh Manna' Khalil al Qattan,7 "Gerakan Ikhwanul Muslimun yang didirikan asy Syahid Hasan al Banna dipandang sebagai gerakan keislaman terbesar masa kini tanpa diragukan lagi. Tidak seorang pun dari lawan-Iawannya dapat mengingkari jasa gerakan ini dalam membangkitkan kesadaran di seluruh dunia Islam.
Bersama gerakan ini, segenap potensi pemuda Islam ditumpahkan untuk berkhidmat kepada Islam, menjunjung syariatnya, meninggikan kalimat-Nya, membangun kejayaannya, dan mengembalikan kekuasaannya. Apapun yang dikatakan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi terhadap jamaah ini, pengaruh intelektualitasnya tidak dapat diingkari siapa pun."8
7 Befiau adalah ulama temama, mantan Ketua Mahkamah Tinggi di Riyadh, staf
pengajar di Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh. Ia pun seorang
tokoh Ikhwanul Muslimun.
8 Manna Khalil al Qattan, Studi Dmu-Dmu al Qur'an, hIm. 506.
Kepada para pencela Ikhwan, Yusuf alQaradhawy-hafizhahullah berkata, "Dalam sejarah modem, tidak dikenal kelompok yang dizalimi dan didera tuduhan seperti yang dialami kelompok Ikhwan. Mereka dizalimi seperti kezaliman yang dialami Husein, cucu Nabi Saw. Hal yang mengherankan bagi pengamat perjalanan Ikhwan adalah mereka dituduh dengan tuduhan yang kontradiktif pada saat yang sarna. Satu pihak menuduhnya dengan suatu tuduhan, sedangkan pihak lain menuduh dengan tuduhan kebalikannya. Dengan sendirinya tuduhan-tuduhan itu menjadi lemah dan tidak memiliki makna. Di sana terdapat kelompok yang menamakan dirinya kelompok progresif dan menuduh Al Ikhwan sebagai gerakan reaksioner dan jumud, kembali ke belakang, dan konservatif. Bahkan, di antara penulis muslim pun ada yang memandang Ikhwan dengan sinis sebagai gerakan set back setelah masa Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh yang. mempunyai kecenderungan konservatif dan kaku.
8 Manna Khalil al Qattan, Studi Dmu-Dmu al Qur'an, hIm. 506.
Kepada para pencela Ikhwan, Yusuf alQaradhawy-hafizhahullah berkata, "Dalam sejarah modem, tidak dikenal kelompok yang dizalimi dan didera tuduhan seperti yang dialami kelompok Ikhwan. Mereka dizalimi seperti kezaliman yang dialami Husein, cucu Nabi Saw. Hal yang mengherankan bagi pengamat perjalanan Ikhwan adalah mereka dituduh dengan tuduhan yang kontradiktif pada saat yang sarna. Satu pihak menuduhnya dengan suatu tuduhan, sedangkan pihak lain menuduh dengan tuduhan kebalikannya. Dengan sendirinya tuduhan-tuduhan itu menjadi lemah dan tidak memiliki makna. Di sana terdapat kelompok yang menamakan dirinya kelompok progresif dan menuduh Al Ikhwan sebagai gerakan reaksioner dan jumud, kembali ke belakang, dan konservatif. Bahkan, di antara penulis muslim pun ada yang memandang Ikhwan dengan sinis sebagai gerakan set back setelah masa Jamaluddin al Afghani dan Muhammad Abduh yang. mempunyai kecenderungan konservatif dan kaku.
Pada saat yang bersamaan, ada segolongan pengikut paham agama yang melontarkan
kecaman bahwa Ikhwan terlalu longgar dalam memahami agama dan mengikuti tuntutan
zaman. Sebagian mereka mengecam karena Ikhwan membuka lebar-lebar pintu ijtihad
dan keluar dari mengikuti mazhab serta memegang sebagian besar pendapat baru9 Di sana ada pula. kelompok
sufi yang memandang Ikhwan adalah penjelmaan paham Wahabi dan pengikut Ibnu
Taimiyah dan Ibnul Qayyim (AI Imamain). Dengan kata lain, Ikhwan dipandang
sebagai gerakan salafiyun yang menjadi musuh utama bagi tasawuf dan penganutnya.
Sementara itu, ada kelompok yang menamakan diri mereka salafiyun dan memandang
Ikhwan sebagai kelompok thariqat sufi dan menggolongkannya sebagai kelompok
Quburi (penyembah kubur, peny) Hal itu, didasari bahwa al Banna tumbuh dalam
suasana yang sarat nuansa sufi di samping pandangannya bahwa tawassul masuk
dalam persoalan khilafiyah-perbedaan pendapat dalam tata cara berdoa dan bukan
masalah akidah."10
Terakhir beliau berkata, Itulah perlakuan yang dialami umat poros tengah atau
kelompok tengah dan pemikiran poros tengah yang senantiasa dicela dari dua sisi
yanb berlawanan: pihak yang keras dan pihak yang lunak
9 Sebaliknya, kalangan salaliyun progresif menuduh Ikhwan menutup pintu ijtihad Liha al Furqan edisi 1011 Jumadil VIa 1423 HI hIm. 2, kol. 2..
10 Yusuf al Qaradhawy, 70 T ahun AI Ikhwan AI Muslimun, hIm. 205-206.
9 Sebaliknya, kalangan salaliyun progresif menuduh Ikhwan menutup pintu ijtihad Liha al Furqan edisi 1011 Jumadil VIa 1423 HI hIm. 2, kol. 2..
10 Yusuf al Qaradhawy, 70 T ahun AI Ikhwan AI Muslimun, hIm. 205-206.
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com