Tidak kurang dari enam hari pasca aksi pembakaran diri seorang pemuda Tunisia tidak ada seorangpun yang membayangkan pemerintahan 23 tahun Presiden Zine El Abidine Ben Ali akhirnya tumbang akibat demonstrasi rakyat Tunisia. Mantan Presiden Ben Ali akhirnya terpaksa melarikan diri ke Arab Saudi sebagai ibu dari negara-negara diktator di Timur Tengah. Ben Ali memilih Arab Saudi setelah negara-negara Barat yang sebelum ini menjadi pelindungnya menolak memberikan suaka politik kepadanya.
Apa yang terjadi di Tunisia tidak pernah dibayangkan oleh rakyat Tunisia. Namun kegembiraan mereka dapat ditemukan dari wajah-wajah mereka yang lalu lalang dan melakukan demonstrasi di jalan-jalan. Akan tetapi satu hal yang paling penting adalah substansi gerakan revolusioner rakyat Tunisia dan nasibnya.
Tunisia sebagai persimpangan besar Eropa dan Afrika sebelumnya adalah jajahan Perancis dan dianggap sebagai milik nenek moyang Prancis. Bukan tanpa alasan ketika seorang mahasiswa Universitas Sorbonne yang juga sempat mengenyam pendidikan militer 24 tahun lalu melakukan kudeta di Tunisia dan akhirnya menjabat sebagai Presiden Tunisia selama 23 tahun. Benar, pemuda itu adalah Zine El Abidine Ben Ali. Ia memerintah dengan cara kekuasaan negara-negara pro-Barat seperti Mesir, Yordania, Libya dan Irak di masa itu.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di tengah keluarga besar Ben Ali dan isterinya Leila Trabelsi menjadi penyebab utama tumbangnya pemerintahan rapuh Ben Ali. Apa yang dilakukan rakyat Tunisia merupakan sebuah gerakan rakyat dan spontan. Namun tampaknya tuntutan rakyat Tunisia tidak disukai oleh Barat. Sikap yang ditunjukkan rezim Zionis Israel menunjukkan demikian. Israel mengkhawatirkan meluasnya kesadaran Islam yang terjadi di Tunisia ke seluruh negara di Timur Tengah.
Kekhawatiran yang muncul dari langkah pertama pasca kaburnya Ben Ali dari Tunisia adalah aksi rakyat revolusioner Tunisia menayangkan suara azan di televisi-televisi Tunisia. Langkah yang selama ini dilarang di Tunisia dan berdasarkan alasan orang-orang dekat Ben Ali ucapan azan mengakibatkan polusi suara di Tunisia.
Namun apa yang membuat kemungkinan munculnya sebuah pemerintahan Islami di Tunisia adalah pernyataan kesiapan seorang ulama dan pejuang lama Sheikh Rashid al-Ghannushi untuk kembali ke Tunisia. Tampaknya kehadiran Sheikh Rashid al-Ghannushi bakal menjadi tonggak terbentuknya pemerintahan Islami di Tunisia.
Siapa Sheikh Rashid al-Ghannushi?
Sheikh Rashid al-Ghannushi adalah seorang ulama pejuang dan revolusioner Tunisia. Pengaruh pemikiran Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna, membuatnya bersama Omar al-Bashir, Presiden Sudan menjadi dua tokoh Ikhwanul Muslimin di utara Afrika dan Tunisia. Sheikh Rashid al-Ghannushi merupakan segelintir penulis dan pemikir Arab yang yang menulis tentang pribadi Imam Khomeini ra pasca kemenangan Revolusi Islam Iran. Sheikh al-Ghannushi memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusioner Iran di awal-awal revolusi.
Sheikh al-Ghannushi kemudian membentuk sebuah gerakan di Tunisia bernama ‘al-Nahdhah' yang pada akhirnya dikenal dengan ‘al-Ittijah al-Islamiyah'. Gerakan yang dibentuknya ini fokus di Universitas al-Zaytoonah guna menghadapi Presiden Tunisia waktu itu, Habib Bourguiba dan kebijakan sekularismenya. Akibat aktivitasnya ini, Presiden Bourguiba memerintahkan Sheikh al-Ghannushi untuk ditahan. Patut diketahui bahwa gerakan ‘al-Nahdhah' punya peran penting menggoncang kekuasaan dan melengserkan kekuasaan Habib Bourguiba.
Pemerintah Bourguiba pada tahun 1986 menjadikan Sheikh Rashid al-Ghannushi sebagai tahanan rumah. Sementara sejumlah tokoh asli gerakan al-Nahdhah ditangkap dan diserahkan kepada pengadilan. Konflik di antara pasukan pemerintah dan pendukung gerakan al-Nahdhah tidak dapat dihindarkan dan semakin meningkat. Akhirnya pada Maret 1987 pasukan keamanan pemerintah menangkap Sheikh Rashid al-Ghannushi, para pemimpin dan anggota gerakan al-Nahdhah.
Krisis di Tunisia mencapai puncaknya. Pada bulan April dan Mei 1987, terjadi aksi pemogokan dan juga kekerasan antara mahasiswa dan pihak keamanan baik di lingkungan universitas maupun di jalan-jalan.
Pemerintah senantiasa menyebut apa yang terjadi adalah aksi perusakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrim setelah mendapat perintah dari pihak asing, khususnya para pemimpin al-Ittijah al-Islamiyah yang melakukan kerjasama dengan pemerintah Iran dan berkonspirasi untuk mengekspor Revolusi Islam ke Tunisia guna menumbangkan pemerintah Tunisia.
Kudeta Jenderal Zine El Abidine Ben Ali pada 7 November 1987 menghasilkan perubahan di Tunisia. Dibentuk pemerintahan baru dan pembersihan anasir-anasir Bourguiba pihak militer melakukan langkah-langkah baru dengan membebaskan para tahanan politik. Mayoritas para tahanan politik ini berasal dari para pejuang Islam.
Pembebasan Sheikh Rashid al-Ghannushi pada Mei 1988 menciptakan situasi yang positif di Tunisia. Karena gerakan al-Ittijah al-Islamiyah menyatakan dukungannya terhadap pemerintah. Dampaknya adalah ketenangan telah kembali ke negara ini dan rakyat tidak lagi melakukan aksi protes terhadap pemerintah seperti sebelumnya.
Akan tetapi perbedaan politik antara gerakan keislaman dan pihak militer yang baru berkuasa bernasib sama dengan yang terjadi di Mesir. Gerakan al-Ittijah al-Islamiyah pada akhirnya dilarang oleh pemerintah untuk melakukan aktivitasnya di Tunisia.
Prinsip-prinsip gerakan al-Ittijah al-Islamiyah secara transparan dipublikasikan pada 6 Juni 1981 dan yang terpenting adalah menolak sekularisme, hubungan dengan seluruh umat Islam sedunia, tidak mengakui etnis Arab, pembebasan Palestina lewat pembebasan negara-negara Arab dari cengkeraman imperialisme dan menciptakan organisasi yang memuat kepentingan rakyat.
Sheikh Al-Ghannushi Mengakhiri Krisis Pemimpin Revolusi Tunisia
Hingga saat ini mayoritas pengamat politik menilai masa depan revolusi rakyat Tunisia masih kabur dikarenakan tidak memiliki seorang pemimpin. Namun tampaknya berita kesiapan Sheikh Rashid al-Ghannushi untuk kembali ke Tunisia dapat memberikan pengaruh penting bagi masa depan negara ini.
Ini karena Sheikh Rashid al-Ghannushi hingga saat ini masih memiliki basis rakyat yang kuat. Kepada AFP Sheikh al-Ghannushi mengatakan kemungkinan dibentuknya pemerintahan persatuan nasional di Tunisia setelah melewati proses yang panjang. IRIB/SL
Apa yang terjadi di Tunisia tidak pernah dibayangkan oleh rakyat Tunisia. Namun kegembiraan mereka dapat ditemukan dari wajah-wajah mereka yang lalu lalang dan melakukan demonstrasi di jalan-jalan. Akan tetapi satu hal yang paling penting adalah substansi gerakan revolusioner rakyat Tunisia dan nasibnya.
Tunisia sebagai persimpangan besar Eropa dan Afrika sebelumnya adalah jajahan Perancis dan dianggap sebagai milik nenek moyang Prancis. Bukan tanpa alasan ketika seorang mahasiswa Universitas Sorbonne yang juga sempat mengenyam pendidikan militer 24 tahun lalu melakukan kudeta di Tunisia dan akhirnya menjabat sebagai Presiden Tunisia selama 23 tahun. Benar, pemuda itu adalah Zine El Abidine Ben Ali. Ia memerintah dengan cara kekuasaan negara-negara pro-Barat seperti Mesir, Yordania, Libya dan Irak di masa itu.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di tengah keluarga besar Ben Ali dan isterinya Leila Trabelsi menjadi penyebab utama tumbangnya pemerintahan rapuh Ben Ali. Apa yang dilakukan rakyat Tunisia merupakan sebuah gerakan rakyat dan spontan. Namun tampaknya tuntutan rakyat Tunisia tidak disukai oleh Barat. Sikap yang ditunjukkan rezim Zionis Israel menunjukkan demikian. Israel mengkhawatirkan meluasnya kesadaran Islam yang terjadi di Tunisia ke seluruh negara di Timur Tengah.
Kekhawatiran yang muncul dari langkah pertama pasca kaburnya Ben Ali dari Tunisia adalah aksi rakyat revolusioner Tunisia menayangkan suara azan di televisi-televisi Tunisia. Langkah yang selama ini dilarang di Tunisia dan berdasarkan alasan orang-orang dekat Ben Ali ucapan azan mengakibatkan polusi suara di Tunisia.
Namun apa yang membuat kemungkinan munculnya sebuah pemerintahan Islami di Tunisia adalah pernyataan kesiapan seorang ulama dan pejuang lama Sheikh Rashid al-Ghannushi untuk kembali ke Tunisia. Tampaknya kehadiran Sheikh Rashid al-Ghannushi bakal menjadi tonggak terbentuknya pemerintahan Islami di Tunisia.
Siapa Sheikh Rashid al-Ghannushi?
Sheikh Rashid al-Ghannushi adalah seorang ulama pejuang dan revolusioner Tunisia. Pengaruh pemikiran Sayyid Qutb dan Hasan al-Banna, membuatnya bersama Omar al-Bashir, Presiden Sudan menjadi dua tokoh Ikhwanul Muslimin di utara Afrika dan Tunisia. Sheikh Rashid al-Ghannushi merupakan segelintir penulis dan pemikir Arab yang yang menulis tentang pribadi Imam Khomeini ra pasca kemenangan Revolusi Islam Iran. Sheikh al-Ghannushi memiliki hubungan erat dengan tokoh-tokoh revolusioner Iran di awal-awal revolusi.
Sheikh al-Ghannushi kemudian membentuk sebuah gerakan di Tunisia bernama ‘al-Nahdhah' yang pada akhirnya dikenal dengan ‘al-Ittijah al-Islamiyah'. Gerakan yang dibentuknya ini fokus di Universitas al-Zaytoonah guna menghadapi Presiden Tunisia waktu itu, Habib Bourguiba dan kebijakan sekularismenya. Akibat aktivitasnya ini, Presiden Bourguiba memerintahkan Sheikh al-Ghannushi untuk ditahan. Patut diketahui bahwa gerakan ‘al-Nahdhah' punya peran penting menggoncang kekuasaan dan melengserkan kekuasaan Habib Bourguiba.
Pemerintah Bourguiba pada tahun 1986 menjadikan Sheikh Rashid al-Ghannushi sebagai tahanan rumah. Sementara sejumlah tokoh asli gerakan al-Nahdhah ditangkap dan diserahkan kepada pengadilan. Konflik di antara pasukan pemerintah dan pendukung gerakan al-Nahdhah tidak dapat dihindarkan dan semakin meningkat. Akhirnya pada Maret 1987 pasukan keamanan pemerintah menangkap Sheikh Rashid al-Ghannushi, para pemimpin dan anggota gerakan al-Nahdhah.
Krisis di Tunisia mencapai puncaknya. Pada bulan April dan Mei 1987, terjadi aksi pemogokan dan juga kekerasan antara mahasiswa dan pihak keamanan baik di lingkungan universitas maupun di jalan-jalan.
Pemerintah senantiasa menyebut apa yang terjadi adalah aksi perusakan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok ekstrim setelah mendapat perintah dari pihak asing, khususnya para pemimpin al-Ittijah al-Islamiyah yang melakukan kerjasama dengan pemerintah Iran dan berkonspirasi untuk mengekspor Revolusi Islam ke Tunisia guna menumbangkan pemerintah Tunisia.
Kudeta Jenderal Zine El Abidine Ben Ali pada 7 November 1987 menghasilkan perubahan di Tunisia. Dibentuk pemerintahan baru dan pembersihan anasir-anasir Bourguiba pihak militer melakukan langkah-langkah baru dengan membebaskan para tahanan politik. Mayoritas para tahanan politik ini berasal dari para pejuang Islam.
Pembebasan Sheikh Rashid al-Ghannushi pada Mei 1988 menciptakan situasi yang positif di Tunisia. Karena gerakan al-Ittijah al-Islamiyah menyatakan dukungannya terhadap pemerintah. Dampaknya adalah ketenangan telah kembali ke negara ini dan rakyat tidak lagi melakukan aksi protes terhadap pemerintah seperti sebelumnya.
Akan tetapi perbedaan politik antara gerakan keislaman dan pihak militer yang baru berkuasa bernasib sama dengan yang terjadi di Mesir. Gerakan al-Ittijah al-Islamiyah pada akhirnya dilarang oleh pemerintah untuk melakukan aktivitasnya di Tunisia.
Prinsip-prinsip gerakan al-Ittijah al-Islamiyah secara transparan dipublikasikan pada 6 Juni 1981 dan yang terpenting adalah menolak sekularisme, hubungan dengan seluruh umat Islam sedunia, tidak mengakui etnis Arab, pembebasan Palestina lewat pembebasan negara-negara Arab dari cengkeraman imperialisme dan menciptakan organisasi yang memuat kepentingan rakyat.
Sheikh Al-Ghannushi Mengakhiri Krisis Pemimpin Revolusi Tunisia
Hingga saat ini mayoritas pengamat politik menilai masa depan revolusi rakyat Tunisia masih kabur dikarenakan tidak memiliki seorang pemimpin. Namun tampaknya berita kesiapan Sheikh Rashid al-Ghannushi untuk kembali ke Tunisia dapat memberikan pengaruh penting bagi masa depan negara ini.
Ini karena Sheikh Rashid al-Ghannushi hingga saat ini masih memiliki basis rakyat yang kuat. Kepada AFP Sheikh al-Ghannushi mengatakan kemungkinan dibentuknya pemerintahan persatuan nasional di Tunisia setelah melewati proses yang panjang. IRIB/SL
REPUBLIKA.CO.ID
إرسال تعليق
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com