Dia adalah isteri yang paling dicintai di antara
isteri-isteri beliau yang lainnya. Dia adalah wanita yang dibebaskan
oleh Allah dari berita bohong yang menimpanya dengan wahyu yang
diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Dia banyak
menghafal hadits, dan termasuk wanita yang paling pandai. Pada suatu
hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengabarkan kepadanya,
bahwa Malaikat Jibril Alaihissallam menitip salam kepadanya.
Pada
saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia, ia
berusia delapan belas tahun. Dikabarkan bahwa ia adalah wanita termulia
dan akan menjadi isteri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di
surga. ‘Aisyah wafat pada tahun 58 Hijriyyah dalam usia 67 tahun, dan
dikuburkan di pemakaman Baqi’.[1]
TAKHRIJUL-HADITS
1. Shahih al Bukhari, kitab ash-Shulhi, bab Idzas Tholahu ‘ala Shulhi Jaurin, no. 2550.
2. Shahih Muslim, kitab al Aqhdiyah, bab Naqdhil-Ahkamil Bathilah wa Raddi Muhdatsatil-Umur (no. 1718 (17, 18).
3. Sunan Abi Dawud, kitab as-Sunnah, bab Fi Luzumis-Sunnah, no. 4606.
4. Sunan Ibni Majah dalam al Muqaddimah, no. 14.
5. Musnad Imam Ahmad (VI/73, 146, 180, 240, 256, 270).
6. Shahih Ibni Hibban, no. 26 dan 27.
AHAMMIYATUL HADITS (URGENSI HADITS)
Imam an-Nawawi (wafat tahun 676 H) t berkata,”Hadits ini perlu dihafal dan dijadikan dalil untuk menolak segala kemunkaran.”
Ibnu
Daqiqil-‘Id (wafat tahun 702 H) rahimahullah berkata,”Hadits ini adalah
salah satu pedoman penting dalam agama Islam, yang merupakan jawami’ul
kalim (kalimat yang pendek namun penuh arti) yang dikaruniakan kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Hadits ini dengan tegas menolak
setiap perkara bid’ah, dan setiap perkara (dalam urusan agama) yang
direkayasa. Sebagian ahli ushul fiqih menjadikan hadits ini sebagai
dasar kaidah, bahwa setiap yang terlarang dinyatakan sebagai hal yang
merusak.”[2]
Ibnu Rajab al Hanbali (wafat tahun 795 H)
rahimahullah berkata,”Hadits ini adalah salah satu prinsip dasar yang
agung dari prinsip-prinsip dasar Islam, dan menjadi barometer dari
setiap amal perbuatan yang zhahir (terlihat). Sebagaimana
hadits,’Innamal-a’malu binniyat…(sesungguhnya seluruh amal perbuatan
tergantung dengan niatnya…)’. merupakan barometer dari setiap perbuatan
dari segi batin (niat)”.
Sesungguhnya setiap amal perbuatan yang
tidak ditujukan untuk mencari ridha Allah, maka amal tersebut tidak
berpahala. Demikian pula halnya dengan segala amal perbuatan yang tidak
atas dasar perintah Allah dan Rasul-Nya juga tertolak dari pelakunya.
Siapa saja yang menciptakan hal-hal baru dalam agama yang tidak
diizinkan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka bukanlah termasuk perkara agama
sedikit pun. [3]
Al Hafizh Ibnu Hajar al ‘Asqalani rahimahullah
berkata,”Hadits ini termasuk bagian dari prinsip-prinsip dasar Islam dan
merupakan satu kaidah dari kaidah-kaidah Islam.”[4]
FIQHUL HADITS (KANDUNGAN HADITS)
1.
Pelaksanaan Syari’at Islam Harus Dilakukan Dengan Cara Ittiba’
(Mengikuti), Bukan Ibtida’ (Mengada-ngada). Melalui hadits ini
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjaga kemurnian Islam dari
tangan orang-orang yang melampaui batas. Hadits ini merupakan jawami’ul
kalim (kalimat singkat namun penuh makna), yang mengacu pada berbagai
nash al Qur`an yang menyatakan, bahwa keselamatan seseorang hanya akan
diraih dengan mengikuti petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam , tanpa menambah ataupun mengurangi, sebagaimana disebutkan dalam
firman Allah:
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ
فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah (wahai Muhammad): “Jika kalian
semua mencintai Allah, maka ikutilah aku; tentu Allah akan mencintai
kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian, Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. [Ali ‘Imran/3:31].Juga firman-Nya:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
Barangsiapa
mencari agama selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan
diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. [Ali ‘Imran/3:85]Juga dalam firman-Nya,
وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
Dan
sesungguhnya ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah, dan
janganlah kalian mengikuti jalan-jalan (yang sesat) karena dapat
mencerai-beraikan kalian dari jalan-Ku. [al An’am/6:153].Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Shahihnya bahwa dalam khutbahnya, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ
أَصْدَقَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم وَشَرَّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا
وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ.
Sebaik-baik
ucapan adalah Kitabullah (al Qur`an) dan sebaik-baik petunjuk adalah
petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Seburuk-buruk
perkara adalah yang dibuat-buat, dan semua yang dibuat-buat adalah
bid’ah, sedangkan semua bid’ah adalah sesat.Dalam riwayat al Baihaqi dan an-Nasa-i terdapat tambahan:
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Dan semua kesesatan masuk neraka.2.
Berbagai Perbuatan Yang Tertolak. Hadits ini merupakan dasar yang
jelas, bahwa semua perbuatan yang tidak didasari oleh perintah syari’at
adalah tertolak. Hadits ini juga menunjukkan, bahwa semua perbuatan—baik
yang berhubungan dengan perintah maupun larangan—terikat dengan hukum
syari’at. Karenanya, sungguh sangat sesat perbuatan yang keluar dari
ketentuan syari’at; seolah-olah perbuatanlah yang menghukumi syari’at,
dan bukan syari’at yang menghukumi perbuatan. Oleh karena itu, setiap
muslim wajib menyatakan, perbuatan-perbuatan yang ada di luar ketentuan
syari’at adalah bathil dan tertolak.
Perbuatan-perbuatan yang ada
di luar ketentuan syari’at ini terbagi dua. Pertama, dalam masalah
ibadah. Kedua, dalam masalah mu’amalah.
Pertama : Dalam masalah
ibadah. Hukum asal ibadah, pada asalnya adalah dilarang, kecuali yang
dicontohkan oleh syari’at. Setiap orang yang mendekatkan diri kepada
Allah Ta’ala dengan suatu ibadah, maka harus ada dalil shahih yang
menunjukkan disyari’atkannya ibadah tersebut. Jika ibadah yang dilakukan
seseorang keluar dari hukum syari’at, maka perbuatan tersebut tertolak.
Ini masuk dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
أَمْ لَهُمْ شُرَكَاءُ شَرَعُوا لَهُمْ مِنَ الدِّينِ مَا لَمْ يَأْذَنْ بِهِ اللَّهُ
Apakah
mereka mempunyai sekutu selain Allah yang menetapkan aturan agama bagi
mereka yang tidak diizinkan (diridhai) Allah? [asy-Syura/42:21].Contohnya,
mendekatkan diri kepada Allah dengan mendengar nyanyian, menari,
melihat wanita, atau berbagai perbuatan lainnya yang tidak berdasar pada
syari’at. Mereka inilah orang-orang yang dibutakan hatinya oleh Allah,
sehingga tidak bisa melihat kebenaran; bahkan kemudian selalu mengikuti
langkah-langkah setan. Mereka mengklaim, bahwa mereka bisa mendekatkan
diri kepada Allah melalui kesesatan yang mereka ada-adakan.
Mereka
ini, tidak jauh berbeda dengan orang-orang Arab Jahiliyah yang
menciptakan satu bentuk ibadah dan pendekatan diri kepada Allah,
sedangkan Allah tidak menurunkan hujjah (ilmu) atasnya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman:
وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمْ عِنْدَ الْبَيْتِ إِلَّا مُكَاءً وَتَصْدِيَةً ۚ فَذُوقُوا الْعَذَابَ بِمَا كُنْتُمْ تَكْفُرُونَ
Dan
shalat mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan
tepuk tangan. Maka rasakanlah adzab disebabkan karena kekafiranmu itu.
[al Anfal/8:35].Terkadang suatu perbuatan disyari’atkan dalam suatu
ibadah, tetapi tidak menjadi ibadah yang benar pada waktu dan tempat
yang lain.
Sebagai contoh, berdiri dalam shalat adalah amal
(perbuatan) ketaatan yang disyari’atkan. Akan tetapi, sengaja berdiri di
bawah sengatan terik matahari ketika melakukan puasa tidaklah
disyari’atkan. Pernah, pada masa Nabi Muhammad ada orang yang berpuasa
sambil berdiri di bawah sengatan terik matahari. Ia tidak duduk dan
tidak berteduh. Lalu Rasulullah menyuruhnya untuk duduk dan berteduh
sambil terus menyempurnakan puasanya.[5]
Para ulama telah sepakat,
suatu ibadah tidaklah sah, kecuali apabila terkumpul dua syarat. Yaitu
ikhlas karena Allah dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam ). Hendaknya diketahui, bahwasanya
mutaba’ah (ittiba) tidak akan terwujud, melainkan bila amal itu sesuai
dengan syari’at Islam dalam enam perkara: (a) sebabnya, (b) jenisnya,
(c) kadar (bilangan/ukuran)nya, (d) kaifiyat (cara)nya, (e) waktunya,
dan (f) tempatnya.
a. Sebabnya. Jika seseorang melakukan suatu
ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyariatkan, maka ibadah
tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima. Misalnya, ada orang yang
melakukan shalat tahajud pada malam 27 bulan Rajab, dengan dalih bahwa
malam itu adalah malam mi’raj Rasulullah (dinaikkan ke atas langit).
Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab
tersebut, maka ia menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas
sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at. Syarat ini sangat penting,
karena dengan demikian akan dapat diketahui beberapa macam amal yang
dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
b.
Jenisnya. Maksudnya, ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya.
Jika tidak, maka tidak diterima. Misalnya, seorang yang menyembelih
kuda untuk kurban. Maka penyembelihan ini tidak sah, karena menyalahi
ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu
unta, sapi, dan kambing. c. Kadar (bilangan/ukuran)nya. Jika ada
seseorang yang menambah bilangan raka’at shalat, yang menurutnya
penambahan itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan
tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam hal
jumlah bilangan raka’atnya. Jadi apabila ada orang shalat Zhuhur lima
raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
d. Kaifiyat
(cara)nya. Seandainya ada orang yang shalat, dia sujud terlebih dahulu
sebelum ruku, maka shalatnya tidak sah dan tertolak, karena tidak sesuai
dengan cara yang ditentukan syari’at.
e. Waktunya. Apabila ada
orang yang menyembelih binatang kurban atau hadyu pada hari pertama
bulan Dzulhijjah, maka sembelihan (kurban)nya tidak sah, karena waktu
pelaksanaannya di luar ketentuan ajaran Islam. Contoh lain, orang yang
shalat sebelum masuk waktunya, maka shalatnya tidak diterima.
f.
Tempatnya. Andaikata ada orang yang beri’tikaf di tempat selain masjid,
maka i’tikafnya. tidak sah. Sebab, tempat i’tikaf hanyalah di masjid.[6]
Kedua
: Dalam masalah mu’amalah. Hukum asal dalam mu’amalah adalah
dihalalkan, kecuali mu’amalah yang diada-adakan; yang memang ada
keterangan dari syari’at yang menunjukkan diharamkannya mu’amalah
tersebut.
Keterangannya sebagai berikut:
a. Berbagai akad
yang dilakukan manusia yang dilakukan sebagai ganti dari akad syari’at
yang sah. Contohnya, kejadian pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam . Suatu saat ada orang yang bertanya kepada Rasulullah dan
menginginkan agar hukuman zina diubah dengan denda, maka Rasulullah
menolaknya. Lebih lengkapnya, kejadian tersebut diriwayatkan oleh Imam
al Bukhari dan Imam Muslim dalam sebuah hadits yang menyatakan, bahwa
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi seseorang. Orang
itu berkata: “Anakku bekerja pada si Fulan, lalu ia berzina dengan
isterinya. Saya telah membayar denda sebanyak seratus kambing dan
seorang pembantu.” Mendengar penuturannya, maka Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda: “Seratus kambing dan pembantu dikembalikan
kepadamu, dan hukuman bagi anakmu seratus kali cambukan dan diasingkan
selama satu tahun”.
b. Akad yang dilarang menurut syari’at, seperti:
–
Pernikahan yang haramkan oleh Allah dengan sebab kerabat, atau nasab,
atau menggabungkan dua saudara. Maka akadnya adalah bathil (tidak sah).
– Hilangnya salah satu syarat dalam akad, seperti nikah tanpa wali, baik gadis maupun janda, maka akad nikahnya tidak sah.
–
Akad yang diharamkan oleh Allah Ta’ala, seperti jual-beli khamr
(minuman keras), bangkai, babi, patung, anjing, riba, dan semua
jual-beli yang dilarang menurut syari’at, maka akadnya bathil dan
tertolak.
– Akad yang di dalamnya ada kezhaliman atau penipuan,
maka dikembalikan kepada yang dizhalimi, dan lainnya. Demikian juga
semua akad (transaksi) yang dilarang oleh syara’, atau dua orang yang
melakukan akad mengabaikan salah satu rukun atau syarat akad, maka akad
tersebut bisa batal dan tertolak. Permasalahan ini, tentang sah dan
tidaknya serta tertolak dan tidaknya, secara lebih rinci bisa dibaca di
kitab-kitab fiqih.
3. Perbuatan Yang Diterima. Dalam kehidupan,
ada perkara-perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan
syari’at, bahkan sesuai atau cenderung didukung dasar-dasar syari’at.
Maka perkara-perkara tersebut diterima. Hal inilah yang disebut dengan
maslahat mursalah. Para sahabat banyak mencontohkan hal ini. Seperti
menghimpun al Qur`an pada masa Abu Bakar, penyeragaman (bacaan) al
Qur`an pada masa ‘Utsman bin ‘Affan dengan mengirimkan salinan-salinan
mushaf ke berbagai penjuru disertai para qari’.
Contoh lainnya,
penulisan ilmu nahwu, tafsir, sanad hadits dan berbagai ilmu lainnya,
baik teori maupun yang bersifat empiris yang sangat bermanfaat bagi
manusia, dan dapat mendorong terwujudnya pelaksanaan hukum Allah di muka
bumi ini.
Dari uraian di atas bisa disimpulkan, bahwa
perkara-perkara yang sifatnya baru dan bertentangan dengan syari’at,
maka perkara tersebut tergolong bid’ah yang tercela dan sesat. Namun
perkara yang sifatnya baru dan tidak bertentangan dengan syari’at,
tetapi bahkan sesuai dan didukung syari’at, maka perkara tersebut baik
dan diterima.
Dari perkara-perkara itu ada yang sunnah, ada juga
yang sifatnya fardhu kifayah. Bid’ah yang sesat pun bervariasi; ada yang
makruh dan ada yang haram, tergantung bahaya yang ditimbulkan dan
ketidaksesuaiannya dengan nilai-nilai Islam. Bahkan dalam melakukan
perbuatan bid’ah tersebut, seseorang bisa terjerumus pada kekufuran dan
kesesatan. Misalnya, orang yang bergabung dengan aliran sesat, yang
mengingkari wahyu dan syari’at Allah, mengajak untuk menerapkan hukum
buatan manusia, menuduh penerapan hukum Allah merupakan keterbelakangan.
Atau orang yang bergabung dengan jama’ah-jama’ah sufi yang meremehkan
berbagai kewajiban, atau mempunyai paham wihdatul wujud ataupun hulul
(manunggaling kawulo gusti) dan berbagai perilaku sesat lainnya; maka
perbuatan ini jelas-jelas kufur, dan dapat mengeluarkan pelakunya dari
Islam; tentunya, setelah terpenuhi syarat dan tidak ada penghalang yang
membuat dia keluar dari Islam.
Yang juga termasuk bid’ah sayyi’ah
atau sesat, yaitu pengagungan terhadap suatu benda dan minta keberkahan
kepada benda tersebut dengan keyakinan, bahwa benda yang ia agungkan
bisa memberi manfaat. Misalnya mengagungkan pohon, batu atau lainnya.
Pernah, suatu saat para sahabat lewat di samping pohon bidara yang
diagung-agungkan orang-orang musyrik.
Diriwayatkan dari Abu Waqid al Laitsi Radhiyallahu anhu , ia berkata:
Kami
keluar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke Hunain, dan
kami adalah orang-orang yang baru masuk Islam. Ketika itu orang-orang
musyrik memiliki sebatang pohon bidara yang disebut dzatu anwath. Mereka
selalu mendatanginya dan menggantungkan senjata-senjata perang mereka
pada pohon itu. Kami pun berkata: “Ya, Rasulullah. Buatkanlah kami dzatu
anwath sebagaimana mereka orang musyrik mempunyai dzatu anwath.”
Rasulullah bersabda:
سُبْحَانَ اللهِ هَذَا كَمَا قَالَ قَوْمُ
مُوسَى اجْعَلْ لَنَا إِلَهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ وَالَّذِي نَفْسِي
بِيَدِهِ لَتَرْكَبُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ.
[Subhanallaah,
hal ini seperti perkataan kaum Nabi Musa (Bani Israil kepada
Musa),‘Buatkanlah untuk kami sesembahan, sebagaimana mereka memiliki
sesembahan’. –QS al A’raf/7 ayat 138- Demi Rabb yang diriku berada di
tangan-Nya, kamu benar-benar mengikuti tradisi orang-orang sebelum
kamu]. [HR at-Tirmidzi no. 2181. Beliau berkata,”Hadits ini hasan
shahih.”].Dalam hal ini mereka tidak kafir, karena mereka baru masuk Islam. Dan perkataan tersebut, mereka ucapkan karena ketidaktahuan.
Hadits
kedua, “Barangsiapa melakukan amalan, yang tidak didasari perintah
kami, maka ia (amalan tersebut) ditolak”, karena sebagian ahli bid’ah
membantah hadits pertama “Barangsiapa yang menciptakan hal baru dalam
perkara (ibadah) yang tidak ada dasar hukumnya, maka ia ditolak”. Mereka
berargumen, kami tidak pernah menciptakan hal baru. Apa yang kami
lakukan, telah kami dapatkan dari orang-orang sebelum kami.
Maka dengan penyebutan hadits kedua ini, argumentasi mereka tidak bernilai.
1.
Dari hadits di atas bisa kita pahami, barangsiapa yang mereka-reka satu
amalan, maka dosanya, ia sendiri yang menanggung dan amalan tersebut
tertolak.
2. Setiap orang yang mengadakan sesuatu yang baru dalam
ibadah, seperti doa dan dzikir tertentu yang tidak ada Sunnahnya dari
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka ia telah berdosa dari empat
segi.
a. Meninggalkan doa dan dzikir yang disyari’atkan.
b. Menambah-nambah syari’at Islam.
c. Mensunnahkan sesuatu yang tidak disyari’atkan.
d. Mengelabui orang awam, yang menurut mereka, bahwa hal itu boleh dikerjakan.[7]
KESIMPULAN
Wajib
atas setiap penuntut ilmu untuk berhati-hati, dan tidak terburu-buru
dalam menghukumi suatu amal ditolak (tidak diterima) berdalil dengan
hadits ini. Wajib atasnya untuk melihat dan mencari pendapat ulama
tentang hukum dalam suatu masalah. Dia harus memahami kaidah dan prinsip
yang dipakai oleh para ulama dalam menentukan suatu amal diterima atau
ditolak.[8] Wallahu A’lam.
FAWAIDUL HADITS (MANFAAT HADITS)
1. Hadits ini sebagai barometer (timbangan) amal yang zhahir.
2. Perbuatan bid’ah adalah diharamkan dalam agama.
3. Amal perbuatan yang dibangun di atas bid’ah, maka ia tertolak.
4. Bahwasanya larangan terhadap sesuatu, cenderung karena adanya dampak kerusakan sesuatu tersebut.
5.
Semua perbuatan yang diada-adakan dalam Islam yang tidak ada tuntunan
dari syari’at, maka perbuatan itu tertolak, meskipun dilakukan dengan
niat yang baik.
6. Amal shalih yang dilakukan tidak mengikuti
ketentuan syari’at, seperti enam perkara di atas (yaitu sebab, jenis,
kadar, kaifiyat, waktu, dan tempat), maka amalnya bathil dan tidak sah.
7. Bahwasanya agama Islam adalah agama yang sempurna, dan tidak ada kekurangan padanya.
8. Kewajiban umat Islam adalah ikhlas dalam beribadah kepada Allah dan ittiba’ kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam .
9. Syarat diterimanya amal adalah ikhlas dan mutaba’ah (mengikuti contoh Rasulullah).
MARAJI’
1. Syarah al Arba’in li Ibni Daqiqil ‘Id, Cet. Th. 1427 H, Dar Ibni Hazm.
2. Jami’ul-‘Ulum wal-Hikam, tahqiq Syaikh Syu’aib al-Arnauth dan Ibrahim Baajis.
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com