“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukai” (QS At-Taubah: 33)
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
Bagi seorang Muslim azam (tekad) menegakkan dan membela Islam bukan sekadar kewajiban formal melainkan sebuah refleksi psikologis yang memantul keluar menjadi amal-amal nyata bahkan menjadi perilaku lahiriahnya yang otentik. Refleksi psikologis itu merupakan pancaran ketulusan keyakinannya terhadap kebenaran Islam dalam seluruh dimensinya.
Sepanjang sejarah dakwah ketulusan keyakinan seorang da’i terhadap dakwah yang diembannya selalu menjadi energi yang dapat membangkitkan kemauan kuatnya untuk mengamalkan, mendakwakan, dan memenangkan Islam dalam percaturan kehidupan dunia. Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat menyebutkan bahwa azam adalah kemauan kuat.
Kemauan kuat atau azam inilah yang memastikan seseorang tidak akan melalaikan perintah Allah dan tidak ragu menegakkan dan membela agama-Nya. Sehubungan dengan kasus Nabi Adam AS, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى ءَادَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا
Sesungguhnya ada dua kondisi psikologis lain yang dapat menyempurnakan azam seorang muslim dalam mengimani, mengamalkan, mendakwakan, dan dalam membela Islam. Yaitu sabar dan tawakal. Dalam waktu yang bersamaan sabar dan tawakal seseorang merupakan refleksi kekokohan azamnya.
Sabar dan tawakal dalam konteks perjuangan membela Islam ibarat dua sayap yang dapat menyapu bersih segala bentuk keraguan menerjuni medan laga. “Aku bersumpah, wahai diriku, kau harus terjun ke medan laga.” Demikian Abdullah bin Rawwahah ketika mendapati dirinya diserang kegamangan dalam menghadapi kerasnya perjuangan.
Sabar adalah kondisi psikologis seseorang yang tidak mudah mengeluh dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukainya. Ada tiga keadaan yang menuntut kesabaran seseorang, yaitu dalam ketaatan kepada Allah, dari menghindari maksiat, dan ketika ditimpa musibah. Sedangkan tawakal adalah sikap kebergantungan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Maka inti tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak bergantung kepada selain-Nya.
Hubungan erat dan timbal balik antara sabar dan tawakal dengan azam seseorang dapat terlihat pada firman Allah berikut,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
يٰقَوْمِ ادْخُلُوا الْاَرْضَ الْمُقَدَّسَةَ الَّتِيْ كَتَبَ اللّٰهُ لَكُمْ وَلَا تَرْتَدُّوْا عَلٰٓى اَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خٰسِرِيْنَ
Kenyataannya Bani Israil tetap berada dalam keraguan, tidak memiliki azam, dan tekad
mereka lemah. Mereka lebih percaya kepada kekuatan materi yang tampil dalam tubuh perkasa orang-orang Amalek yang telah lama menduduki tanah Palestina itu. Mereka melupakan siapa yang menyuruh mereka memasuki tanah yang dijanjikan itu dan yang telah memberikan jaminan kemenangan.
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
Dengan demikian tingkat azam seseorang dapat menentukan tingkat kualitas perjuangannya. Maka kekokohan azam seorang da’i dalam membela agamanya menentukan kualitas dan nilai amal perjuangannya. Selanjutnya kekuatan azam tersebut akan mendudukkan dirinya pada posisi terdepan dalam barisan mujahidin dan layak memperoleh penghargaan.
Mereka, orang-orang yang kualitas azamannya tinggi, umumnya tidak banyak. Meski demikian mereka dapat menggerakkan mesin kemenangan. Misalnya dalam deretan nama-nama nabi kita kenal 5 nama yang diberi gelar ulul ‘azmi. Mereka adalah nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Saw.
Kaum Hawariyyun, kaum Muhajirin dan Anshar adalah kelompok-kelompok yang memiliki azam yang tinggi dalam membela agama mereka. Oleh karena itu sejarah perjuangan mereka sempat diabadikan dalam al-Qur`an.
Untuk sampai pada kepastian itu hendaknya kita terlebih dahulu memahami arti kehidupan kita di dunia ini. Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah sebuah ibtila` (ujian). Di sinilah kita diuji dan di sini pula ladang tempat penghimpunan bekal yang menentukan nasib kita di akhirat nanti.
Oleh karena itu aktivitas fisik dan psikis kita selama hidup di alam fana harus sejalan dengan nilai-nilai yang telah kita yakini. Selanjutnya kita dituntut memiliki kesadaran batin melalui serangkaian proses “introspeksi” dan “interiorisasi” (takhliyah dan tahliyah) spiritualitas kita. Dengan bersungguh-sungguh kita terus-menerus menerapkan metode-metode pensucian jiwa yang dapat mengkristalkan/mengokohkan azam kita untuk membela Islam dan mengantarkannya kepada kemenangan sejati.
Dari kesadaran batin itulah hendaknya logika dibangun. Logika yang sederhana, mudah dicerna, dan sesuai dengan fitrah manusia. Logika yang sepenuhnya bersumber dari kesadaran dan kebersihan kalbu, yaitu motif-motif dan emosi-emosi yang paling dalam, dan dari penghayatan kita kepada nilai-nilai Islam. Logika yang tidak berupa pandangan-pandangan akal yang sering menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Logika paling simple tetapi penuh makna, “Hidup mulia atau mati syahid.” Dengan logika itulah kita berazam. Wallahu A’lam bishshawab.
"Mereka menolak saya untuk memiliki salinan Al-qur'an di sel saya, tapi apa yang mereka tidak tahu adalah bahwa saya telah menghafalnya selama lebih dari 40 tahun. Aku hanya ingin menyentuh Al-Qur'an, tidak lebih." - Muhammad Mursi
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com