Tarqiyah : Ada beberapa pesan yang harus saya sampaikan kepada antum sebagai kader pimpinan dan sebagai pemimpin langsung di lapangan, yaitu sebagai berikut:
Pertama, al-istisya’aar bil mas’uliyah ats-tsaqiilah, selalu merasakan dan menghayati adanya tanggungjawab yang berat.
Mengapa? Tak lain karena mata dunia saat ini sudah mulai melihat dan bahkan mengamati kita secara seksama, salban wa ijaban, baik dalam pengertian negative maupun positif. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap kita sudah mencermati kita.
Kita terus disorot oleh dunia luar baik dalam arti positif maupun negative. Antum harus bisa merasakan betul harapan-harapan nasional, regional dan bahkan dunia terhadap antum. Hal ini harus direspon secara maknawiyan dengan adanya al-istisya’aar bil mas’uliyahats-tsaqiilah.
Jangan sampai karena sudah menjadi pejabat-pejabat public, baik di legislative maupun eksekutif, antum menjadi lengah atau bersikap santai. Jangan…Saya tidak mengharamkan wasaail (sarana prasarana). Silahkan wasilah modern antum beli dan gunakan, sesuatu yang tidak sempat dilakukan di masa generasi saya. Antum bebas memperoleh danmenggunakannya. Hanyasaja yang penting antum punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan ini.
Kedua,ats-tsiqahbiwa’dillahiwarasuulihi, selalupercayadanyakinpadajanji Allah danRasul-Nya.
Betapa pun berat tanggung jawab dan tantangan yang kita hadapi, percayalah pada janji Allah dan surgaNya yang demikian banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Saya tidak akan menyebutkan dalil-dalilnya, karena antum ashabul adillah, orang yang menguasai dalil-dalil. Bahkan di dalam proses takwiniyah ada materi ats-tsiqah. Mulai dari ats-tsiqah billah sampai ats-tsiqah bil qiyadah, biljama’ah dan seterusnya.
Ketiga, al-iltizam bi manhajil islam asy-syamil wal mutakamil, berpegang teguh dengan metode Islam yang komprehensif dan terpadu.
Ketahuilah bahwa syumuliyatul Islam akan semakin mendekat untuk terwujud, bila kita sudah berada di mihwar daulah. Sementara saat ini kita baru berada di mihwar muassasi.
Mihwar muassasi adalah tahapan juz’iyyah menuju syumuliyatul Islam. Dalam perjalanan ini kita menemui kelokan-kelokan yang disebut mun’athafat ‘alaathariiqid dakwah.
Mun’athafat tersebut tidak selalu bermakna negative, melainkan bisa juga positif, yakni berupa jabatan legislative, bupati, gubernur, walikota, dan menteri. Selain itu juga bisa berupa dimilikinya pesantren dan madrasah. Atau bahkan boleh jadi berupa pertanian dan peternakan sapi. Namun semua itu hanyalah sesuatu yang akan kita lalui saja dalam perjalan menuju, insya Allah, I’laai kalimatullahi hiyal ‘ulya.
Hal ini sangat penting di garis bawahi, karena sebagai manusia kadang-kadang kita terjebak pada suatu fenomena fase atau mazhaahir marhaliyah, dan bahkan mungkin berpikir: “Kayaknya sudah enak di sini. Ngapain lagi jauh-jauh?”
Misalkan kita sudah enak mengelola pesantren, lalu ketika ada pilkada maka berpikir: “Wah, uang puluhan milyar dana kampanye kalau digunakan untuk membangun pesantren jadi berapa ya?”
Hal itu bisa menjadi tanda keterjebakan oleh mun’athafat ‘ala athariiqid dakwah, padahal mengelola pesantren, menjadi pejabat di eksekutif, legislative dan yudikatif adalah positif. Tetapi jangan sampai semua itu menjebak kita dalam mazhaahir marhaliyah, karena kita harus tetap berjalan menuju tujuan kita yang sebenarnya yakni menegakkan Islam syamil mutakamil.
Keempat, al-I’timad ‘alaa nizhamis silmi wal dusturi wal qanuni, mengandalkan perjuangan secara damai, konstitusional dan sesuai hukum perundang-undangan.
Kita harus selalu mengingat berada dalam posisi di Indonesia yang merupakan negara merdeka, terbuka, demokratis dan damai—tidak seperti di Afghanistan maupun Palestina—sehingga kita mengandalkan perjuangan damai yang konstitusional sesuai dengan hukum yang berlaku.
Hal ini penting untuk selalu diingat, karena adanya godaan-godaan yang disebut fikrah takfiriyah wa tafjiriyah (ideology pengkafiran dan peledakan). Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) telah memutuskan bahwa kita tidak boleh mempunyai titik sentuh apapun dengan aliran dan fikrah tersebut, karena I’timad kita‘alannizham as-silmi wal dusturi walqanuni. Jangan sampai tergoda oleh pemikiran dan tindakan radikal seperti itu, kita harus selalu ishbiruu wa shabiruu waraabithu ittaqullaha la’allakum tuflihun.
Kelima, at-tamassuk bil minhaji as siyasi almarin ma’a ‘adami tanaazul ‘anits tsawaabit, berpegang teguh pada konsep politik yang supel tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip. Oleh karena itu ada pesan dari DPTP agar kita tidak tergoda dengan konspirasi-konspirasi ini dan itu di tengah jalan. Biarkan semuanya berjalan dusturi wa qanuni. Kita harus tetap supel tapi tanpa harus mengorbankan prinsip.
Keenam, al-muhafazhah ‘alat tadarruj wat tawazun fi numuwwi wa tathawwuri ufuqiyan wa ’amudiyan, memelihara kebertahapan dan keseimbangan dalam pertumbuhan secara horizontal dan vertical. Posisi kita saat ini adalah hasil kerja keras gerak horizontal ikhwan dan akhwat dalam nasyruddakwah. Gerak itulah yang kemudian menghasilkan mobilitas vertical keatas, sehingga ada yang menjadi menteri, gubernur, anggota legislative, walikota atau pun bupati.
Mereka yang sudah berada di dalam posisi vertical harus selalu menyadari bahwa bisa sampai ke posisi tersebut karena dukungan mobilitas horizontal. Oleh karenanya mereka pun pada gilirannya harus memback up intisyar al-ufuqiy, mobilitas horizontal, sehingga nantinya akan menghasilkan intisyar ‘amudiy, mobilitas vertical yang lebih besarlagi. Dalam dinamika proses tersebut, sifat kebertahapan dan keseimbangan harus tetapdijaga.
Ketujuh, al-ihtimam bir-ri’ayah ‘alaa muktasabaatid dakwah, memperhatikan pemeliharaan atas perolehan-perolehan dakwah. Dahulu kita suka menyebutnya dengan muhafazhah ‘ala muktasabatid dakwah awlaa.
Memelihara perolehan dakwah adalah prioritas, dan sekarang lebih ditekankan lagi dengan memakai istilah al-ihtimam, karena khawatir kita melalaikannya.
Pemahaman sederhananya seperti dialog saya dengan Walikota Depok, akh NurMahmudi Ismail, “Antum menjadi walikota Depok adalah hasil perjuangan ikhwan dan akhwat, maka kini kewajiban antum memenangkanlagi PKS di Depok sebagaimana PKS telah memenangkan antum”.
Begitu juga kepada Gubernur Jawa Barat saya katakan, “Antum bisa sampai ke kursi Gubernur adalah hasil perjuangan ikhwan dan akhwat, maka kewajiban antum sekarang adalah memenangkan PKS sehingga dapat meningkatkan jumlah kadernya yang jadi menteri dari empat menjadi delapan, duabelas, atau tigapuluh.” Tapi ya tidak boleh mengambilsemua, laa yajuz. Harusbagi-bagidengan yang lain.
Jadi, kesadaran timbal balik antara gerak horizontal dan vertical ini sangat penting. Agar kita sadar jangan sampai ada kader-kader kita yang berkorban habis untuk mobilitas horizontal tiba-tiba merasa kecewa oleh ikhwan dan akhwat yang mempunyai posisi vertical yang tidak ingat kepada pengorbanan gerak horizontal mereka. Ini pesan untuk antum semua, apakahbupati, menteri atau para anggota DPR.
(Diringkas dari buku Bekal Untuk Kader Dakwah,BidangArsip&SejarahSekretariatJenderal DPP PartaiKeadilan Sejahtera)
Wallahu A‘lam.
Pertama, al-istisya’aar bil mas’uliyah ats-tsaqiilah, selalu merasakan dan menghayati adanya tanggungjawab yang berat.
Mengapa? Tak lain karena mata dunia saat ini sudah mulai melihat dan bahkan mengamati kita secara seksama, salban wa ijaban, baik dalam pengertian negative maupun positif. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap kita sudah mencermati kita.
Kita terus disorot oleh dunia luar baik dalam arti positif maupun negative. Antum harus bisa merasakan betul harapan-harapan nasional, regional dan bahkan dunia terhadap antum. Hal ini harus direspon secara maknawiyan dengan adanya al-istisya’aar bil mas’uliyahats-tsaqiilah.
Jangan sampai karena sudah menjadi pejabat-pejabat public, baik di legislative maupun eksekutif, antum menjadi lengah atau bersikap santai. Jangan…Saya tidak mengharamkan wasaail (sarana prasarana). Silahkan wasilah modern antum beli dan gunakan, sesuatu yang tidak sempat dilakukan di masa generasi saya. Antum bebas memperoleh danmenggunakannya. Hanyasaja yang penting antum punya tanggung jawab untuk meneruskan perjuangan ini.
Kedua,ats-tsiqahbiwa’dillahiwarasuulihi, selalupercayadanyakinpadajanji Allah danRasul-Nya.
Betapa pun berat tanggung jawab dan tantangan yang kita hadapi, percayalah pada janji Allah dan surgaNya yang demikian banyak disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Saya tidak akan menyebutkan dalil-dalilnya, karena antum ashabul adillah, orang yang menguasai dalil-dalil. Bahkan di dalam proses takwiniyah ada materi ats-tsiqah. Mulai dari ats-tsiqah billah sampai ats-tsiqah bil qiyadah, biljama’ah dan seterusnya.
Ketiga, al-iltizam bi manhajil islam asy-syamil wal mutakamil, berpegang teguh dengan metode Islam yang komprehensif dan terpadu.
Ketahuilah bahwa syumuliyatul Islam akan semakin mendekat untuk terwujud, bila kita sudah berada di mihwar daulah. Sementara saat ini kita baru berada di mihwar muassasi.
Mihwar muassasi adalah tahapan juz’iyyah menuju syumuliyatul Islam. Dalam perjalanan ini kita menemui kelokan-kelokan yang disebut mun’athafat ‘alaathariiqid dakwah.
Mun’athafat tersebut tidak selalu bermakna negative, melainkan bisa juga positif, yakni berupa jabatan legislative, bupati, gubernur, walikota, dan menteri. Selain itu juga bisa berupa dimilikinya pesantren dan madrasah. Atau bahkan boleh jadi berupa pertanian dan peternakan sapi. Namun semua itu hanyalah sesuatu yang akan kita lalui saja dalam perjalan menuju, insya Allah, I’laai kalimatullahi hiyal ‘ulya.
Hal ini sangat penting di garis bawahi, karena sebagai manusia kadang-kadang kita terjebak pada suatu fenomena fase atau mazhaahir marhaliyah, dan bahkan mungkin berpikir: “Kayaknya sudah enak di sini. Ngapain lagi jauh-jauh?”
Misalkan kita sudah enak mengelola pesantren, lalu ketika ada pilkada maka berpikir: “Wah, uang puluhan milyar dana kampanye kalau digunakan untuk membangun pesantren jadi berapa ya?”
Hal itu bisa menjadi tanda keterjebakan oleh mun’athafat ‘ala athariiqid dakwah, padahal mengelola pesantren, menjadi pejabat di eksekutif, legislative dan yudikatif adalah positif. Tetapi jangan sampai semua itu menjebak kita dalam mazhaahir marhaliyah, karena kita harus tetap berjalan menuju tujuan kita yang sebenarnya yakni menegakkan Islam syamil mutakamil.
Keempat, al-I’timad ‘alaa nizhamis silmi wal dusturi wal qanuni, mengandalkan perjuangan secara damai, konstitusional dan sesuai hukum perundang-undangan.
Kita harus selalu mengingat berada dalam posisi di Indonesia yang merupakan negara merdeka, terbuka, demokratis dan damai—tidak seperti di Afghanistan maupun Palestina—sehingga kita mengandalkan perjuangan damai yang konstitusional sesuai dengan hukum yang berlaku.
Hal ini penting untuk selalu diingat, karena adanya godaan-godaan yang disebut fikrah takfiriyah wa tafjiriyah (ideology pengkafiran dan peledakan). Dewan Pimpinan Tingkat Pusat (DPTP) telah memutuskan bahwa kita tidak boleh mempunyai titik sentuh apapun dengan aliran dan fikrah tersebut, karena I’timad kita‘alannizham as-silmi wal dusturi walqanuni. Jangan sampai tergoda oleh pemikiran dan tindakan radikal seperti itu, kita harus selalu ishbiruu wa shabiruu waraabithu ittaqullaha la’allakum tuflihun.
Kelima, at-tamassuk bil minhaji as siyasi almarin ma’a ‘adami tanaazul ‘anits tsawaabit, berpegang teguh pada konsep politik yang supel tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip. Oleh karena itu ada pesan dari DPTP agar kita tidak tergoda dengan konspirasi-konspirasi ini dan itu di tengah jalan. Biarkan semuanya berjalan dusturi wa qanuni. Kita harus tetap supel tapi tanpa harus mengorbankan prinsip.
Keenam, al-muhafazhah ‘alat tadarruj wat tawazun fi numuwwi wa tathawwuri ufuqiyan wa ’amudiyan, memelihara kebertahapan dan keseimbangan dalam pertumbuhan secara horizontal dan vertical. Posisi kita saat ini adalah hasil kerja keras gerak horizontal ikhwan dan akhwat dalam nasyruddakwah. Gerak itulah yang kemudian menghasilkan mobilitas vertical keatas, sehingga ada yang menjadi menteri, gubernur, anggota legislative, walikota atau pun bupati.
Mereka yang sudah berada di dalam posisi vertical harus selalu menyadari bahwa bisa sampai ke posisi tersebut karena dukungan mobilitas horizontal. Oleh karenanya mereka pun pada gilirannya harus memback up intisyar al-ufuqiy, mobilitas horizontal, sehingga nantinya akan menghasilkan intisyar ‘amudiy, mobilitas vertical yang lebih besarlagi. Dalam dinamika proses tersebut, sifat kebertahapan dan keseimbangan harus tetapdijaga.
Ketujuh, al-ihtimam bir-ri’ayah ‘alaa muktasabaatid dakwah, memperhatikan pemeliharaan atas perolehan-perolehan dakwah. Dahulu kita suka menyebutnya dengan muhafazhah ‘ala muktasabatid dakwah awlaa.
Memelihara perolehan dakwah adalah prioritas, dan sekarang lebih ditekankan lagi dengan memakai istilah al-ihtimam, karena khawatir kita melalaikannya.
Pemahaman sederhananya seperti dialog saya dengan Walikota Depok, akh NurMahmudi Ismail, “Antum menjadi walikota Depok adalah hasil perjuangan ikhwan dan akhwat, maka kini kewajiban antum memenangkanlagi PKS di Depok sebagaimana PKS telah memenangkan antum”.
Begitu juga kepada Gubernur Jawa Barat saya katakan, “Antum bisa sampai ke kursi Gubernur adalah hasil perjuangan ikhwan dan akhwat, maka kewajiban antum sekarang adalah memenangkan PKS sehingga dapat meningkatkan jumlah kadernya yang jadi menteri dari empat menjadi delapan, duabelas, atau tigapuluh.” Tapi ya tidak boleh mengambilsemua, laa yajuz. Harusbagi-bagidengan yang lain.
Jadi, kesadaran timbal balik antara gerak horizontal dan vertical ini sangat penting. Agar kita sadar jangan sampai ada kader-kader kita yang berkorban habis untuk mobilitas horizontal tiba-tiba merasa kecewa oleh ikhwan dan akhwat yang mempunyai posisi vertical yang tidak ingat kepada pengorbanan gerak horizontal mereka. Ini pesan untuk antum semua, apakahbupati, menteri atau para anggota DPR.
(Diringkas dari buku Bekal Untuk Kader Dakwah,BidangArsip&SejarahSekretariatJenderal DPP PartaiKeadilan Sejahtera)
Wallahu A‘lam.
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com