Tarqiyah : Oleh: Akmal Sjafril
Bermula dari tauhid, masyarakat Arab yang tadinya jahil dibimbing menuju pencerahan. Jika dulunya mereka melakukan penyembahan yang keliru – menyembah berhala dengan harapan mereka akan jadi perantara antara dirinya dengan Tuhan – maka kini diarahkan untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT. Jika dulu sebagian di antara mereka membunuh anak-anak perempuan dan menolak memeluk-mencium anak-anak mereka, maka kini mereka diajarkan untuk mengikuti fitrah sejatinya sebagai makhluk Allah yang pandai berkasih sayang.
Tidak berhenti sampai di situ, kaum jahiliyyah pun diseru untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Tidak perlu lagi percaya ramalan, karena ikhtiar dan tawakkal itu jauh lebih produktif. Jangan lagi mengkonsumsi khamr, karena ia merusak akal. Jangan sampai menghabiskan hari dengan duduk-duduk di pasar, karena kelelahan mencari nafkah itu teramat mulia di sisi Allah.
Jika ‘aqidah telah diluruskan, maka orientasi hidup pun akan terlihat dengan jelas. Lenyaplah keinginan untuk habiskan umur dengan bermain-main, karena ajal selalu mengintai, bahkan kiamat pun terasa begitu dekat. Sadar atau tidak, bangsa ini telah menjelma menjadi kekuatan yang begitu efektif dan efisien dalam menjalankan semua tugasnya.
Di masa-masa awal perjuangan dakwah di Madinah, keefektifan jama’ah terlihat dari kemampuannya mengalahkan musuh yang jumlahnya jauh lebih besar di medan jihad. Tidak usah heran jika seorang prajurit Muslim mampu mengatasi tiga atau lima musuh sekaligus, sebab yang seorang itu tidak pernah mabuk, perutnya tidak pernah kekenyangan, pikirannya tidak pernah melamun, dan pandangannya tertuju pada tempat yang sangat jauh melampaui jarak pedangnya dengan leher musuhnya. Mereka berangkat ke medan jihad dengan membawa dua opsi, dan hanya dua opsi itu saja: pulang sebagai pemenang atau pergi sebagai syuhada. Sesungguhnya, kemenangan pasukan yang seefektif dan seefisien ini sama sekali tidak mengherankan, bahkan wajar belaka.
Sepeninggal Rasulullah saw, masyarakat Arab bukan lagi bangsa jahil yang dulu. Mereka sudah tidak punya lagi kebiasaan-kebiasaan yang merusak efisiensi hidup. Tidak ada lagi khamr, tidak ada lagi mengundi nasib, tidak ada lagi pelacuran, tidak ada lagi perang antar kabilah. Sementara itu, kekuasaan Islam terus berkembang ke segala penjuru, mencapai Persia dan wilayah kekaisaran Romawi sekaligus.
Bertemu dengan peradaban-peradaban lain, masyarakat Muslim yang serba efektif dan efisien ini tidak canggung. Segala warisan intelektual mereka lahap, lebih lahap daripada para pewarisnya sendiri. Karya-karya kaum cendekiawan Yunani kuno, yang telah ratusan tahun terbengkalai tanpa dikembangkan oleh masyarakat Eropa penerusnya, malah menjadi bahan diskusi yang menarik bagi kaum cendekiawan Muslim. Tentu saja, pada saat itu, masyarakat Muslim tidak lagi memiliki sikap inferior. Dari peradaban-peradaban yang ditemuinya, mereka mengambil segala hal yang baik dan meninggalkan yang tidak bermanfaat. Sudah lama mereka meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Pada abad ke-9 Masehi, para pedagang Muslim telah mencapai Cina dan menemukan industri kertas. Dengan segera, berdiri pabrik kertas di Baghdad, kemudian menyebar ke Suriah, sampai akhirnya mencapai Spanyol kurang lebih seabad sesudahnya. Para ilmuwan Muslim lainnya sudah membahas masalah-masalah astronomi dan menggunakan perangkat seperti astrolab (astrolabe) untuk mencatat kedudukan bintang-bintang. Pada abad yang sama, Khalifah Harun al-Rasyid menghadiahi Charlemagne sebuah jam. Di Baghdad, berdiri perpustakaan dan akademi Bait al-Hikmah.
Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi menulis buku tentang aljabar, sedangkan Khalifah al-Ma’mun mendirikan sebuah observatorium untuk mengamati pergerakan bintang dan planet-planet; observatorium itu digawangi oleh banyak astronom handal pada masanya. al-Kindi menghasilkan karya-karya seputar astronomi, geometri dan optik, sedangkan al-Razi mengembangkan ilmu kimia, fisika dan mineralogi.
Pada abad ke-10, kertas telah mencapai Spanyol, dan seluruh dunia Islam telah menggantikan media penulisan lain dengannya. Perkembangan ini memicu terjadinya ‘ledakan’ dalam jumlah penerbitan buku, karena kertas jauh lebih mudah ditulis dan diproduksi ketimbang media lainnya. Pada abad inilah lahir seorang ilmuwan yang mungkin merupakan ilmuwan Muslim terbesar yang pernah ada, yaitu al-Biruni. Al-Biruni menguasai dengan baik ilmu geometri, astronomi, geodesi (perpetaan), mineralogi, dan juga dikenal sebagai ahli agama yang terlibat dalam perdebatan panjang bersama Ibnu Sina. Salah satu karya monumental al-Biruni adalah karya ensiklopedik yang merekam segala sisi kehidupan masyarakat India. Karya ini masih dijadikan acuan hingga ratusan tahun sesudahnya, dan menjadi referensi utama ketika Inggris menginjakkan kakinya untuk pertama kali di India. Di Mesir, berdirilah Universitas Al-Azhar, yang masih terus melahirkan sarjana-sarjana Muslim besar hingga kini.
Abad ke-11 menandai dominasi ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Ibn al-Haytham dan al-Biruni dalam dunia sains. Sistem angka desimal diperkenalkan di Spanyol, dan al-Zarqali mengemukakan teorinya bahwa orbit planet-planet di tata surya berbentuk elips; teori al-Zarqali, pada kenyataannya, mendahului klaim Kepler berabad-abad lamanya.
Pada abad ke-13, barulah peradaban Islam mengalami guncangan besar dengan keruntuhan Baghdad di tangan para prajurit Mongol pada tahun 1285. Tiga pusat sains Islam pun jatuh, yaitu Kordoba (1236), Valencia (1238) dan Seville (1248). Peristiwa-peristiwa ini menandai awal dari antiklimaks peradaban Islam.
Belajar dari Sejarah
Jika sejarah gemilang peradaban Islam selama beberapa abad lamanya tidak bisa kita temukan dalam sebagian besar buku sejarah, itu karena sejarah memang ditulis oleh para ‘pemenang sementara’. Pada saat ini, kekuatan adidaya dipegang oleh Barat, dan karenanya, yang menulis sejarah pun adalah Barat. Maka, jangan harap buku-buku sejarah akan menulis nama al-Zarqali sebagai pengganti Kepler, atau al-Biruni sebagai pengganti Copernicus.
Sejarah terus berputar. Peradaban Muslim yang pernah mencapai klimaks ternyata meluncur – atau jatuh bebas – menuju antiklimaksnya. Dulu, peradaban Islam membawakan cahaya penerang pada peradaban Eropa yang berada dalam kegelapan, sehingga mereka mengenal kertas dan sistem desimal. Akan tetapi, pada akhirnya, pusat-pusat pencerahan itu direbut musuh berikut segala kejayaan di dalamnya.
Jika ilmu adalah alasan dari kegemilangan peradaban Islam di masa lampau, maka ilmu pula alasan dari keterpurukan peradaban Islam kini. Sementara generasi terdahulu diangkat dari kubangan kejahilan dengan ajaran tauhid yang menuntun mereka untuk meninggalkan segala hal yang berlebihan dan tak bermanfaat, maka generasi sesudahnya terpuruk lantaran kembali pada hal-hal yang tak bermanfaat itu.
Tiba-tiba saja, masyarakat Muslim rajin mendatangi kuburan orang-orang saleh dan berlama-lama berdoa di sana dengan harapan sang penghuni kubur bisa membantu agar doanya dikabulkan. Sudah caranya salah, tujuannya pun ternyata kerdil; bukannya mencari ilmu yang bermanfaat, malah minta kekayaan dunia. Tidakkah mereka tahu bahwa ilmu akan menjaga pemiliknya, sedangkan harta harus dijaga oleh pemiliknya? Orang berilmu takkan khawatirkan harta, karena harta akan mendatanginya. Sebaliknya, tanpa ilmu, orang akan selalu dihantui kemiskinan.
Macam-macam saja perilaku tidak efektif umat Muslim ‘generasi antiklimaks’. Ada yang mengolah makanan yang lezat-lezat, hanya untuk dibuang ke laut. Membaca wirid sampai ribuan kali agar rejeki dilancarkan, sayangnya kinerjanya di tempat kerja tidak bertambah baik. Padahal, yang membuat rejeki lancar adalah cara kerjanya, bukan jumlah wiridnya. Apalagi kalau niat wiridnya keliru.
Berbondong-bondong pabrik rokok didirikan dengan modal dari luar negeri. Orang asing sudah bosan dan jijik dengan rokok, tapi modalnya digunakan untuk memproduksi rokok dari tembakau Indonesia dan dijual di Indonesia pula. Di Indonesia, jangankan bapak-bapak, anak kecil pengamen jalanan pun banyak yang sudah merokok. Uang yang dikeluarkan untuk rokok malah lebih besar daripada biaya makannya tiga kali sehari. Orang pun bersilat lidah dengan mengatakan bahwa devisa yang dihasilkan oleh rokok sangat besar, tanpa menjelaskan secara terperinci berapa jumlah kerugian yang diakibatkan oleh rokok, mulai dari batuk-batuk sampai kanker paru-paru dan biaya pemakamannya sekaligus.
Sekarang, semua orang sudah tahu keburukan rokok. Tapi bagaimana harus meninggalkannya? Ada saja yang memprovokasi masyarakat ekonomi lemah dengan mengatakan bahwa industri rokok adalah penyebab mereka mampu makan selama ini. Inilah generasi lemah akal dan lemah iman, yang mudah saja didikte oleh uang yang tak seberapa. Andai mereka banyak ilmu, tentu tak perlu tergantung pada industri rokok yang merusak negeri. Jangan bandingkan dengan generasi sahabat Rasulullah saw yang langsung membanting botol-botol minuman yang tidak lain adalah barang dagangannya ketika mendengar bahwa khamr telah diharamkan secara mutlak. Generasi banyak akal tidak pernah takut miskin. Tanyakan saja pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra yang seorang saudagar di Mekkah, kemudian hijrah ke Madinah dengan meninggalkan harta bendanya. Sesampainya di Madinah, ia tidak minta sedekah, melainkan hanya minta diberi petunjuk arah menuju pasar.
Pekerjaan Rumah Para Da’i
Bangsa Arab pernah terpuruk, kemudian Islam datang dan membawanya pada kejayaan. Peradaban Islam pun sempat bersinar cemerlang, sebelum akhirnya terpuruk ke dasar lembah kenistaan. Satu hal yang dapat kita pelajari dari pengalaman masa lampau, yaitu bahwa Islam dapat berjaya, asalkan syarat-syarat kejayaan itu dipenuhi. Dengan berbekal informasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah, kita pun meyakini bahwa akhir jaman akan diwarnai dengan kemenangan Islam. Maka, tugas para da’i sejatinya adalah mengawal umat dalam perjalanannya menuju kejayaan yang kedua itu.
Jika dahulu umat manusia menjadi jahil karena gaya hidup dan prioritasnya yang keliru, sedangkan generasi sesudahnya mencatat prestasi gemilang lantaran kecintaannya pada ilmu (dan kebenciannya pada hal-hal yang tak bermanfaat), maka sebenarnya syarat-syarat kemenangan itu sendiri sudah tampak dan dapat dengan mudah kita identifikasi. Langkah selanjutnya adalah menyusun
Selalu ada saja ulama pembimbing umat yang menunjukkan jejak-jejak menuju kejayaan itu. Sayyid Quthb dan Buya Hamka, misalnya, adalah contoh seorang intelek sejati. Dijebloskan ke penjara tidak membuat aktivitas intelektualnya melemah, apalagi melempem. Dari balik jeruji penjara, lahirlah kitab Fii Zhilaalil Qur’aan yang monumental. Di penjara pulalah Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, di samping terus menyibukkan dirinya dengan bermunajat setiap hari, membaca kitab-kitab penting, bahkan beliau khatam al-Qur’an lebih dari 100 kali selama kurun waktu dua tahun di tahanan. Tidak ada alasan untuk tidak produktif.
Jika dahulu umat Muslim mengajari bangsa Eropa caranya menumbuhkan tradisi baca-tulis, maka kini banyak Muslim di seluruh penjuru dunia yang masih saja buta huruf. Padahal, buku adalah teman duduk yang terbaik dan jendela dunia. Bagaimana kita akan memenangkan pertarungan – apalagi ghazwul fikri – jika tidak bermodalkan ilmu yang cukup?
Simaklah kewajiban keempat belas yang ditetapkan oleh Hasan al-Banna kepada para pemuda Al-Ikhwan Al-Muslimun yang telah ber-bai’at kepadanya, sekiranya seruan ini pantas untuk kita gunakan sebagai cermin:
“Hendaklah engkau pandai membaca dan menulis, memperbanyak menelaah risalah Ikhwan, surat kabar, majalah dan tulisan lainnya. Hendaklah engkau membangun perpustakaan khusus, seberapa pun ukurannya; konsentrasi terhadap spesifikasi keilmuan dan keahlianmu jika engkau seorang spesialis; menguasai persoalan Islam secara umum, penguasaan yang membuatnya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi referensi bagi pemahaman terhadap tuntutan fikrah.”
Sudahkah para aktivis dakwah menyiapkan bekal intelektualnya? Sudahkah ia terbiasa mengkaji media-media massa dan membedah buku-buku? Berapa banyak buku yang tersimpan di perpustakaan pribadinya? Berapa besar budget yang disediakannya untuk buku, kursus, seminar dan semacamnya? Sudahkah ia melengkapi dirinya dengan ilmu yang mendalam demi menjawab tuntutan-tuntutan dakwah yang begitu kompleks?
Wallahu A‘lam.
Bermula dari tauhid, masyarakat Arab yang tadinya jahil dibimbing menuju pencerahan. Jika dulunya mereka melakukan penyembahan yang keliru – menyembah berhala dengan harapan mereka akan jadi perantara antara dirinya dengan Tuhan – maka kini diarahkan untuk berhubungan langsung dengan Allah SWT. Jika dulu sebagian di antara mereka membunuh anak-anak perempuan dan menolak memeluk-mencium anak-anak mereka, maka kini mereka diajarkan untuk mengikuti fitrah sejatinya sebagai makhluk Allah yang pandai berkasih sayang.
Tidak berhenti sampai di situ, kaum jahiliyyah pun diseru untuk meninggalkan segala sesuatu yang tidak bermanfaat. Tidak perlu lagi percaya ramalan, karena ikhtiar dan tawakkal itu jauh lebih produktif. Jangan lagi mengkonsumsi khamr, karena ia merusak akal. Jangan sampai menghabiskan hari dengan duduk-duduk di pasar, karena kelelahan mencari nafkah itu teramat mulia di sisi Allah.
Jika ‘aqidah telah diluruskan, maka orientasi hidup pun akan terlihat dengan jelas. Lenyaplah keinginan untuk habiskan umur dengan bermain-main, karena ajal selalu mengintai, bahkan kiamat pun terasa begitu dekat. Sadar atau tidak, bangsa ini telah menjelma menjadi kekuatan yang begitu efektif dan efisien dalam menjalankan semua tugasnya.
Di masa-masa awal perjuangan dakwah di Madinah, keefektifan jama’ah terlihat dari kemampuannya mengalahkan musuh yang jumlahnya jauh lebih besar di medan jihad. Tidak usah heran jika seorang prajurit Muslim mampu mengatasi tiga atau lima musuh sekaligus, sebab yang seorang itu tidak pernah mabuk, perutnya tidak pernah kekenyangan, pikirannya tidak pernah melamun, dan pandangannya tertuju pada tempat yang sangat jauh melampaui jarak pedangnya dengan leher musuhnya. Mereka berangkat ke medan jihad dengan membawa dua opsi, dan hanya dua opsi itu saja: pulang sebagai pemenang atau pergi sebagai syuhada. Sesungguhnya, kemenangan pasukan yang seefektif dan seefisien ini sama sekali tidak mengherankan, bahkan wajar belaka.
Sepeninggal Rasulullah saw, masyarakat Arab bukan lagi bangsa jahil yang dulu. Mereka sudah tidak punya lagi kebiasaan-kebiasaan yang merusak efisiensi hidup. Tidak ada lagi khamr, tidak ada lagi mengundi nasib, tidak ada lagi pelacuran, tidak ada lagi perang antar kabilah. Sementara itu, kekuasaan Islam terus berkembang ke segala penjuru, mencapai Persia dan wilayah kekaisaran Romawi sekaligus.
Bertemu dengan peradaban-peradaban lain, masyarakat Muslim yang serba efektif dan efisien ini tidak canggung. Segala warisan intelektual mereka lahap, lebih lahap daripada para pewarisnya sendiri. Karya-karya kaum cendekiawan Yunani kuno, yang telah ratusan tahun terbengkalai tanpa dikembangkan oleh masyarakat Eropa penerusnya, malah menjadi bahan diskusi yang menarik bagi kaum cendekiawan Muslim. Tentu saja, pada saat itu, masyarakat Muslim tidak lagi memiliki sikap inferior. Dari peradaban-peradaban yang ditemuinya, mereka mengambil segala hal yang baik dan meninggalkan yang tidak bermanfaat. Sudah lama mereka meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat.
Pada abad ke-9 Masehi, para pedagang Muslim telah mencapai Cina dan menemukan industri kertas. Dengan segera, berdiri pabrik kertas di Baghdad, kemudian menyebar ke Suriah, sampai akhirnya mencapai Spanyol kurang lebih seabad sesudahnya. Para ilmuwan Muslim lainnya sudah membahas masalah-masalah astronomi dan menggunakan perangkat seperti astrolab (astrolabe) untuk mencatat kedudukan bintang-bintang. Pada abad yang sama, Khalifah Harun al-Rasyid menghadiahi Charlemagne sebuah jam. Di Baghdad, berdiri perpustakaan dan akademi Bait al-Hikmah.
Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi menulis buku tentang aljabar, sedangkan Khalifah al-Ma’mun mendirikan sebuah observatorium untuk mengamati pergerakan bintang dan planet-planet; observatorium itu digawangi oleh banyak astronom handal pada masanya. al-Kindi menghasilkan karya-karya seputar astronomi, geometri dan optik, sedangkan al-Razi mengembangkan ilmu kimia, fisika dan mineralogi.
Pada abad ke-10, kertas telah mencapai Spanyol, dan seluruh dunia Islam telah menggantikan media penulisan lain dengannya. Perkembangan ini memicu terjadinya ‘ledakan’ dalam jumlah penerbitan buku, karena kertas jauh lebih mudah ditulis dan diproduksi ketimbang media lainnya. Pada abad inilah lahir seorang ilmuwan yang mungkin merupakan ilmuwan Muslim terbesar yang pernah ada, yaitu al-Biruni. Al-Biruni menguasai dengan baik ilmu geometri, astronomi, geodesi (perpetaan), mineralogi, dan juga dikenal sebagai ahli agama yang terlibat dalam perdebatan panjang bersama Ibnu Sina. Salah satu karya monumental al-Biruni adalah karya ensiklopedik yang merekam segala sisi kehidupan masyarakat India. Karya ini masih dijadikan acuan hingga ratusan tahun sesudahnya, dan menjadi referensi utama ketika Inggris menginjakkan kakinya untuk pertama kali di India. Di Mesir, berdirilah Universitas Al-Azhar, yang masih terus melahirkan sarjana-sarjana Muslim besar hingga kini.
Abad ke-11 menandai dominasi ilmuwan Muslim seperti Ibnu Sina, Ibn al-Haytham dan al-Biruni dalam dunia sains. Sistem angka desimal diperkenalkan di Spanyol, dan al-Zarqali mengemukakan teorinya bahwa orbit planet-planet di tata surya berbentuk elips; teori al-Zarqali, pada kenyataannya, mendahului klaim Kepler berabad-abad lamanya.
Pada abad ke-13, barulah peradaban Islam mengalami guncangan besar dengan keruntuhan Baghdad di tangan para prajurit Mongol pada tahun 1285. Tiga pusat sains Islam pun jatuh, yaitu Kordoba (1236), Valencia (1238) dan Seville (1248). Peristiwa-peristiwa ini menandai awal dari antiklimaks peradaban Islam.
Belajar dari Sejarah
Jika sejarah gemilang peradaban Islam selama beberapa abad lamanya tidak bisa kita temukan dalam sebagian besar buku sejarah, itu karena sejarah memang ditulis oleh para ‘pemenang sementara’. Pada saat ini, kekuatan adidaya dipegang oleh Barat, dan karenanya, yang menulis sejarah pun adalah Barat. Maka, jangan harap buku-buku sejarah akan menulis nama al-Zarqali sebagai pengganti Kepler, atau al-Biruni sebagai pengganti Copernicus.
Sejarah terus berputar. Peradaban Muslim yang pernah mencapai klimaks ternyata meluncur – atau jatuh bebas – menuju antiklimaksnya. Dulu, peradaban Islam membawakan cahaya penerang pada peradaban Eropa yang berada dalam kegelapan, sehingga mereka mengenal kertas dan sistem desimal. Akan tetapi, pada akhirnya, pusat-pusat pencerahan itu direbut musuh berikut segala kejayaan di dalamnya.
Jika ilmu adalah alasan dari kegemilangan peradaban Islam di masa lampau, maka ilmu pula alasan dari keterpurukan peradaban Islam kini. Sementara generasi terdahulu diangkat dari kubangan kejahilan dengan ajaran tauhid yang menuntun mereka untuk meninggalkan segala hal yang berlebihan dan tak bermanfaat, maka generasi sesudahnya terpuruk lantaran kembali pada hal-hal yang tak bermanfaat itu.
Tiba-tiba saja, masyarakat Muslim rajin mendatangi kuburan orang-orang saleh dan berlama-lama berdoa di sana dengan harapan sang penghuni kubur bisa membantu agar doanya dikabulkan. Sudah caranya salah, tujuannya pun ternyata kerdil; bukannya mencari ilmu yang bermanfaat, malah minta kekayaan dunia. Tidakkah mereka tahu bahwa ilmu akan menjaga pemiliknya, sedangkan harta harus dijaga oleh pemiliknya? Orang berilmu takkan khawatirkan harta, karena harta akan mendatanginya. Sebaliknya, tanpa ilmu, orang akan selalu dihantui kemiskinan.
Macam-macam saja perilaku tidak efektif umat Muslim ‘generasi antiklimaks’. Ada yang mengolah makanan yang lezat-lezat, hanya untuk dibuang ke laut. Membaca wirid sampai ribuan kali agar rejeki dilancarkan, sayangnya kinerjanya di tempat kerja tidak bertambah baik. Padahal, yang membuat rejeki lancar adalah cara kerjanya, bukan jumlah wiridnya. Apalagi kalau niat wiridnya keliru.
Berbondong-bondong pabrik rokok didirikan dengan modal dari luar negeri. Orang asing sudah bosan dan jijik dengan rokok, tapi modalnya digunakan untuk memproduksi rokok dari tembakau Indonesia dan dijual di Indonesia pula. Di Indonesia, jangankan bapak-bapak, anak kecil pengamen jalanan pun banyak yang sudah merokok. Uang yang dikeluarkan untuk rokok malah lebih besar daripada biaya makannya tiga kali sehari. Orang pun bersilat lidah dengan mengatakan bahwa devisa yang dihasilkan oleh rokok sangat besar, tanpa menjelaskan secara terperinci berapa jumlah kerugian yang diakibatkan oleh rokok, mulai dari batuk-batuk sampai kanker paru-paru dan biaya pemakamannya sekaligus.
Sekarang, semua orang sudah tahu keburukan rokok. Tapi bagaimana harus meninggalkannya? Ada saja yang memprovokasi masyarakat ekonomi lemah dengan mengatakan bahwa industri rokok adalah penyebab mereka mampu makan selama ini. Inilah generasi lemah akal dan lemah iman, yang mudah saja didikte oleh uang yang tak seberapa. Andai mereka banyak ilmu, tentu tak perlu tergantung pada industri rokok yang merusak negeri. Jangan bandingkan dengan generasi sahabat Rasulullah saw yang langsung membanting botol-botol minuman yang tidak lain adalah barang dagangannya ketika mendengar bahwa khamr telah diharamkan secara mutlak. Generasi banyak akal tidak pernah takut miskin. Tanyakan saja pada ‘Abdurrahman bin ‘Auf ra yang seorang saudagar di Mekkah, kemudian hijrah ke Madinah dengan meninggalkan harta bendanya. Sesampainya di Madinah, ia tidak minta sedekah, melainkan hanya minta diberi petunjuk arah menuju pasar.
Pekerjaan Rumah Para Da’i
Bangsa Arab pernah terpuruk, kemudian Islam datang dan membawanya pada kejayaan. Peradaban Islam pun sempat bersinar cemerlang, sebelum akhirnya terpuruk ke dasar lembah kenistaan. Satu hal yang dapat kita pelajari dari pengalaman masa lampau, yaitu bahwa Islam dapat berjaya, asalkan syarat-syarat kejayaan itu dipenuhi. Dengan berbekal informasi dari al-Qur’an dan as-Sunnah, kita pun meyakini bahwa akhir jaman akan diwarnai dengan kemenangan Islam. Maka, tugas para da’i sejatinya adalah mengawal umat dalam perjalanannya menuju kejayaan yang kedua itu.
Jika dahulu umat manusia menjadi jahil karena gaya hidup dan prioritasnya yang keliru, sedangkan generasi sesudahnya mencatat prestasi gemilang lantaran kecintaannya pada ilmu (dan kebenciannya pada hal-hal yang tak bermanfaat), maka sebenarnya syarat-syarat kemenangan itu sendiri sudah tampak dan dapat dengan mudah kita identifikasi. Langkah selanjutnya adalah menyusun
program
konkret untuk mewujudkannya.Menjadi kekuatan dominan di dunia tanpa kekuatan ilmu adalah utopia belaka. Di Indonesia, anak sekolah pun banyak yang memiliki Blackberry (BB). Anehnya, banyak sekali pemilik BB yang percaya ketika beredar broadcast message tentang tikungan delapan puluh derajat di Tol Cipularang yang kerap memakan korban jiwa. Apa mereka tidak bisa membayangkan tikungan delapan puluh derajat itu setajam apa? Di awal 2000-an, beredar informasi di milis-milis bahwa pada tanggal tertentu Planet Mars akan terlihat sebesar Bulan. Begitu banyak informasi yang bisa didapatkan di internet, namun pada kenyataannya para pengguna internet di negeri ini masih mudah saja dipengaruhi oleh berita-berita bohong yang disebarluaskan oleh pihak-pihak yang kurang kerjaan. Itulah cerminan tingkat intelektualitas umat ini.Selalu ada saja ulama pembimbing umat yang menunjukkan jejak-jejak menuju kejayaan itu. Sayyid Quthb dan Buya Hamka, misalnya, adalah contoh seorang intelek sejati. Dijebloskan ke penjara tidak membuat aktivitas intelektualnya melemah, apalagi melempem. Dari balik jeruji penjara, lahirlah kitab Fii Zhilaalil Qur’aan yang monumental. Di penjara pulalah Buya Hamka menyelesaikan Tafsir Al-Azhar, di samping terus menyibukkan dirinya dengan bermunajat setiap hari, membaca kitab-kitab penting, bahkan beliau khatam al-Qur’an lebih dari 100 kali selama kurun waktu dua tahun di tahanan. Tidak ada alasan untuk tidak produktif.
Jika dahulu umat Muslim mengajari bangsa Eropa caranya menumbuhkan tradisi baca-tulis, maka kini banyak Muslim di seluruh penjuru dunia yang masih saja buta huruf. Padahal, buku adalah teman duduk yang terbaik dan jendela dunia. Bagaimana kita akan memenangkan pertarungan – apalagi ghazwul fikri – jika tidak bermodalkan ilmu yang cukup?
Simaklah kewajiban keempat belas yang ditetapkan oleh Hasan al-Banna kepada para pemuda Al-Ikhwan Al-Muslimun yang telah ber-bai’at kepadanya, sekiranya seruan ini pantas untuk kita gunakan sebagai cermin:
“Hendaklah engkau pandai membaca dan menulis, memperbanyak menelaah risalah Ikhwan, surat kabar, majalah dan tulisan lainnya. Hendaklah engkau membangun perpustakaan khusus, seberapa pun ukurannya; konsentrasi terhadap spesifikasi keilmuan dan keahlianmu jika engkau seorang spesialis; menguasai persoalan Islam secara umum, penguasaan yang membuatnya dapat membangun persepsi yang baik untuk menjadi referensi bagi pemahaman terhadap tuntutan fikrah.”
Sudahkah para aktivis dakwah menyiapkan bekal intelektualnya? Sudahkah ia terbiasa mengkaji media-media massa dan membedah buku-buku? Berapa banyak buku yang tersimpan di perpustakaan pribadinya? Berapa besar budget yang disediakannya untuk buku, kursus, seminar dan semacamnya? Sudahkah ia melengkapi dirinya dengan ilmu yang mendalam demi menjawab tuntutan-tuntutan dakwah yang begitu kompleks?
Wallahu A‘lam.
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com