Tarqiyah :
Ada bagian yang menarik dari buku "Cerita Azra, Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra", sebuah buku biografi tentang mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu. Ternyata, rencana pelarangan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai akibat desakan yang sangat kuat dari umat Islam Indonesia pada 2008 itu, dijegal oleh Mardi -panggilan akrab Azyumardi Azra- sebagai Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Wapres RI dan Jusuf Kalla sebagai Wapres saat itu.
"Hampir semua orang di kantor Wapres paham Azyumardi dekat dengan JK. Jika ada masalah, banyak yang suka menitipkan "pesan" ke Azyumardi agar disampaikan ke JK. Ini juga berlaku untuk para aktivis lembaga atau LSM. Banyak yang minta tolong Azyumardi menyampaikan perkembangan politik atau keagamaan yang gawat. Misalnya, kasus Ahmadiyah," tulis tulis Andina Dwifatma dalam buku "Cerita Azra; Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra", halaman 124 yang diterbitkan Pernerbit Erlangga pada 2011 lalu.
"Pada suatu pagi, terdengar kabar bahwa tiga pihak, Departemen Agama, Kejaksaan Agung dan Polri sepakat memaklumkan Ahmadiyah sebagai organisasi terlarang," lanjut Andina di halaman yang sama.
Mendengar berita itu, Mardi, langsung datang ke ruang kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menyampaikan perkembangan ini.
Atas laporan Mardi, tulis Andina, Wapres langsung menelpon petinggi-petinggi terkait, dan juga Ketua MUI KH Ma'ruf Amin, untuk menyatakan bahwa kesepakatan menyatakan Ahmadiyah sebagai organisasi terlarang adalah melanggar konstitusi.
Menurut Azuymardi, jika Ahmadiyah dinyatakan sebagai organisasi ilegal, maka para anggota atau jemaahnya boleh diperlakukan seperti anggota PKI pasca persitiwa 30 September 1965. "Ini jelas melanggar UUD 1945 dan HAM."
Akhirnya, pemerintah benar-benar tidak secara tegas melakukan pelarangan dan pembubaran terhadap organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) seperti tuntutan umat Islam Indonesia saat itu.
"Pada akhirnya maklumat tidak jadi diberlakukan. Ahmadiyah 'hanya' dilarang menyiarkan paham keagamaannya seperti ditetapkan dalam SKB Menteri Agama No.3/2008, Jaksa Agung No Kep 033/A/JA/6/2006 dan Menteri Dalam Negeri No. 199/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat," tulis Andina pada halaman 125 buku biografi Mardi itu.
Menurut penelusuran SI Online terhadap SKB yang dimaksud, penulisan SKB pada buku biografi Mardi ini ternyata terdapat kesalahan. Untuk Jaksa Agung mestinya ditulis No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan perihal surat keputusan bersama itu adalah "tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)dan Warga Masyarakat."
Karena 'jasa' Mardi dan JK inilah, hingga kini Jemaat Ahmadiyah Indonesia masih bisa terus beraktifitas dan bebas melakukan penodaan terhadap ajaran Islam. (SUARA-ISLAM) Wallahu A‘lam.
Ada bagian yang menarik dari buku "Cerita Azra, Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra", sebuah buku biografi tentang mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah itu. Ternyata, rencana pelarangan terhadap Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) sebagai akibat desakan yang sangat kuat dari umat Islam Indonesia pada 2008 itu, dijegal oleh Mardi -panggilan akrab Azyumardi Azra- sebagai Deputi Bidang Kesejahteraan Rakyat Sekretariat Wapres RI dan Jusuf Kalla sebagai Wapres saat itu.
"Hampir semua orang di kantor Wapres paham Azyumardi dekat dengan JK. Jika ada masalah, banyak yang suka menitipkan "pesan" ke Azyumardi agar disampaikan ke JK. Ini juga berlaku untuk para aktivis lembaga atau LSM. Banyak yang minta tolong Azyumardi menyampaikan perkembangan politik atau keagamaan yang gawat. Misalnya, kasus Ahmadiyah," tulis tulis Andina Dwifatma dalam buku "Cerita Azra; Biografi Cendekiawan Muslim Azyumardi Azra", halaman 124 yang diterbitkan Pernerbit Erlangga pada 2011 lalu.
"Pada suatu pagi, terdengar kabar bahwa tiga pihak, Departemen Agama, Kejaksaan Agung dan Polri sepakat memaklumkan Ahmadiyah sebagai organisasi terlarang," lanjut Andina di halaman yang sama.
Mendengar berita itu, Mardi, langsung datang ke ruang kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla dan menyampaikan perkembangan ini.
Atas laporan Mardi, tulis Andina, Wapres langsung menelpon petinggi-petinggi terkait, dan juga Ketua MUI KH Ma'ruf Amin, untuk menyatakan bahwa kesepakatan menyatakan Ahmadiyah sebagai organisasi terlarang adalah melanggar konstitusi.
Menurut Azuymardi, jika Ahmadiyah dinyatakan sebagai organisasi ilegal, maka para anggota atau jemaahnya boleh diperlakukan seperti anggota PKI pasca persitiwa 30 September 1965. "Ini jelas melanggar UUD 1945 dan HAM."
Akhirnya, pemerintah benar-benar tidak secara tegas melakukan pelarangan dan pembubaran terhadap organisasi Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) seperti tuntutan umat Islam Indonesia saat itu.
"Pada akhirnya maklumat tidak jadi diberlakukan. Ahmadiyah 'hanya' dilarang menyiarkan paham keagamaannya seperti ditetapkan dalam SKB Menteri Agama No.3/2008, Jaksa Agung No Kep 033/A/JA/6/2006 dan Menteri Dalam Negeri No. 199/2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat," tulis Andina pada halaman 125 buku biografi Mardi itu.
Menurut penelusuran SI Online terhadap SKB yang dimaksud, penulisan SKB pada buku biografi Mardi ini ternyata terdapat kesalahan. Untuk Jaksa Agung mestinya ditulis No. KEP-033/A/JA/6/2008 dan perihal surat keputusan bersama itu adalah "tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)dan Warga Masyarakat."
Karena 'jasa' Mardi dan JK inilah, hingga kini Jemaat Ahmadiyah Indonesia masih bisa terus beraktifitas dan bebas melakukan penodaan terhadap ajaran Islam. (SUARA-ISLAM) Wallahu A‘lam.
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com