Tarqiyah : “Allah tidak melihatku pantas....
Untuk menduduki kursinya Abu Bakar.”
Sepenggal kalimat Umar bin Khattab ini mengawali pidato politiknnya, saat menggantikan Abu Bakar sebagai khalifah. Begitu “mempesona”. Disana terpancar selaksa nilai yang hanya dimiliki oleh orang-orang besar dengan kepribadian yang kokoh dan mentalitas yang matang. Ia bukanlah frasa inferior sebagaimana Ia pun tak layak dimaknai sebagai ungkapan dari orang yang sepi akan prestasi dan minor meritokrasi. Justru pada masanya sejumlah prestasi tertorehkan. Dari proyek ekspedisi militer dengan misi pembebasan wilayah Mesopotamia dan sebagian Persia, yang sekaligus menjadi pemungkasbagikekuasaan regim Dinasti Sasanid.BegitujugapenaklukkankotaMesir, Palestina dan Syiria dari cengkraman hegemoni Imperium Romawidisisi yang lain.Dimasanya pula dilakukanpenataan sistem administrasi negara, hingga reformasi sistem moneter dan fiskal melalui baytal-mal,dan segudang prestasi lainnya.
Lalu dari sudut apa, Umar merasa tak prover sebagai pengganti Abu Bakar? “.... Ia (Abu Bakar) telah melaksanakan amanah yang diembannya, Membimbing umat tanpa ada yang menggunjingnya. Aku setelahnya mengemban tugas yang berat...!”tegasnya dengan mata berkaca-kaca.
Begitulah Umar memaknai transisi kepemimpinan. Bahwa transisi kepemimpinan tak sekedar peralihan kekuasaan dengan segenap kewenangan atributif dan otoritas simbolistik yang melekat padanya. Tetapi transisi kepemimpinan itu adalah proses pewarisan sistem tata-nilai dan legacy positifserta trasformasi kebijakkan strategis yang terintegrasi dalam satu konstruksi proyek peradaban. Ini tak lazim tentunya dalam kultur politik demokrasi yang kita praktekan dinegeri ini. Dinegeri ini dan dibanyak negara penganut demokrasi, proses politik yang bergulir selalu hadir dalam satu skema antagonistik, dimana satu kelompok menjadi antitesa bagi golongan lainnya. Maka tabiat politik dan partai sebagai instrumennya selalu bermain dalam frameworkzero sume game, pemenang atau pecundang! Hingga tak aneh rasanya pada setiap hajatan demokrasi, dari Pilpres, Pileg, Pilkada hingga Pilkades,tak ubahnya perebutan kursi penguasa yang menyeret seluruh komponen masyarakat dalam konfik horizontal yang tak jarang berdarah-darah.Inilah perspektif kita versus paradigma barat-sekuler dalam konteks peralihan kepemimpinan dan kekuasaan.
Sejarah kita telah menulis, bahwa kehadiran tentara Jepang menggantikan bangsa Belanda setelah tiga setengah abad berkuasa, ternyata hanya memperpanjang usia penjajahan dan kezhalimandibumi pertiwi. Bahkan laku tirannya menjadi bagian paling kelam dalam sejarah bangsa ini.
Mereka hadir silih berganti dalam sejarah bangsa ini tak membawa apa-apa, kecualikejahatandanpenindasan. Semua pada akhirnya hanya menjelaskan pada kita bahwa, baik peralihan kekuasaan pada era pra kemerdekaan maupun transisi kepemimpinan diera setelahnya, punya linearitas pada substansi meski mengambil bentuk dan perwajahan yang lain. Hanya gelanggang perebutan kursi kekuasaan dan ladang pertempuran sahwat hegemoni, zonder platform pembangunan dan visi peradaban.
Andaisaja panglima Thariq bin Jiyyad masih ada ditengah kita, mungkin ia kan bercerita banyak tentang situasi paling monumental dimusimpanastahun 771 masehi. Saat prajurit-prajurit terbaik yang pernah ada dalam sejarah perang yang dipimpinnya, menjejaki tanah Andalusia (Spanyol) dan meluluh-lantakkan kekuasaantiranikraja Roderick. Tak ada obsesi materi disana. Tak ada pula fikiran-fikiran imperialisme disana. Bahkan yang terjadi justru sebaliknya, transisi kepemimpinan dan peralihan kekuasaan itumentranfusikan darah segar bagi peradaban barat yang kelam dan nyarismati!
Perlahan namun pasti Spanyol berubah. Pendaran personanya terpancar dari taman-taman kota nan cantik menghias. Sanitasi dan sistem drainase serta infrastruktur pun dibenahi.Dibangun pula 113.000 unit pemukiman penduduk bergaya arsitektur Spanyol nan indah. Terdapat lebih kurang 70 perpustakaan dengan 400.000 koleksi buku. Di malam hari, Cordoba sebagai pusat administratif terlihat gemerlapan dengan lampu jalanan yang berkilauan. Pada saat yang sama, jalanankota-kota seperti London dan Paris gelap gulita, becek berlumpur serta penuh horor gerombolan penyamun yang berkeliaran dimalam hari. Dari transisi kepemimpinan dankekuasaan ini pula berdiri Universitas Cordoba, Universitas Sevilla, Universitas Granada dan lain-lain, yang menjadi pusat ilmu pengetahuan dunia.
Maka lahirlah peradaban baru disana. Peradaban yang melahirkan orang-orang besar sekaliber Ibnu Rusyd (Avores), Al-Khawarizmi, Al-Qirawany, Ibnu Navis, dll. Dan dari peradaban ini pulalah, Barat akhirnya menemukan takdir Renaesance-nya. Hutang budi barat terhadap Islam yang luput atau “dilupakan”.
Falsafah ini, bagi Politisi muslim sejati semestinya telah mengakar kuat dalam alam fikiran bawah sadar mereka. Perjuangan mereka digelanggang demokrasi tidaklah berhenti pada raihan kursi secara kuntitatif, namun ia juga mesti tersublimasi dalam lanskap peradaban secara kualitatif. Kekuasaan, fasilitas, materi dan satisfaction(kepuasan) kendati menjadi aksioma perjuangan, ia tak boleh melalaikan kesejatian misi dan orisinalitas pergerakan. Agar tak ada lagi jarak yang luas menganga antara perjuangan dan cita-cita, dan dikotomi antara kursi dan peradabaan.
Rusdy Haryadi, S.PD.I
@rusdy_haryadi
Wallahu A‘lam.
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com