Tarqiyah :Konstelasi dan akselerasi politik di negara Mesir belakangan ini merupakan sebuah etalase dari politik (dunia) Islam. Pergolakan politik di Mesir memberikan pengaruh dan menimbulkan pergeseran terhadap pola perpolitikan di dunia, khususnya perpolitikan dunia Islam. Selain itu, akselerasi percaturan politik di Mesir merupakan pertanda masa depan dan masa kini perpolitikan dunia dan dunia Islam.
Akselerasi dan masifnya perubahan politik dunia Islam dengan melihat model yang terjadi di Mesir tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masa depan politik dunia Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (sedikitnya dapat dipandang berdasarkan tiga buah tesis).
Pertama, kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Muhammad Mursi yang terpilih secara demokratis memunculkan spekulasi bahwa Amerika Serikat (AS) dan dunia Barat menerapkan standar ganda (double standards) dalam menerapkan demokrasi dan mengutuk anti demokrasi (kudeta militer) sehingga berdampak pada beban ganda (double burden) bagi dunia Islam yang mulai meyakini masa depan demokrasi tapi kini merasakan perih dan sakit akibat dari ketidakkonsistenan AS menanggapi kudeta yang jelas-jelas merupakan antiklimaks dari demokrasi.
Kedua, pergolakan politik di Mesir segera memunculkan spekulasi bahwa proses politik dan demokrasi dunia Islam akan senantiasa mengalami erosi, guncangan dan destruksi dari dalam dan dari luar sehingga akan berdampak pada pengerdilan pertumbuhan dan perkembangan perpolitkan dunia Islam itu sendiri. Munculnya erosi politik dan demokrasi dunia Islam dapat terjadi karena perbedaan paham aliran (firqah) yang menegasikan persatuan umat Islam sedunia menjadi sebuah gerakan global yang disegani. Percaturan dan strategi politik dunia yang berporos pada AS, Uni Eropa dan sekutu-sekutunya terbukti dapat merontokkan musim semi politik dunia Arab (Arab spring) menjadi huru-hara politik yang menegangkan dan menggugurkan daun dan ranting politik dunia Islam akibat dari politik belah bambu dan politik pecah belah (devide et impera) yang diterapkan poros AS..
Ketiga, pergolakan dan instabilitas politik di Mesir memunculkan optimisme dan sekaligus pula pesimisme akan masa depan moderasi politik dunia Islam. Sisi optimisme ini setidaknya dapat kita lihat dari pandangan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq yang beranggapan bahwa munculnya pertarungan dan perbenturan ideologis tidak akan mampu menyurutkan langkah dan masa depan politik Islam. Bahkan menurutnya Islam dan ummatnya senantiasa memiliki simpanan energi besar untuk semua jenis pertarungan. Keyakinan Mahfudz Siddiq ini sekaligus memposisikan dunia Islam sebagai kekuatan politik yang tidak akan pernah padam sepanjang masa dan semburan magma politik dunia Islam akan memunculkan lanskap politik baru dunia. Namun sebaliknya, tidak sedikit pula yang memandang pergolakan politik di Mesir sebagai indikasi kegagalan masa depan politik Islam dan bahwa selamanya Islam disebut sebagai tidak kompatibel dengan demokrasi. Sehingga memunculkan ide bahwa sistem khilafah yang dapat lebih diterima bagi masa depan politik Islam di masa depan tanpa reserve. Optimisme dan pesimisme ini sekaligus dapat memunculkan tantangan tersendiri dalam menata sistem pergerakan politik Islam di masa depan.
Benturan peradaban baru
Pergolakan politik Mesir seakan membangkitkan kembali tesis Samuel P. Huntington bahwa antara Barat dan dunia Islam memang akan senantiasa mengalami sebuah benturan peradaban (the clash of civilization). Meskipun sesungguhnya tesis ini dapat dibantah dan bahwa yang terjadi sesungguhnya bukanlah sebuah benturan peradaban melainkan benturan kepentingan antara Barat (poros AS) dan timur (dunia Islam). Benturan kepentingan ini timbul karena Barat selalu menunjukkan sikap hipokritnya dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi dan enggan mengadopsi nilai-nilai dunia Islam. Hipokritisme dunia Barat inilah yang menurut Mahfudz Siddiq sebagai biang kerok dari kemunculan pertarungan dan perbenturan ideologis.
Jika saja AS dan juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) konsisten dalam menegakkan demokrasi dan menyadari sekaligus mau menerima nilai-nilai Islam maka pembantaian masal (genosida) yang dilakukan junta militer di Mesir akan dapat dicegah semaksimal dan sesegera mungkin. Namun kini terjadi sebaliknya, poros AS berdiam diri dan membiarkan demokrasi terluka dan bedarah-darah. Sementara dunia Islam pun terbelah menjadi dua dalam menyikapi apa yang terjadi di Mesir: Turki, Malaysia dan beberapa negara Islam lainnya menganggapnya sebagai kudeta militer dan poros negara-negara Arab Telukjustru mendukung terjadinya kudeta yang anti demokrasi. Bahkan, Perdana Menteri Turki Recep Tayyib Erdogen menyatakan dukungan dana sebesar US$ 16 miliar dari negara-negara Arab Teluk untuk membiayai kudeta militer di Mesir. Sebuah keterbelahan dalam politik dunia Islam.
Kini masa depan politik Islam seakan mengalami antiklimaksnya. Semula para pengamat politik beranggapan telah terjadi era kebangkitan politik dunia Islam yang ditandai dengan musim semi politik dunia Arab (Arab spring) karena munculnya kepemimpinan Islam di Turki dan terjungkalnya rezim Husni Mubarak yang tentakel kediktatorannya menggurita selama lebih dari 30 tahun.
Bahkan masa depan kebangkitan dunia Islam di Indonesia pun terancam mengalami pengerdilan dengan munculnya stigma baru bagi kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir sebagai organisasi teroris/terlarang dengan berlakunya Keppres junta militer Mesir yang kembali memberlakukan UU No. 73 tahun 1956.
Pergeseran politik global
Kegagalan menjadikan Al-Qaeda sebagai simbol terorisme, sebagaimana disampaikan Mahfudz Siddiq, serta merta memunculkan aktor terorisme baru (IM). Hal ini tentu saja amat menyakitkan bagi IM di Mesir yang telah membuktikan diri bertumbuh dan berkembang sebagai sebuah entitas kekuatan politik yang demokratis dan anti anarkis. Tentu saja ini sebuah tuduhan yang sangat tidak berdasar.
Menyaksikan diamnya AS dan PBB dalam menanggapi pembantaian di Mesir, sungguh memunculkan kekhawatiran mendalam bahwa stigma terorisme yang dilekatkan junta militer kepada IM akan mendapatkan pembenaran di kemudian hari. Jika hal ini terjadi, maka Mahfudz Siddiq berkata benar bahwa akan muncul babak baru politik global.
Di mana posisi umat Islam Indonesia saat kemunculan babak baru politik global ini? Tentu kita berharap kaum Muslim Indonesia akan tetap menjadi arus utama (mainstream) dan energi besar–meminjam istilah Mahfudz Siddiq–dalam membangun lanskap politik (dunia) Islam. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan pemimpin Indonesia pada masa yang akan datang haruslah pribadi yang mampu menyatukan energi-energi yang terserak dari dunia Islam yang menjanjikan dentuman dahsyat di jagad perpolitikan dunia. Pribadi seperti Muhammad Mursi dan Recep Tayyib Erdogan dapat dijadikan model sementara saat ini yang selalu mencoba menyatukan energi-energi besar ini. Bahkan pribadi sekelas Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun mampu melakukannya jika saja menyadari Indonesia sebagai kekuatan gelombang energi politik Islam yang sangat besar. Kesadaran semacam ini setidaknya akan mampu melepaskan Indonesia dari pengaruh energi politik Barat yang terbukti tidak konsisten dalam memperjuangkan demokrasi seutuhnya.
Wallahu A‘lam.
Akselerasi dan masifnya perubahan politik dunia Islam dengan melihat model yang terjadi di Mesir tersebut memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi masa depan politik dunia Islam ditinjau dari berbagai aspeknya (sedikitnya dapat dipandang berdasarkan tiga buah tesis).
Pertama, kudeta militer terhadap pemerintahan Presiden Muhammad Mursi yang terpilih secara demokratis memunculkan spekulasi bahwa Amerika Serikat (AS) dan dunia Barat menerapkan standar ganda (double standards) dalam menerapkan demokrasi dan mengutuk anti demokrasi (kudeta militer) sehingga berdampak pada beban ganda (double burden) bagi dunia Islam yang mulai meyakini masa depan demokrasi tapi kini merasakan perih dan sakit akibat dari ketidakkonsistenan AS menanggapi kudeta yang jelas-jelas merupakan antiklimaks dari demokrasi.
Kedua, pergolakan politik di Mesir segera memunculkan spekulasi bahwa proses politik dan demokrasi dunia Islam akan senantiasa mengalami erosi, guncangan dan destruksi dari dalam dan dari luar sehingga akan berdampak pada pengerdilan pertumbuhan dan perkembangan perpolitkan dunia Islam itu sendiri. Munculnya erosi politik dan demokrasi dunia Islam dapat terjadi karena perbedaan paham aliran (firqah) yang menegasikan persatuan umat Islam sedunia menjadi sebuah gerakan global yang disegani. Percaturan dan strategi politik dunia yang berporos pada AS, Uni Eropa dan sekutu-sekutunya terbukti dapat merontokkan musim semi politik dunia Arab (Arab spring) menjadi huru-hara politik yang menegangkan dan menggugurkan daun dan ranting politik dunia Islam akibat dari politik belah bambu dan politik pecah belah (devide et impera) yang diterapkan poros AS..
Ketiga, pergolakan dan instabilitas politik di Mesir memunculkan optimisme dan sekaligus pula pesimisme akan masa depan moderasi politik dunia Islam. Sisi optimisme ini setidaknya dapat kita lihat dari pandangan politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mahfudz Siddiq yang beranggapan bahwa munculnya pertarungan dan perbenturan ideologis tidak akan mampu menyurutkan langkah dan masa depan politik Islam. Bahkan menurutnya Islam dan ummatnya senantiasa memiliki simpanan energi besar untuk semua jenis pertarungan. Keyakinan Mahfudz Siddiq ini sekaligus memposisikan dunia Islam sebagai kekuatan politik yang tidak akan pernah padam sepanjang masa dan semburan magma politik dunia Islam akan memunculkan lanskap politik baru dunia. Namun sebaliknya, tidak sedikit pula yang memandang pergolakan politik di Mesir sebagai indikasi kegagalan masa depan politik Islam dan bahwa selamanya Islam disebut sebagai tidak kompatibel dengan demokrasi. Sehingga memunculkan ide bahwa sistem khilafah yang dapat lebih diterima bagi masa depan politik Islam di masa depan tanpa reserve. Optimisme dan pesimisme ini sekaligus dapat memunculkan tantangan tersendiri dalam menata sistem pergerakan politik Islam di masa depan.
Benturan peradaban baru
Pergolakan politik Mesir seakan membangkitkan kembali tesis Samuel P. Huntington bahwa antara Barat dan dunia Islam memang akan senantiasa mengalami sebuah benturan peradaban (the clash of civilization). Meskipun sesungguhnya tesis ini dapat dibantah dan bahwa yang terjadi sesungguhnya bukanlah sebuah benturan peradaban melainkan benturan kepentingan antara Barat (poros AS) dan timur (dunia Islam). Benturan kepentingan ini timbul karena Barat selalu menunjukkan sikap hipokritnya dalam menegakkan nilai-nilai demokrasi dan enggan mengadopsi nilai-nilai dunia Islam. Hipokritisme dunia Barat inilah yang menurut Mahfudz Siddiq sebagai biang kerok dari kemunculan pertarungan dan perbenturan ideologis.
Jika saja AS dan juga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) konsisten dalam menegakkan demokrasi dan menyadari sekaligus mau menerima nilai-nilai Islam maka pembantaian masal (genosida) yang dilakukan junta militer di Mesir akan dapat dicegah semaksimal dan sesegera mungkin. Namun kini terjadi sebaliknya, poros AS berdiam diri dan membiarkan demokrasi terluka dan bedarah-darah. Sementara dunia Islam pun terbelah menjadi dua dalam menyikapi apa yang terjadi di Mesir: Turki, Malaysia dan beberapa negara Islam lainnya menganggapnya sebagai kudeta militer dan poros negara-negara Arab Telukjustru mendukung terjadinya kudeta yang anti demokrasi. Bahkan, Perdana Menteri Turki Recep Tayyib Erdogen menyatakan dukungan dana sebesar US$ 16 miliar dari negara-negara Arab Teluk untuk membiayai kudeta militer di Mesir. Sebuah keterbelahan dalam politik dunia Islam.
Kini masa depan politik Islam seakan mengalami antiklimaksnya. Semula para pengamat politik beranggapan telah terjadi era kebangkitan politik dunia Islam yang ditandai dengan musim semi politik dunia Arab (Arab spring) karena munculnya kepemimpinan Islam di Turki dan terjungkalnya rezim Husni Mubarak yang tentakel kediktatorannya menggurita selama lebih dari 30 tahun.
Bahkan masa depan kebangkitan dunia Islam di Indonesia pun terancam mengalami pengerdilan dengan munculnya stigma baru bagi kelompok Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir sebagai organisasi teroris/terlarang dengan berlakunya Keppres junta militer Mesir yang kembali memberlakukan UU No. 73 tahun 1956.
Pergeseran politik global
Kegagalan menjadikan Al-Qaeda sebagai simbol terorisme, sebagaimana disampaikan Mahfudz Siddiq, serta merta memunculkan aktor terorisme baru (IM). Hal ini tentu saja amat menyakitkan bagi IM di Mesir yang telah membuktikan diri bertumbuh dan berkembang sebagai sebuah entitas kekuatan politik yang demokratis dan anti anarkis. Tentu saja ini sebuah tuduhan yang sangat tidak berdasar.
Menyaksikan diamnya AS dan PBB dalam menanggapi pembantaian di Mesir, sungguh memunculkan kekhawatiran mendalam bahwa stigma terorisme yang dilekatkan junta militer kepada IM akan mendapatkan pembenaran di kemudian hari. Jika hal ini terjadi, maka Mahfudz Siddiq berkata benar bahwa akan muncul babak baru politik global.
Di mana posisi umat Islam Indonesia saat kemunculan babak baru politik global ini? Tentu kita berharap kaum Muslim Indonesia akan tetap menjadi arus utama (mainstream) dan energi besar–meminjam istilah Mahfudz Siddiq–dalam membangun lanskap politik (dunia) Islam. Oleh karena itu, sebuah keniscayaan pemimpin Indonesia pada masa yang akan datang haruslah pribadi yang mampu menyatukan energi-energi yang terserak dari dunia Islam yang menjanjikan dentuman dahsyat di jagad perpolitikan dunia. Pribadi seperti Muhammad Mursi dan Recep Tayyib Erdogan dapat dijadikan model sementara saat ini yang selalu mencoba menyatukan energi-energi besar ini. Bahkan pribadi sekelas Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun mampu melakukannya jika saja menyadari Indonesia sebagai kekuatan gelombang energi politik Islam yang sangat besar. Kesadaran semacam ini setidaknya akan mampu melepaskan Indonesia dari pengaruh energi politik Barat yang terbukti tidak konsisten dalam memperjuangkan demokrasi seutuhnya.
Wallahu A‘lam.
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com