Tarqiyah : Balasy, dalam bahasa percakapan Mesir sehari-hari berarti cuma-cuma atau gratis. Bisa pula berarti, percuma dan sia-sia alias nihil. Kata ini biasa digunakan untuk transaksi jual beli, atau apapun, hingga tak jarang terucap saat terpantik perseteruan di antara dua kubu. Balasy, sia-sia sudah.
Wallahu A‘lam.
Untuk apa ratusan korban tewas dan ribuan terluka dalam revolusi dan demonstrasi damai oleh kedua kubu berseberangan di Mesir, pro dan antikudeta. Kembalikan ‘tahta’ Mursi sebagai orang nomor satu di negeri piramid itu? Nyaris mustahil. Atau sebaliknya untuk mendukung resolusi militer? Kosong belaka. Gengsi dan ego, lebih mengalahkan kompromi sejak awal dalam proses transisi demokrasi di Mesir.
Kedua belah kubu, Islamis dan liberalis berkuasa yang didukung oleh militer, bukannya duduk di meja perundingan dan bersepakat. Malah unjuk kekuatan dan adu pencitraan massa. Saling lempar pernyataan konfrontatif. Ironisnya, militer bukannya bersikap dewasa, malah menyerukan demonstrasi tandingan. Balasy!
Masing-masing pihak, mencari jalan untuk menjegal rivalnya, saling menjauhkan dari berkuasa dan duduk di pemerintahan. Cerita masyhur yang beredar di kalangan para jurnalils Mesir, bahwa kudeta oleh militer yang digawangi oleh Abd el-Fatah el-Sisi, adalah ulah para liberalis dan sekularis yang menggandeng militer. Bagi mereka, agama bukan dasar negara. Fakta ini diperkuat oleh pengakuan tokoh sekuler, Muna Makram Abid di hadapan Institut Studi Arab Afrika sebelum kudeta.
Di satu sisi, ketika peluang dialog dan kompromi masih terbuka, jauh sebelum peristiwa di Raba el-Adawia meletus, justru tak dipergunakan secara baik. Para Islamis di Mesir lebih memilih bersikap rigid meletakkan agama dalam negara, sementara di sisi lain, kaum liberalis alergi terhadap apapun yang berbau agama. Apalagi, keberadaan para Islamis di pemerintahan legislatif, yudikatif, dan eksekutif. Target utama liberalis, hanya satu, menghilangkan eksistensi Islamis di pemerintahan. Apapun cara dan medianya.
Tetapi, ideologi liberal yang diusung oleh para liberalis itu pun bias. Ideologi humanisme, keadilan, dan kesetaraan, atau apalah namanya, nyatanya tidak konsisten dan berbanding lurus dengan sikap mereka.
Untungnya, ada jaringan televisi aljazirah yang menguak kelicikan liberalis. Stasiun yang berpusat di Qatar itu, masih menyimpan rekaman bukti inkonsistensi tokoh liberal. Salah satunya adalah pernyataan Perdana Menteri Transisi Mesir saat ini, Hazem el-Bablawi. Terutama sikapnya atas tragedi Rab’a el-Adawia.
Sosok yang pernah duduk di Kabinet Essam Sharaf tersebut, pernah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai menteri keuangan. Pengunduran dirinya pada Oktober 2011 ini, sebagai bentuk protes atas bentrokan di distrik Maspero, Kairo yang melibatkan polisi militer dan demonstran Koptik. Peristiwa itu, mengakibatkan 28 orang tewas.
Namun, saat ratusan korban berjatuhan dari pendukung Mursi, nyali el-Bablawi menciut. Jangankan pernyataan mundur, reaksi penolakan pun tidak keluar dari tokoh paruh baya itu. Ia memilih bungkam dan menuntup mata. Seolah-olah, ‘pembantaian’ itu tak pernah terjadi. Sama diamnya, seperti media-media pro pemerintah transisi.
Jika pun ada, rententan pembenaran disiapkan. Para Islamis itu, klaim liberalis yang disokong militer, memang ‘melawan hukum’. Mereka dianggap teroris, anarkis, penyebab kematian puluhan tentara di Sinai. Lantas, tepatkah kaum ibu, anak-anak, remaja, bahkan pemuda-pemudi yang berkumpul di Perempatan Raba el-Adawia, sepatutnya ‘diteroriskan’?
Ini adalah tragedi terburuk adalam sejarah demonstrasi Mesir. Demonstrasi besar-besaran kala Gamal Abd el-Nasir memimpin, sekira 1967 pun, hanya memakan korban tewas dua orang. Begitu pula Revolusi 25 Januari. Pemandangan tak mengenakkan terlihat pula, saat puluhan preman balthaji, yang didukung militer pimpinan el-Sisi, mengepung puluhan demonstran yang terjebak di Masjid el-Qaid Ibrahim, Iskandaria.
Jika kedua belah pihak tak menahan diri, maka skenario perang saudara mungkin saja meletus. Paling diuntungkan tak lain adalah pihak-pihak yang berkepentingan dengan Mesir yang strategis dari geo politik dan ekonominya di kawasan. Ketidakstabilan tersebut akan mengalihkan perhatian dunia dan kawasan, akan isu penjajahan Israel atas Palestina.
Hentikan kekerasan dan serahkan pelanggaran militer ke pengadilan. Apalagi, bukti-bukti arogansi dan kriminalitas militer telah dikantongi. Selain itu, tak ada cara yang tepat selain berkompromi. Kompromi bukan soal siapa menang dan siapa kalah, siapa mengakui legalitas kepresidenan siapa. Melainkan yang paling penting dan mendasar adalah mempertahankan eksistensi negara dan mengedepankan kepentingan bersama.
Tetapi, tampaknya justru kompromi itu akan sulit terwujud dalam waktu dekat. Ini bila melihat penolakan militer dan pentolan Revolusi 6 April terhadap inisiatif rekonsiliasi yang dipelopori oleh Muhammad Salim el-Awa beserta sejumlah tokoh, negarawan, pakar hukum, ulama, dan figur-figur Revolusi 25 Januari.
Inisiatif itu menawarkan beberapa poin kompromi, antara lain menempatkan Mursi sebagai perdana menteri sementara, berikutnya pemilihan anggota dewan dalam 60 hari, dan pemberlakuan konstitusi hasil referendum 2012. Bagi liberalis dan militer, kembalinya Mursi yang mewakili kubu Islamis, jelas mustahil.
Apalagi, Mursi, menurut militer dituding sebagai buron yang kabur dari Penjara Lembah el-Nazron, yang berada di Barat Laut Kairo saat gelombang demonstrasi pelengseran Mubarak berkecamuk 2011. Kembali ke konstitusi 2012, apalagi. Konstitusi itu, merupakan produk kubu Islamis, sudah barang tentu para liberalis itu alergi.
Dalam beberapa hal, hidup adalah soal kompromi. Dialektika hitam dan putih, jahat dan baik, dosa dan pahala, adalah dinamikia hidup dan niscaya. Untuk apa demokrasi atau atas nama dan demi apapun, jika masing-masing kubu saling bunuh, mematikan satu sama lain. Sekali lagi, balasy!Oleh
Nashih Nashrullah/ Redaktur Republika
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com