GemaDakwah - "Apakah ada
yang bisa memberikan pencerahan baik secara dalil alquran, hadits, fatwa MUI
atau apapun bagaimana sebenarnya muslim yang ikut merayakan Natal ( bukan ikut
dalam ibadah Natal).
Ada yang mengatakan
itu akan merusak aqidah, akan tetapi ada juga yang mengatakan lemah sekali
imannya kalau hal seperti itu bisa merusak aqidah.
Iman umat Islam tak
mungkin bisa keropos hanya gara-gara mengucapkan selamat Natal atau ikut dalam
perayaan Natal. Iman umat Islam justru akan diperkaya dalam dialog antarbudaya
dan antaragama.
Sebenarnya Boleh
atau tidak ya ? Mohon maaf sebelumnya saya sangat membutuhkan pencerahan bukan
perdebatan." (Pembaca Islamedia)
Jawaban:
Bismillah wal
hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Ashhabihi
wa Man waalah, wa ba’d:
Untuk mengetahui
batasan-batasan pergaulan muslim dan non muslim, maka panduan kita adalah Al
Quran dan As Sunnah, sebagai rujukan tertinggi umat Islam dan pedoman hidup
bagi kaum muslimin. Bukan pemikiran untung rugi masing-masing manusia yang
subjektif.
Perayaan
Keagamaan Adalah Wilayah Aqidah Bukan Muamalah
Persepsi ini harus
dibangun dalam pemikiran kaum muslimin, bahwa perayaan keagamaan adalah masalah
aqidah, bukan masalah muamalah (hubungan interaksi sosial), bukan pula budaya.
Dalam masalah aqidah kita memiliki batasan-batasan yang jelas, yakni:
لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Untukmu
agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al Kafirun (109):
6)
Tidak sedikit kaum
muslimin yang keliru dalam menempatkan teks-teks agama. Mereka berdalih dengan
ungkapan: Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi
seluruh alam). Ungkapan ini benar jika ditempatkan dalam hubungan sosial,
seperti pinjam meminjam, hutang piutang, kerja sama dalam kebaikan sosial, dan
yang semisalnya. Dalam hal ini Islam sangat membuka diri dan luwes. Bahkan
dalam hukum Islam, kaum kafir dzimmi mendapatkan perlindungan dari
pemerintahan Islam dan masyarakatnya. Mereka sama sekali tidak boleh diganggu,
kecuali jika mereka mengumumkan perang terhadap umat Islam.
Nah, mari kita
lihat bagaimana Al Quran dan As Sunnah menyikapi perayaan hari besar keagamaan
non muslim.
Kesetiaan Kaum
Muslimin Hanya Kepada Allah, RasulNya, dan Kaum Muslimin
Kita lihat ada
sebagian kaum muslimin yang begitu enggan dengan undangan sesama muslim, ajakan
saudaranya, dan acara sesama umat Islam, seperti majelis ta’lim dalam rangka
menggali ilmu-ilmu agama. Tetapi anehnya, mereka bersemangat dengan ajakan dan
undangan orang kafir kepada mereka. Sungguh aneh! Mereka pun merasa bangga
dengan kebersamaannya dengan orang-orang kafir tersebut. Persis seperti yang Allah
Ta’ala sindir dalam Al Quran.
Allah Ta’ala
berfirman:
“(yaitu)
orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin.
Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua
kekuatan kepunyaan Allah.” (QS. An Nisa (4):139)
Ayat lainya:
“Sesungguhnya
wali kalian hanyalah Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman yang menegakkan
shalat, menunaikan zakat, dan mereka orang-orang yang ruku’ (tunduk). (QS. Al Maidah (5): 55)
Ayat lainnya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi wali (pemimpin-pemimpinmu); sebahagian mereka adalah pemimpin
bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi
pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya
Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah (5) : 51)
Apakah makna wali
? Wali jamaknya adalah auliya’ yang berati penolong dan kekasih.[1] Bisa
juga bermakna teman dekat, yang mengurus urusan, yang mengusai (pemimpin).[2]
Maka, jelaslah
bahwa umat Islam tidak dibenarkan menjadikan orang kafir sebagai penolong,
kekasih, teman dekat, dan pemimpin mereka. Sebab wali kita hanyalah kepada
Allah, RasulNya, dan orang-orang beriman.
Ikut merayakan dan
menghadiri hari raya mereka merupakan salah satu bentuk keakraban dengan mereka
dalam hal keagamaan. Ini semua tercela. Kita terbuai dengan perangkap syetan
yang ada dibalik istilah toleransi yang tidak pada tempatnya. Ditambah lagi, khususnya
Natal, mereka menyebut apa yang mereka lakukan adalah budaya, atau
dialog antar budaya, bukan ritual keagamaan. Ini merupakan talbis
(perangkap) dan syubhat pemikiran yang menggelayuti pemikiran mereka.
Dialog antar budaya bukan dengan mengikuti acara hari besar non muslim, yang
merupakan simbol utama sebuah agama. Bukan duduk bersimpuh mendengarkan
ayat-ayat mereka. Bukan ikut berdiri ketika mereka berdiri dan duduk ketika
mereka duduk, dan bernyanyi ketika mereka nyanyi, lalu memakan makanan ritual
keagamaan mereka, bertepuk tangan menyanjung mereka, dan ikut berbahagia atas
perayaan mereka. Itu bukan dialog yang diinginkan Al Quran, walau bisa jadi
itulah dialog yang diinginkan ala mereka. Itu bukan memperkaya aqidah, tetapi ittiba’ bil
kuffar (mengekor kepada kaum kuffar).
Dialog itu adalah
berdiskusi, tanya jawab, munazharah, debat yang baik, agar mereka mau
menerima Islam; baik menerima menjadi agama mereka, atau menerima Islam
sebagai agama yang eksis dan mereka mau
berdampingan dengan tidak saling menganggu.
Memperkaya aqidah
adalah dengan banyak-banyak mengkaji Al Quran melalui para ahlinya, mempelajari
As Sunnah, mempelajari sejarah para nabi dan orang-orang shalih, hidup bersama
orang shalih dan kaum beriman, dan berbanggalah dengan itu.
Memperkaya aqidah
bukan dengan berbasa basi dengan kekafiran dan penyimpangan mereka, bukan
dengan mengikuti perayaan mereka, dan justru berbangga dengan itu, ini adalah
sinkretisme yang dibaluti toleransi agama yang bukan pada tempatnya.
Lalu, yang terpenting
adalah bahwa larangan mengikuti hari raya mereka adalah bagian dari ta’abbudi
(peribadatan) yang manshush ‘alaih (disebutkan dalam nash), yang
sikap kita adalah dengar dan taat. Turun
atau tidak keimanan Anda, tetap stabil
atau labil keadaan iman Anda, maka larangan tersebut tetaplah berlaku. Larangan
tersebut tetap ada walau pelakunya adalah seorang yang merasa sangat shalih dan
mukmin, dan mampu menjaga keimanannya.
Peringatan Allah
Ta’ala Bagi Kaum Muslimin
Jauh-jauh hari, 15
abad yang lalu, Al Quran telah memberikan panduan bagii umatnya untuk
melindungi aqidahnya, yakni untuk tidak mengikuti mereka, tidak memenuhi ajakan
mereka dalam hal aqidah dan keagamaan.
Namun, entah ke mana dan di mana ayat-ayat ini dalam sanubari umat Islam?
Allah Ta’ala
berfirman:
“Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.” (QS. Al Isra’ (17): 36)
“Sebahagian
besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada
kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka
sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran.” (QS. Al
Baqarah (2): 109)
Dalam ayat lain:
“Hai orang-orang
yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al
Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu
beriman.” (QS. An Nisa (4): 100)
Ayat ini dengan
jelas memperingatkan umat Islam untuk tidak mengikuti perilaku orang kafir,
sebab niscaya mereka akan mengembalikan orang beriman menjadi kafir setelah
beriman.
Imam Ibnu Katsir
mengatakan:
يحذر تعالى
عباده المؤمنين عن سلوك طَرَائق الكفار من أهل الكتاب،
ويعلمهم بعداوتهم لهم في الباطن والظاهر
“Allah Ta’ala
memberikan peringatan kepada hamba-hambaNya yang beriman tentang jalan dan perilaku
orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani), dan
memberitahu mereka tentang permusuhan mereka terhadap kaum beriman, baik yang
di hati atau yang ditampakkan.”[3]
Al Quran Melarang
Umat Islam Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
Dalam Al Quran,
mengikuti hari raya mereka diistilahkan dengan memberikan kesaksian palsu
(Az Zuur). Allah Ta’ala
telah menegaskan demikian:
“Dan orang-orang
yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan
(orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al Furqan (25): 72)
Tentang makna ayat
ini, Abu Bakar Al Khalal
meriwayatkan dalam Al Jami’, dari sanadnya sendiri dari Muhammad bin
Sirin, tentang makna: “Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian
palsu .., katanya: itu adalah
menghadiri Sya’anin.
Sya’anin adalah hari raya Nasrani, mereka merayakannya dalam rangka mengenang
kembali masuknya Isa Al Masih ke Baitul Maqdis.
Begitu pula yang
disebutkan dari Mujahid, katanya: “Mengikuti hari-hari raya orang musyrik.”[4]
Begitu juga yang
dikataka oleh Rabi’ bin Anas, katanya: “Mengikuti hari-hari raya orang
musyrik.”
Semakna dengan ini,
apa yang diriwayatkan dari Ikrimah, katanya: “(Tidak melakukan) permainan yang
dahulu mereka lakukan ketika jahiliyah.”
Al Qadhi Abu Ya’la
mengatakan: “Ayat ini berbicara tentang larangan menghadiri hari raya
orang-orang musyrik.”
Adh Dhahak juga
mengatakan: “(tidak) mengikuti hari raya orang musyrik.” Sementara Amru bin
Murrah mengatakan: “Mereka tidak ikut bersama kaum musyrikin dan tidak membaur
bersama mereka.” Lihat semua tafsir ini
dalam kitab Iqtidha’ Ash Shirath Al Mustaqim. [5]
As Sunnah Telah Melarang Umat Islam
Menyerupai dan Mengikuti Hari Raya Orang Kafir
Ada dua pembahasan
dalam bagian ini. Pertama, larangan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam menyerupai orang kafir. Kedua, larangan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengikuti hara raya orang kafir. Larangan berpartisipasi
dalam perayaan hari raya orang kafir sangat kuat. Jangankan ikut andil, sekadar
menyerupai mereka saja tidak dibenarkan. Ini membuktikan betapa kuat agama ini
dalam melindungi umatnya, dari aqidah, kebiasaan, dan perilaku orang-orang
kafir.
Pertama,
Larangan Menyerupai Orang Kafir
Dari Ibnu Umar Radhiallahu
‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ
تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang
menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk kaum tersebut.”[6]
Imam As Sakhawi
mengatakan ada kelemahan dalam hadits ini,
tetapi hadits ini memiliki penguat (syawahid), yakni hadits
riwayat Al Bazzar dari Hudzaifah dan Abu Hurairah, riwayat Al Ashbahan dari
Anas bin Malik, dan riwayat Al Qudha’i dari Thawus secara mursal.[7] Sementara, Imam Al ‘Ajluni mengatakan, sanad
hadits ini shahih menurut Imam Al ‘Iraqi dan Imam Ibnu Hibban, karena
memiliki penguat yang disebutkan oleh Imam As Sakhawi di atas.[8] Imam
Ibnu Taimiyah mengatakan hadits ini jayyid (baik). Al Hafizh Ibnu Hajar
mengatakan sanadnya hasan.[9] Demikian status hadits ini.
Oleh karena itu
tidak dibenarkan menyerupai mereka dalam urusan agama, terlebih mengikuti perayaan hari besar, yang merupakan hari
utama mereka.
Imam Al Munawi dan
Imam Al ‘Alqami menegaskan hal-hal yang termasuk penyerupaan dengan orang
kafir: “Yakni berhias seperti perhiasan zhahir mereka, berjalan seperti mereka,
berpakaian seperti mereka, dan perbuatan lainnya.” [10]
Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah bahkan mengatakan, dan ini merupakan
perkataan Imam Ahmad bin Hambal juga, bahwa hadits ini merupakan dalil, paling
sedikit kondisi penyerupaan dengan mereka merupakan perbuatan haram, dan
secara zhahirnya bisa membawa pada kekufuran, sebagaimana ayat: “Barangsiapa
di antara kalian menjadikan mereka sebagai wali, maka dia telah menjadi bagian
dari mereka.” [11]
Dalam hadits lain, Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَيْسَ مِنَّا
مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
Sebagaimana kata
Imam At tirmidzi, Pada dasarnya hadits ini dhaif, karena dalam
sanadnya terdapat Ibnu Luhai’ah seorang perawi yang terkenal kedhaifannya. Namun,
hadits ini memiliki berapa syawahid (penguat), sehingga Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al Albani menghasankan hadits ini dalam berbagai kitabnya.[13] Begitu
pula yang dikatakan Syaikh Abdul Qadir Al Arna’uth, bahwa hadits ini memiliki syawahid
yang membuatnya menjadi kuat.[14]
Berkata Syaikh
Abdurrahman Al Mubarakfuri tentang hadits ini:
لَا تَشَبَّهُوا بِهِمْ جَمِيعًا فِي
جَمِيعِ أَفْعَالِهِمْ
“Janganlah
kalian semua menyerupai mereka dalam segala perilaku mereka.”[15]
Tentu maksudnya
adalah segala perilaku yang terkait dengan agama dan simbol agama mereka, baik
acara keagamaan, pakaian keagamaan, dan lainnya. Namun, untuk perilaku di luar
itu, yang terkait dengan kemaslahatan dunia dan kemakmuran manusia, seperti
teknologi, ilmu pengetahuan, strategi perang, dan semisalnya, maka Islam
membolehkan mengambil manfaat dari mereka.
Ketika perang Ahzab
yang biasa juga disebut perang Khandaq (parit), strategi yang diterapkan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan sahabatnya adalah strategi
menggali Khandaq (parit) yang merupakan cara orang Persia (Majusi), atas
usul sahabat Nabi, Salman Al Farisi Radhiallahu ‘Anhu. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam juga pernah menggunakan baju Romawi yang
sempit padahal saat itu Romawi adalah Nasrani, sebagaimana diriwayatkan oleh
Imam At Tirmidzi.[16]
Kedua, larangan
Mengikuti Perayaan Hari Besar Orang Kafir
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sudah melarang umatnya untuk mengikuti hari
raya mereka. Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda ketika hari Id:
إِنَّ لِكُلِّ
قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Sesungguhnya setiap kaum
memiliki hari raya, dan hari ini adalah hari raya kita.”[17]
Maka, hari raya
umat Islam adalah hari raya yang telah ditetapkan oleh Allah dan RasulNya, saat
itulah kaum muslimin merayakan kebahagiaan mereka, kesenangan mereka, berhibur
dari, makan-makanan yang enak dan lainnya. Bukan pada hari raya agama orang
lain, baik Yahudi, Nasrani, Konghucu, Budha, Hindu, dan agama lainnya.
Secara khusus, Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang umat Islam mengikuti hari
raya mereka.
Dari Anas bin Malik
Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:
كَانَ لِأَهْلِ الْجَاهِلِيَّةِ يَوْمَانِ فِي كُلِّ سَنَةٍ يَلْعَبُونَ
فِيهِمَا فَلَمَّا قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ
قَالَ كَانَ لَكُمْ يَوْمَانِ تَلْعَبُونَ فِيهِمَا وَقَدْ أَبْدَلَكُمْ اللَّهُ بِهِمَا
خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْفِطْرِ وَيَوْمَ الْأَضْحَى
“Dahulu orang
jahiliyah memiliki dua hari untuk mereka bermain-main pada tiap tahunnya.”
Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, dia
bersabda: “Dahulu Kalian memiliki dua hari yang kalian bisa bermain-main saat
itu. Allah telah menggantikan keduanya dengan yang lebih baik dari
keduanya, yakni hari Fithri dan hari
Adha.”[18]
Al Hafizh Ibnu
Hajar, dalam Fathul Bari mengatakan hadits ini sanadnya shahih.[19] Syaikh
Al Albani juga menshahihkannya dalam Ash Shahihah.[20]
Pada masa
jahiliyah, kaum musyrikin memiliki dua hari, yakni Nairuz dan Mihrajan.
Berkata Imam Abu Thayyib Syamsul Haq Al ‘Azhim:
“Dilarang (bagi
umat Islam) mengadakan permainan dan berbahagia pada dua hari itu yakni Nairuz
dan Mihrajan. Hadits ini juga terdapat larangan yang halus dan perintah untuk
beribadah, karena kebahagiaan hakiki terdapat dalam ibadah.”
Lalu, disebutkan
perkataan Al Muzhhir:
“Ini merupakan
dalil bahwa menghormati Nairuz dan
Mihrajan, dan hari raya orang-orang muysrik yang lain, adalah terlarang.”[21]
Al Hafizh Ibnu
Hajar Rahimahullah mengatakan: “Dari hadits ini disimpulkan bahwa adalah
hal yang dibenci berbahagia menyambut hari raya orang musyrik dan menyerupai
mereka, dan telah sampai perkataan Syaikh Abu Hafsh Al Kabir An Nasafi dari
kalangan Hanafiyah: ‘Barangsiapa yang memberikan hadiah kepada orang
musyrik demi menghormati hari raya mereka, adalah perbuatan kufur kepada Allah
Ta’ala.”[22]
Bahkan, lebih tegas
lagi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah melarang seorang muslim membantu menjual
keperluan orang Islam yang ingin ikut-ikutan hari raya mereka pada hari raya orang kafir, baik berupa
makanan, pakaian, dan lainnya, sebab itu
merupakan pertolongan atas kemungkaran.[23]
Peringatan
Hari raya merupakan
simbol utama dari sebuah agama. Bukan hanya simbol tapi juga waktu kebanggaan
bagi masing-masing agama. Maka, perilaku mengikuti, merayakan, dan memperingati
hari raya orang kafir merupakan perilaku melarutkan diri dalam sebuah simbol
utama dan hari kebanggaan mereka. Maka, tidak syak (ragu) lagi
keharamannya, bahkan sebagian ulama mengatakan kufur seperti yang kami sebutkan
di atas. Apalagi jika seorang muslim ikut-ikutan acara ritual yang ada
di pelaksanaan hari raya tersebut seperti ikut kebaktian, ikut melagukan lagu
puji-pujian mereka, ikut ke klenteng atau tepekong untuk sembahyang, dan
semisalnya. Hal ini jika dilakukan karena kesadaran, tidak dipaksa, dan sudah
disampaikan dalil kepada mereka, tetapi mereka masih membandel ikut-ikutan
juga, maka ini kufur menurut ijma’
ulama. Tetapi, jika dilakukan karena kebodohannya, atau terpaksa dan dipaksa,
dan belum disampaikan dalil kepada mereka, maka belum dikategorikan kafir.
Ada pun orang Islam
yang menjadi penggembira, yang ikut-ikutan berbahagia menyambutnya walau tidak
ikut langsung dengan perayaannya, maka ini pun terlarang bahkan haram
sebagaimana dijelaskan oleh para ulama di atas.
Berikut ini fatwa Al Imam
Ibnu Qayyim Al Jauziyah Rahimahullah tentang sekedar mengucapkan selamat
hari raya agama lain –yang sebenarnya lebih ringan dibanding ikut merayakannya:
وأما التهنئة بشعائر الكفر المختصة به فحرام بالاتفاق
مثل أن يهنئهم بأعيادهم وصومهم فيقول عيد مبارك عليك أو تهنأ بهذا العيد ونحوه فهذا
إن سلم قائله من الكفر فهو من المحرمات وهو بمنزلة أن يهنئه بسجوده للصليب بل ذلك أعظم
إثما عند الله وأشد مقتا من التهنئة بشرب الخمر وقتل النفس وارتكاب الفرج الحرام ونحوه.
وكثير ممن لا قدر للدين عنده يقع في ذلك ولا يدري قبح ما فعل فمن هنأ عبدا بمعصية أو
بدعة أو كفر فقد تعرض لمقت الله وسخطه
“Adapun memberi ucapan selamat (tahniah)
pada syiar-syiar kekufuran yang khusus bagi orang-orang kafir (seperti
mengucapkan selamat natal, imlek, waisak, dll. pen) adalah hal
yang diharamkan berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin. Misalnya memberi ucapan selamat pada hari
raya dan puasa mereka seperti mengatakan, ‘Semoga hari ini adalah hari yang
berkah bagimu’, atau dengan ucapan selamat pada hari besar mereka dan yang
semacamnya. Jika memang orang yang
mengucapkan itu bisa selamat dari kekafiran, namun itu termasuk dari perkara yang diharamkan.
Ucapan selamat hari raya seperti ini pada mereka sama saja dengan kita
mengucapkan selamat atas sujud yang mereka lakukan pada salib, bahkan perbuatan
itu lebih besar dosanya di sisi Allah. Ucapan selamat semacam ini lebih
dimurkai Allah dibanding seseorang
memberi ucapan selamat pada orang yang minum minuman keras, membunuh jiwa,
berzina, atau ucapan selamat pada maksiat lainnya. Banyak orang yang kurang
paham agama terjatuh dalam hal tersebut, dan dia tidak mengetahui kejelekan
dari amalan yang mereka perbuat. Oleh karena itu, barangsiapa memberi ucapan
selamat pada seseorang yang berbuat maksiat, bid’ah atau kekufuran, maka
dia layak mendapatkan kebencian dan
murka Allah Ta’ala.” (Imam Ibnul Qayyim, Ahkam Ahlu Adz Dzimmah, Hal.
162. Cet. 2. 2002M-1423H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Demikianlah penjelasan
Al Quran, As Sunnah, dan keterangan para Imam kaum muslimin. Semoga bermanfaat
bagi yang menginginkan kebaikan bagi agama dan dunianya.
Wallahu A’lam
Farid Nu'man Hasan
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com