Israel Berkisah Tentang Pemisahan Sudan Selatan[1]
Selama kita tidak mampu untuk membela mempertahankan Sudan tetap bersatu, maka barangkali ini memberikan pelajaran bagi kita. Barangkali pemisahan Sudan Selatan ini bukanlah akhir dari segalanya, namun ia bagian dari silsilah pemecahan dunia Islam-Arab dan pengepungan terhadap Mesir.
(1)
Sejak awal, para pemimpin gerakan Zionisme tahu bahwa minoritas di dunia Islam-Arab menjadi sekutu bagi Israel. Dengan begitu mereka merencanakan untuk membuat jembatan penghubung dengan kelompok minoritas ini. Orang-orang Zionis melakukan kontak dengan suku Kurdi di Irak, dengan penduduk Sudan Selatan, dengan Kristen Maronit Lebanon, suku Kurdi di Suriah dan Kristen Koptik di Mesir.
Dalam rancangan tersebut, Zionisme berpegang pada prinsip sebagaimana ungkapan orang Arab, “pecah belah, Anda akan berkuasa” (sebagaimana yang dulu digunakan oleh penjajah Belanda menjajah Indonesia dengan nama politik devide et ampere, politik memecah belah, pent.). Para pemimpin Zionis memandang cara itu adalah cara yang paling jitu untuk memecah-belah dunia Islam-Arab dengan menciptakan sejumlah eksistensi separatis didalamnya. Dengan tujuan untuk membagi kekuatan di kawasan sehingga bisa membentuk negara-negara kecil yang menggerogoti persatuan dan kekuasaan kawasan. Untuk mempermudah bagi Israel bekerjasama dengan negara-negara tetangga non Arab. Yang kemudian dikuasainya satu demi satu.
Hal ini dipertegas bahwa semua gerakan separatis yang dipelopori oleh kelompok-kelompok etnis di dunia Islam-Arab mendapat dukungan dan bantuan dari aparat Israel yang diberikan tugas sebagai penanggungjawab bagi gerakan-gerakan separatis tersebut. Sebagaimana yang terjadi dengan suku Kurdi di Irak dan gerakan separatis di Sudan Selatan.
Sikap ini bisa membantu memahami strategi Israel terhadap kawasan Arab yang dijadikan target mendorong kelompok-kelompok minoritas untuk menampakkan jati dirinya, yang pada akhirnya bisa menentukan sendiri berpisah dari negara induk.
Kondisi ini didukung lagi oleh situasi kawasan Arab, berbeda dengan apa yang diklaim oleh orang Arab sendiri, tidak memiliki kesatuan kebudayaan dan peradaban. Akan tetapi bercampur dan beragam kebudayaan, bahasa, agama dan etnis. Biasanya Israel memandang kawasan Arab ini sebagai mozaik menggabungkan banyak suku, etnis dan sekte. Ada Arab, Persia, Turki, Armenia, Israel, Kurdi, Baha’i, Druz, Yahudi, Protestan, Maronit, Alawi, Syi’ah, Sunnah dan lain-lain.
Peta kawasan di mata Israel adalah sebuah tanah dihuni oleh sekelompok minoritas yang tidak memiliki sejarah yang bisa menyatukannya. Sehingga histori yang sesungguhnya adalah sejarah minoritas masing-masing, bukan kesatuan di kawasan tersebut. Tujuan dari itu adalah mewujudkan dua target utama, yaitu:
Pertama: Menolak pemahaman nasionalisme Arab yang menyerukan kesatuan Arab. Hal itu dikarenakan nasionalisme Arab, dalam pandangan Israel, adalah sebuah ide yang tidak jelas. Bahkan pada dasarnya tidak ada istilah semacam itu. Menurut Israel, kesatuan Arab itu cerita khayalan belaka. Masih menurut mereka, orang Arab berbicara tentang bangsa yang satu, akan tetapi berperilaku sebagai negara-negara yang terpisah. Memang benar, yang menyatukan mereka adalah bahasa dan agama. Dua hal ini yang menyatukan bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol tanpa harus menciptakan bangsa yang satu.
Kedua: Pembenaran bagi legalitas eksistensi Zionis Israel di kawasan. Karena, sesuai dengan orientasi di atas , maka Israel menjadi kesatuan dari kebangsaan dan bahasa. Sementara membayangkan adanya satu kesatuan antara Israel dengan negara-negara Arab adalah suatu hal yang mustahil. Maka suatu hasil yang masuk akal adalah menjadikan setiap bangsa mempunyai negaranya sendiri-sendiri. Dari sisi ini, Israel akan memperoleh legalitasnya, karena menjadi salah satu negara nasionalis di kawasan.
(2)
Penulis bukan pemilik paragraf-paragraf lama, namun penulis ingin mengutip teks dari buku berjudul “Israel dan gerakan pembebasan Sudan Selatan” yang diterbitkan tahun 2003 oleh pusat kajian timur tengah dan afrika “Dayan”, ditulis oleh Moshe Fergi, mantan kanselir dinas intelijen luar negeri Israel, Mossad. Penulis sudah sering mengutip tulisan Moshe, akan tetapi penulis menilai mengulang kembali tulisan itu di saat penting sekarang ini, memiliki rasa tersendiri. Karena kita tengah menanti panen yang sudah ditanam oleh Israel dan pasukan dunia yang mendukungnya sejak tahun 50-an abad lalu.
Penulis meminta izin sementara memasukan “iklan singkat” dari tulisan Fergi untuk kita membaca teks lain mengutip kesaksian mantan menteri keamanan dalam negeri Israel, Avi Dighter. Dalam kesaksian itu menyebut Sudan dalam ceramahnya di tahun 2008 di depan sekolah tinggi riset keamanan nasional Zionis.
Teman kita ini bercerita tentang Sudan seperti berikut; Disana ada prediksi Israel sejak kemerdekaan Sudan di pertengahan tahun 50-an bahwa negara ini tidak diizinkan, walaupun jauh dari kita, untuk menjadi kekuatan tambahan bagi kekuatan dunia Arab. Karena sumber alamnya, jika terus berjalan dalam kondisi stabil, ia akan menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan.
Dalam kaitan prediksi itu, Israel berikut kekuatan dan aparat yang dimilikinya akan mengarah ke wilayah Sudan untuk memperbesar dan mempertajam krisis di negara itu. Jika memang terjadi krisis, krisisnya tajam susah untuk dicarikan solusinya.
Sudan, dalam pandangan Israel merupakan wilayah strategis bagi Mesir. Hal ini nampak jelas pascaperang tahun 1967 dimana Sudan, Mesir dan Libya berubah menjadi markas latihan dan tempat penyimpanan senjata pasukan udara dan darat Mesir. Perlu juga diketahui Sudan pernah mengirim ke wilayah Qina ketika perang habis-habisan yang dikumandangkan oleh Mesir melawan Israel tahun 1968 dan 1970.
Atas kedua alasan di atas, tambah Dighter, Israel harus berusaha untuk melemahkan Sudan dan mencabut inisiatif dari Sudan karena ketidakmampuannya membangun negara kuat bersatu. Prespektif strategis Israel ini akan membentuk salah satu kebutuhan mendukung dan mengorganisasi keamanan nasional Israel. (Perlu dicatat bahwa ceramah itu disampaikan pada tahun 2008 setelah sekitar 30 tahun dari perjanjian damai antara Mesir dan Israel tahun 1979).
Ketika ditanya tentang masa depan Sudan, orang Israel ini menjawab dengan mengatakan;”Disana ada kekuatan dunia yang dipimpin oleh Amerika bersikeras untuk melakukan campur tangan intensif di Sudan agar wilayah Sudan Selatan bisa merdeka. Begitu juga wilayah Darfur, sama seperti yang terjadi dengan Kosovo. Karena situasi di Sudan Selatan tidak banyak berbeda dengan kondisi di Kosovo karena kedua wilayah ini sama-sama ingin merdeka dan menentukan nasib sendiri setelah penduduk kedua wilayah tersebut berperang demi merebut kemerdekaan tadi.
(3)
Dukungan Israel kepada kelompok separatis Sudan Selatan, dalam catatan Fergi, dilakukan melalui 5 fase, yaitu:
Fase Pertama: dimulai pada tahun 50-an, langsung setelah berdirinya negara Israel. Selama masa itu, yang mencapai hampir satu dekade, Israel konsen pada bantuan kemanusiaan (obat-obatan, bahan-bahan makanan dan dokter) juga konsen memberikan pelayanan kepada pengungsi yang kabur ke Ethiopia. Pada fase ini, upaya pertama kali untuk menciptakan friksi antar suku di Sudan Selatan untuk memperuncing konflik. Dengan demikian bisa mendorong Sudan Selatan untuk pisah. Sejumlah komandan intelijen Israel yang bermarkas di Uganda membuka kontak hubungan dengan kepala-kepala suku untuk mengkaji peta penduduk di kawasan.
Fase Kedua: (awal tahun 60); Israel konsen dengan unsur-unsur militer rakyat dan melatihnya seni berperang di markas-markas khusus yang dibangun di Ethiopia. Pada fase ini, pemerintah Israel memiliki keyakinan bahwa melibatkan Sudan dalam perang internal sudah cukup merepotkan mereka daripada membantu Mesir dalam konflik dengan Israel. Organisasi-organisasi misionaris melakukan aktivitas yang kentara di Sudan Selatan. Hal ini mendorong Israel untuk mengirimkan unsur-unsur intelijennya ke selatan dibawah naungan lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Padahal target utamanya adalah menggalang kelompok-kelompok yang berpengaruh di masyarakat untuk dilatih melanggengkan ketegangan.
Pada fase ini juga Israel sengaja memperluas jaringan dukungannya kepada kelompok separatis yaitu dengan mensiplai senjata kepada mereka melalui wilayah Uganda. Perjanjian pertama untuk pengiriman senjata diteken tahun1962, sebagian besar adalah senjata-senjata ringan buatan Rusia yang diperoleh Israel dari sisa-sisa rampasan perang dengan Mesir tahun 1956. Aksi-aksi pelatihan pasukan Sudan Selatan terus berlangsung di Uganda, Ethiopia dan Kenya. Kemudian mendorong mereka untuk ikut serta dalam perang di perbatasan Sudan.
Fase Ketiga: yaitu dari pertengahan 60-an hingga 70-an. Dalam fase ini suplai senjata ke orang-orang Selatan terus berdatangan melalui kurir penjual senjata Israel bernama Gabi Shavin yang bekerja untuk pihak intelijen. Mereka mengirimkan truk-truk kontener berisikan senjata buatan Rusia ke kelompok separatis selatan yang mereka peroleh dari rampasan perang dengan Mesir tahun 1967. Pesawat-pesawat cargo Israel menjatuhkan senjata dan alat-alatnya itu ke lapangan markas separatis di Orang K Bol.
Israel juga mendirikan sekolah bagi komandan invanteri di (Wanji – Kabul) untuk mencetak kader-kader terbina untuk memimpin faksi-faksi separatis. Sebelumnya beberapa kelompok Israel ikut serta dalam sejumlah perang untuk menampilkan pengalaman mereka kepada orang-orang selatan. Pada fase ini juga beberapa kelompok separatis selatan dikirim ke Israel untuk mendapatkan latihan militer. Pada awal 70-an jendela lain secara resmi dibuka untuk menyampaikan bantuan Israel ke Sudan Selatan melalui Uganda.
Ketika nampak gerakan separatis ini hampir habis tahun 1969, Israel habis-habisan mendorong kelompok separatis melanjutkan peperangannya. Mereka menggunakan segala cara dan makar yang bertujuan meyakinkan orang-orang selatan bahwa mereka tengah terlibat konflik kebangsaan yang menentukan antara utara yang berkebangsaan Arab muslim lagi penjajah dengan selatan yang berkebangsaan negro Afrika Kristen dan tak beragama yang mengalami berbagai penderitaan akibat perampasan serta ketidakadilan.
Fase Keempat: dimulai akhir 70-an hingga tahun 80-an didalamnya terjadi berbagai perubahan di benua Afrika yang tak menghentikan dukungan Israel bagi kelompok separatis. Bantuan dan dukungan semakin bertambah setelah Ethiopia menjadi perlintasan terorganisir untuk suplai senjata ke Sudan Selatan. Pada fase ini muncul sosok John Garang sebagai pemimpin yang didukung penuh oleh Israel. Disambut di Tel Aviv dan dibekali dana serta senjata. Israel bersikeras untuk melatih pendukung Garang dengan berbagai seni perang. Di antara mereka yang dilatih adalah para pilot menggunakan pesawat-pesawat tempur ringan.
Fase Kelima: dimulai awal tahun 1990 dan di fase ini dukungan Israel terus berlanjut dan diperluas jangkauannya. Truk-truk kontener mulai masuk ke selatan melalui Kenya dan Ethiopia. Pihak Israel membekali orang-orang selatan dengan senjata-senjata berat anti tank dan pelontar anti pesawat. Bersamaan awal tahun 1993 koordinasi antara Israel dengan militer rakyat (Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Sudan/SPLM pimpinan John Garang, pent.) telah mencakup berbagai sektor. Baik yang berkenaan dengan pendanaan, pelatihan, persenjataan, informasi atau mengawasi pelatih-pelatih Israel dalam aksi-aksi militer.
(4)
Seperti yang pembaca lihat, dengan kesaksian mereka sendiri, Israel tidak pernah meninggalkan Sudan Selatan sedikitpun sejak separuh abad lamanya.
Catatan lain yang perlu diperhatikan adalah gerakan separatis di Sudan Selatan itu mulai muncul tahun 1955, yaitu satu tahun sebelum pengumuman kemerdekaan tahun 1956. Itu berarti bahwa separatisme saat muncul tidak ada hubungannya dengan ide penerapan syariat Islam yang didengungkan oleh pemerintahan penyelamatan Sudan (Bashir dan Turabi) tahun 1989.
Di antara catatan yang lain adalah di saat Israel mendukung penuh kepada orang-orang Selatan dengan suplai senjata, maka negara-negara Barat terus berupaya melalui upaya diplomatik untuk merancang pemisahan Sudan Selatan dengan cara referendum. Perjanjian Nevasha yang ditanda-tangani oleh pemerintahan Khartoum dengan kelompok separatis yang dimediasi oleh pemerintah Amerika, Norwegia, Inggris dan organisasi Egad. Perjanjian damai ini berhasil dilakukan melalui serangkaian perundingan-perundingan alot di Adis Ababa, Naerobi dan Aboja ibukota Nigeria. Juga perjanjian Mashcos I itu atas inisiatif yang diajukan oleh Amerika.
Sejak lebih dari separuh abad, Israel telah mempersiapkan pemisahan Sudan Selatan dengan suplai senjata di satu sisi dan di sisi lain dengan tekanan serta berbagai permainan kotor. Jika seperempat upaya dunia ini dikerahkan untuk mencarikan solusi bagi Palestina tentu sudah selesai isu tersebut dan orang-orang Palestina bisa mendapatkan hak-haknya kembali sejak dari dulu. Akan tetapi keputusan untuk menentukan nasib sendiri dan merdeka adalah halal bagi orang-orang Sudan Selatan, tapi haram bagi orang Palestina.
Mereka sudah merencanakan untuk pemisahan dan sudah bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Sementara bangsa Arab hanya bisa menjadi penonton saja dan putus asa melihat apa yang terjadi itu. Intinya, sesungguhnya siapa saja yang menanam pasti akan mendapatkan hasil kemerdekaan. Sedangkan siapa yang hanya bisa menjadi penonton dan putus asa akan mendapatkan kekecewaan, yang ini penulis harapkan tidak terulang kembali di tahun baru ini.
Oleh: Fahmi Huwaedi[1] http://www.aljazeera.net/NR/exeres/ADCA7790-770D-4F8D-823C-E1B7013CCCDF.htm
Sumber : al-ikhwan.net
Selama kita tidak mampu untuk membela mempertahankan Sudan tetap bersatu, maka barangkali ini memberikan pelajaran bagi kita. Barangkali pemisahan Sudan Selatan ini bukanlah akhir dari segalanya, namun ia bagian dari silsilah pemecahan dunia Islam-Arab dan pengepungan terhadap Mesir.
(1)
Sejak awal, para pemimpin gerakan Zionisme tahu bahwa minoritas di dunia Islam-Arab menjadi sekutu bagi Israel. Dengan begitu mereka merencanakan untuk membuat jembatan penghubung dengan kelompok minoritas ini. Orang-orang Zionis melakukan kontak dengan suku Kurdi di Irak, dengan penduduk Sudan Selatan, dengan Kristen Maronit Lebanon, suku Kurdi di Suriah dan Kristen Koptik di Mesir.
Dalam rancangan tersebut, Zionisme berpegang pada prinsip sebagaimana ungkapan orang Arab, “pecah belah, Anda akan berkuasa” (sebagaimana yang dulu digunakan oleh penjajah Belanda menjajah Indonesia dengan nama politik devide et ampere, politik memecah belah, pent.). Para pemimpin Zionis memandang cara itu adalah cara yang paling jitu untuk memecah-belah dunia Islam-Arab dengan menciptakan sejumlah eksistensi separatis didalamnya. Dengan tujuan untuk membagi kekuatan di kawasan sehingga bisa membentuk negara-negara kecil yang menggerogoti persatuan dan kekuasaan kawasan. Untuk mempermudah bagi Israel bekerjasama dengan negara-negara tetangga non Arab. Yang kemudian dikuasainya satu demi satu.
Hal ini dipertegas bahwa semua gerakan separatis yang dipelopori oleh kelompok-kelompok etnis di dunia Islam-Arab mendapat dukungan dan bantuan dari aparat Israel yang diberikan tugas sebagai penanggungjawab bagi gerakan-gerakan separatis tersebut. Sebagaimana yang terjadi dengan suku Kurdi di Irak dan gerakan separatis di Sudan Selatan.
Sikap ini bisa membantu memahami strategi Israel terhadap kawasan Arab yang dijadikan target mendorong kelompok-kelompok minoritas untuk menampakkan jati dirinya, yang pada akhirnya bisa menentukan sendiri berpisah dari negara induk.
Kondisi ini didukung lagi oleh situasi kawasan Arab, berbeda dengan apa yang diklaim oleh orang Arab sendiri, tidak memiliki kesatuan kebudayaan dan peradaban. Akan tetapi bercampur dan beragam kebudayaan, bahasa, agama dan etnis. Biasanya Israel memandang kawasan Arab ini sebagai mozaik menggabungkan banyak suku, etnis dan sekte. Ada Arab, Persia, Turki, Armenia, Israel, Kurdi, Baha’i, Druz, Yahudi, Protestan, Maronit, Alawi, Syi’ah, Sunnah dan lain-lain.
Peta kawasan di mata Israel adalah sebuah tanah dihuni oleh sekelompok minoritas yang tidak memiliki sejarah yang bisa menyatukannya. Sehingga histori yang sesungguhnya adalah sejarah minoritas masing-masing, bukan kesatuan di kawasan tersebut. Tujuan dari itu adalah mewujudkan dua target utama, yaitu:
Pertama: Menolak pemahaman nasionalisme Arab yang menyerukan kesatuan Arab. Hal itu dikarenakan nasionalisme Arab, dalam pandangan Israel, adalah sebuah ide yang tidak jelas. Bahkan pada dasarnya tidak ada istilah semacam itu. Menurut Israel, kesatuan Arab itu cerita khayalan belaka. Masih menurut mereka, orang Arab berbicara tentang bangsa yang satu, akan tetapi berperilaku sebagai negara-negara yang terpisah. Memang benar, yang menyatukan mereka adalah bahasa dan agama. Dua hal ini yang menyatukan bangsa-bangsa yang menggunakan bahasa Inggris dan Spanyol tanpa harus menciptakan bangsa yang satu.
Kedua: Pembenaran bagi legalitas eksistensi Zionis Israel di kawasan. Karena, sesuai dengan orientasi di atas , maka Israel menjadi kesatuan dari kebangsaan dan bahasa. Sementara membayangkan adanya satu kesatuan antara Israel dengan negara-negara Arab adalah suatu hal yang mustahil. Maka suatu hasil yang masuk akal adalah menjadikan setiap bangsa mempunyai negaranya sendiri-sendiri. Dari sisi ini, Israel akan memperoleh legalitasnya, karena menjadi salah satu negara nasionalis di kawasan.
(2)
Penulis bukan pemilik paragraf-paragraf lama, namun penulis ingin mengutip teks dari buku berjudul “Israel dan gerakan pembebasan Sudan Selatan” yang diterbitkan tahun 2003 oleh pusat kajian timur tengah dan afrika “Dayan”, ditulis oleh Moshe Fergi, mantan kanselir dinas intelijen luar negeri Israel, Mossad. Penulis sudah sering mengutip tulisan Moshe, akan tetapi penulis menilai mengulang kembali tulisan itu di saat penting sekarang ini, memiliki rasa tersendiri. Karena kita tengah menanti panen yang sudah ditanam oleh Israel dan pasukan dunia yang mendukungnya sejak tahun 50-an abad lalu.
Penulis meminta izin sementara memasukan “iklan singkat” dari tulisan Fergi untuk kita membaca teks lain mengutip kesaksian mantan menteri keamanan dalam negeri Israel, Avi Dighter. Dalam kesaksian itu menyebut Sudan dalam ceramahnya di tahun 2008 di depan sekolah tinggi riset keamanan nasional Zionis.
Teman kita ini bercerita tentang Sudan seperti berikut; Disana ada prediksi Israel sejak kemerdekaan Sudan di pertengahan tahun 50-an bahwa negara ini tidak diizinkan, walaupun jauh dari kita, untuk menjadi kekuatan tambahan bagi kekuatan dunia Arab. Karena sumber alamnya, jika terus berjalan dalam kondisi stabil, ia akan menjadi kekuatan yang patut diperhitungkan.
Dalam kaitan prediksi itu, Israel berikut kekuatan dan aparat yang dimilikinya akan mengarah ke wilayah Sudan untuk memperbesar dan mempertajam krisis di negara itu. Jika memang terjadi krisis, krisisnya tajam susah untuk dicarikan solusinya.
Sudan, dalam pandangan Israel merupakan wilayah strategis bagi Mesir. Hal ini nampak jelas pascaperang tahun 1967 dimana Sudan, Mesir dan Libya berubah menjadi markas latihan dan tempat penyimpanan senjata pasukan udara dan darat Mesir. Perlu juga diketahui Sudan pernah mengirim ke wilayah Qina ketika perang habis-habisan yang dikumandangkan oleh Mesir melawan Israel tahun 1968 dan 1970.
Atas kedua alasan di atas, tambah Dighter, Israel harus berusaha untuk melemahkan Sudan dan mencabut inisiatif dari Sudan karena ketidakmampuannya membangun negara kuat bersatu. Prespektif strategis Israel ini akan membentuk salah satu kebutuhan mendukung dan mengorganisasi keamanan nasional Israel. (Perlu dicatat bahwa ceramah itu disampaikan pada tahun 2008 setelah sekitar 30 tahun dari perjanjian damai antara Mesir dan Israel tahun 1979).
Ketika ditanya tentang masa depan Sudan, orang Israel ini menjawab dengan mengatakan;”Disana ada kekuatan dunia yang dipimpin oleh Amerika bersikeras untuk melakukan campur tangan intensif di Sudan agar wilayah Sudan Selatan bisa merdeka. Begitu juga wilayah Darfur, sama seperti yang terjadi dengan Kosovo. Karena situasi di Sudan Selatan tidak banyak berbeda dengan kondisi di Kosovo karena kedua wilayah ini sama-sama ingin merdeka dan menentukan nasib sendiri setelah penduduk kedua wilayah tersebut berperang demi merebut kemerdekaan tadi.
(3)
Dukungan Israel kepada kelompok separatis Sudan Selatan, dalam catatan Fergi, dilakukan melalui 5 fase, yaitu:
Fase Pertama: dimulai pada tahun 50-an, langsung setelah berdirinya negara Israel. Selama masa itu, yang mencapai hampir satu dekade, Israel konsen pada bantuan kemanusiaan (obat-obatan, bahan-bahan makanan dan dokter) juga konsen memberikan pelayanan kepada pengungsi yang kabur ke Ethiopia. Pada fase ini, upaya pertama kali untuk menciptakan friksi antar suku di Sudan Selatan untuk memperuncing konflik. Dengan demikian bisa mendorong Sudan Selatan untuk pisah. Sejumlah komandan intelijen Israel yang bermarkas di Uganda membuka kontak hubungan dengan kepala-kepala suku untuk mengkaji peta penduduk di kawasan.
Fase Kedua: (awal tahun 60); Israel konsen dengan unsur-unsur militer rakyat dan melatihnya seni berperang di markas-markas khusus yang dibangun di Ethiopia. Pada fase ini, pemerintah Israel memiliki keyakinan bahwa melibatkan Sudan dalam perang internal sudah cukup merepotkan mereka daripada membantu Mesir dalam konflik dengan Israel. Organisasi-organisasi misionaris melakukan aktivitas yang kentara di Sudan Selatan. Hal ini mendorong Israel untuk mengirimkan unsur-unsur intelijennya ke selatan dibawah naungan lembaga-lembaga bantuan kemanusiaan untuk memberikan bantuan kemanusiaan. Padahal target utamanya adalah menggalang kelompok-kelompok yang berpengaruh di masyarakat untuk dilatih melanggengkan ketegangan.
Pada fase ini juga Israel sengaja memperluas jaringan dukungannya kepada kelompok separatis yaitu dengan mensiplai senjata kepada mereka melalui wilayah Uganda. Perjanjian pertama untuk pengiriman senjata diteken tahun1962, sebagian besar adalah senjata-senjata ringan buatan Rusia yang diperoleh Israel dari sisa-sisa rampasan perang dengan Mesir tahun 1956. Aksi-aksi pelatihan pasukan Sudan Selatan terus berlangsung di Uganda, Ethiopia dan Kenya. Kemudian mendorong mereka untuk ikut serta dalam perang di perbatasan Sudan.
Fase Ketiga: yaitu dari pertengahan 60-an hingga 70-an. Dalam fase ini suplai senjata ke orang-orang Selatan terus berdatangan melalui kurir penjual senjata Israel bernama Gabi Shavin yang bekerja untuk pihak intelijen. Mereka mengirimkan truk-truk kontener berisikan senjata buatan Rusia ke kelompok separatis selatan yang mereka peroleh dari rampasan perang dengan Mesir tahun 1967. Pesawat-pesawat cargo Israel menjatuhkan senjata dan alat-alatnya itu ke lapangan markas separatis di Orang K Bol.
Israel juga mendirikan sekolah bagi komandan invanteri di (Wanji – Kabul) untuk mencetak kader-kader terbina untuk memimpin faksi-faksi separatis. Sebelumnya beberapa kelompok Israel ikut serta dalam sejumlah perang untuk menampilkan pengalaman mereka kepada orang-orang selatan. Pada fase ini juga beberapa kelompok separatis selatan dikirim ke Israel untuk mendapatkan latihan militer. Pada awal 70-an jendela lain secara resmi dibuka untuk menyampaikan bantuan Israel ke Sudan Selatan melalui Uganda.
Ketika nampak gerakan separatis ini hampir habis tahun 1969, Israel habis-habisan mendorong kelompok separatis melanjutkan peperangannya. Mereka menggunakan segala cara dan makar yang bertujuan meyakinkan orang-orang selatan bahwa mereka tengah terlibat konflik kebangsaan yang menentukan antara utara yang berkebangsaan Arab muslim lagi penjajah dengan selatan yang berkebangsaan negro Afrika Kristen dan tak beragama yang mengalami berbagai penderitaan akibat perampasan serta ketidakadilan.
Fase Keempat: dimulai akhir 70-an hingga tahun 80-an didalamnya terjadi berbagai perubahan di benua Afrika yang tak menghentikan dukungan Israel bagi kelompok separatis. Bantuan dan dukungan semakin bertambah setelah Ethiopia menjadi perlintasan terorganisir untuk suplai senjata ke Sudan Selatan. Pada fase ini muncul sosok John Garang sebagai pemimpin yang didukung penuh oleh Israel. Disambut di Tel Aviv dan dibekali dana serta senjata. Israel bersikeras untuk melatih pendukung Garang dengan berbagai seni perang. Di antara mereka yang dilatih adalah para pilot menggunakan pesawat-pesawat tempur ringan.
Fase Kelima: dimulai awal tahun 1990 dan di fase ini dukungan Israel terus berlanjut dan diperluas jangkauannya. Truk-truk kontener mulai masuk ke selatan melalui Kenya dan Ethiopia. Pihak Israel membekali orang-orang selatan dengan senjata-senjata berat anti tank dan pelontar anti pesawat. Bersamaan awal tahun 1993 koordinasi antara Israel dengan militer rakyat (Gerakan Rakyat untuk Pembebasan Sudan/SPLM pimpinan John Garang, pent.) telah mencakup berbagai sektor. Baik yang berkenaan dengan pendanaan, pelatihan, persenjataan, informasi atau mengawasi pelatih-pelatih Israel dalam aksi-aksi militer.
(4)
Seperti yang pembaca lihat, dengan kesaksian mereka sendiri, Israel tidak pernah meninggalkan Sudan Selatan sedikitpun sejak separuh abad lamanya.
Catatan lain yang perlu diperhatikan adalah gerakan separatis di Sudan Selatan itu mulai muncul tahun 1955, yaitu satu tahun sebelum pengumuman kemerdekaan tahun 1956. Itu berarti bahwa separatisme saat muncul tidak ada hubungannya dengan ide penerapan syariat Islam yang didengungkan oleh pemerintahan penyelamatan Sudan (Bashir dan Turabi) tahun 1989.
Di antara catatan yang lain adalah di saat Israel mendukung penuh kepada orang-orang Selatan dengan suplai senjata, maka negara-negara Barat terus berupaya melalui upaya diplomatik untuk merancang pemisahan Sudan Selatan dengan cara referendum. Perjanjian Nevasha yang ditanda-tangani oleh pemerintahan Khartoum dengan kelompok separatis yang dimediasi oleh pemerintah Amerika, Norwegia, Inggris dan organisasi Egad. Perjanjian damai ini berhasil dilakukan melalui serangkaian perundingan-perundingan alot di Adis Ababa, Naerobi dan Aboja ibukota Nigeria. Juga perjanjian Mashcos I itu atas inisiatif yang diajukan oleh Amerika.
Sejak lebih dari separuh abad, Israel telah mempersiapkan pemisahan Sudan Selatan dengan suplai senjata di satu sisi dan di sisi lain dengan tekanan serta berbagai permainan kotor. Jika seperempat upaya dunia ini dikerahkan untuk mencarikan solusi bagi Palestina tentu sudah selesai isu tersebut dan orang-orang Palestina bisa mendapatkan hak-haknya kembali sejak dari dulu. Akan tetapi keputusan untuk menentukan nasib sendiri dan merdeka adalah halal bagi orang-orang Sudan Selatan, tapi haram bagi orang Palestina.
Mereka sudah merencanakan untuk pemisahan dan sudah bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Sementara bangsa Arab hanya bisa menjadi penonton saja dan putus asa melihat apa yang terjadi itu. Intinya, sesungguhnya siapa saja yang menanam pasti akan mendapatkan hasil kemerdekaan. Sedangkan siapa yang hanya bisa menjadi penonton dan putus asa akan mendapatkan kekecewaan, yang ini penulis harapkan tidak terulang kembali di tahun baru ini.
Oleh: Fahmi Huwaedi[1] http://www.aljazeera.net/NR/exeres/ADCA7790-770D-4F8D-823C-E1B7013CCCDF.htm
Sumber : al-ikhwan.net
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com