Sebuah suara samar mengusik tidur wanita itu. Menerobos halus celah gendang telinga, dan perlahan membawanya dari alam mimpi menuju keterjagaan raga. Namun matanya masih terpejam dalam kantuk yang masih menggelayut dalam. Tak ingin ia hirau akan suara yang masih samar terdengar. Tapi sekian detik kemudian suara itu semakin terang dalam keterjagaan telinganya sekarang.
“Tsabita.. Tsabita..”
Tiba-tiba saja matanya mengerjap terjaga dengan begitu cepatnya. Kantuk yang mengikatnya dalam lelapnya mimpi, bertolak kilat meninggalkannya. Salah dengarkah ia? Mimpikah? Sambil mencubit tangannya, dia amati wajah teduh pemilik suara. Perempuan itu tidak bermimpi. Dia dalam keterjagaan yang sempurna.
“Tsabita…” Nama itu kembali terucap dari lelaki di sampingnya. Begitu lirih. Begitu dalam. Begitu.., ah tak mampu ia menggambarkannya.
Wanita itu tercekat. Airmata begitu saja menderas dari kedua matanya. Dadanya teramat sesak. Bumi seakan ditindihkan di atasnya. Rasa sakit yang begitu dalam menjajah hatinya. Sakit. Sakit sekali. Sakit yang takkan bisa dilukis dengan sempurna oleh kata. Dia mencoba menguasai dirinya. Tapi ia gagal. Isaknya semakin menjadi. Tubuhnya berguncang menahan keterguguan. Kemudian dengan bersegera ia meninggalkan tempat tidurnya. Khawatir jika lelaki pemilik sumber suara itu terbangun karenanya.
Kran ia nyalakan. Suara air bergemericik mengalahkan isaknya. Dia terduduk lunglai di sana. Di dalam kamar mandi yang berada di luar kamar tidurnya. Maka menjadilah tangisnya. Yang dengannya, ia ingin mengeluarkan segala bongkah-bongkah pengganjal perasaannya. Ia ingin menjadikan air matanya itu sebagai hujan yang mengurai habis gumpalan mendung kelam yang ada di hatinya.
Setelah seperempat putaran jam, barulah ia mulai bisa mengendalikan dirinya. Kejernihan hati mulai mengikis masuk dalam kebuntuan akal yang tadi rapat tertutup jerat emosi kewanitaannya. Perlahan ia beranjak mendekati kran. Menangkupkan kedua telapak tangannya dalam dingin dan sejuknya air wudhu di pertengahan malam itu. Khusyu’ ia basuhkan air itu di wajahnya. Ia biarkan dinginnya meresap hingga ke dalam hatinya. Ia ingin membuang segala perasaan marah, sedih, kecewa dalam tetesan air suci yang mengurai dari setiap pori anggota wudhunya.
Dan kini wanita itu tersungkur dalam sujud panjangnya. Isakan itu menjadi lagi.
“Subhaana Rabbiyal a’laa.. Maha Suci Tuhanku Yang Maha Tinggi.. Maha Suci Engkau Ya Rabb.. Sungguh wanita penuh dosa ini kembali lagi mencari kesempurnaan dalam mata air Kesucian-Mu.. Dan dalam kekerdilan dan kerapuhan diri ini, izinkan hamba berlindung dalam Ketinggian dan Kesempurnaan cinta yang utuh menjadi milik-Mu..”
Setelah salam dilafadzkan. Tertengadah kedua tangannya mengharap kucur Cinta-Nya. Tangan itu bergetar hebat seakan tak mampu menangkup doa yang diucap oleh lisannya dalam keterbataan isak kata.
“Ya Rabbiy, Wahai Dzat Pemilik hati dan jiwa ini.. Hamba berserah pasrah kepadamu. Terhadap urusannya. Terhadap hatinya. Karena hanya Engkau yang berhak mengaruniakan cinta. Walaupun seluruh manusia mengeluarkan perbendaharaan hartanya untuk membantuku menebus cinta lelaki itu,, maka hamba tahu hal itu mustahil tanpa kehendak-Mu..”
“Ya Rahman, sungguh hamba telah menjadikan Engkau sebagai wali dari setiap urusan hamba.. Hamba bermohon dengan segala Kemahabesaran-Mu agar Engkau berkenan melapangkan hati hamba.. Menyamuderakan cinta hamba.. Meluaskan kemaafan dan kesyukuran hamba.. Hingga hamba sanggup menerima segala beban penggelayut jiwa ini dengan segala sikap dan amalan yang Engkau Ridhoi saja.. Tanpa dengan kecemburuan yang membuta..Tanpa dengan kemarahan yang membara.. Tanpa dengan kekecewaan yang mematikan rasa.. Dan dengan tanpa mengurangi bakti dan kecintaan hamba pada suami hamba..
Ridhokan hamba atas apa yang mampu ia berikan pada hamba. Jangan jadikan hamba wanita yang tidak bisa mensyukuri pemberiannya. Berikan hamba kecintaan terhadap apa yang menjadi kecintaannya.. Berikan hamba kecintaan terhadap apa yang menjadi kecintaannya.. Berikan hamba kecintaan terhadap apa yang menjadi kecintaannya..” Tercekat suara wanita itu. Ia biarkan air matanya meneruskan setiap doa yang masih ingin ia panjatkan setelahnya.. Dan tanpa sadar ia pun tertidur dalam kelelahan jiwa raga.
Suara alarm dari kamar tidurnya membangunkan wanita itu untuk kali kedua. Dia pun beranjak dari mushalla kecilnya dan bersegera menuju kamarnya. Lelaki yang telah menjadi suaminya selama hampir empat tahun itu masih pulas tertidur di sana. Terlalu lelah sepertinya, hingga suara alarm tak berhasil membangunkannya seperti sepertiga malam lainnya.
Wanita itu menatap dalam-dalam ke wajah itu. Air mata yang ingin menyeruak, ia tahan sekuatnya. Ia takkan menangis di depan imamnya. Lelaki luar biasa. Lelaki terbaik yang pernah ia kenal dalam hidupnya. Yang dalam tiga tahun masa panjang pernikahannya tak pernah sedikit pun kata-kata kasar meluncur dari bibirnya. Yang selalu menjaganya dengan penjagaan sempurna. Yang selalu menerima segala kekurangannya tanpa menghakimi dan mencari pembandingnya. Yang menumbuhkannya dengan ilmu dan menuntunnya untuk selalu menjadi muslimah yang semakin dewasa keimanannya dan semakin indah akhlaqnya dari waktu ke waktu.
Wanita itu ingin selalu mensyukuri setiap hal yang suaminya telah beri. Ia tahu bahwa suaminya senantiasa mengusahakan yang terbaik untuknya. Apapun segala kebaikan yang bisa diberikan oleh lelaki itu, selama ini telah ia terima dengan sempurna. Namun malam ini wanita itu terantuk pada kenyataan, bahwa hati lelaki itu bukanlah untuknya. Kecintaan lelaki itu bukanlah miliknya. Walaupun sesaat lalu dia masih dalam keyakinan bahwa dialah ratu hati lelaki itu. Yang kemudian baru saja ia tersadar bahwa itu hanyalah fatamorgana semu.
Tsabita..
Perempuan masa lalu itu ternyata masih menempati ruang tertinggi di hati lelaki berwajah teduh ini. Perempuan yang namanya tidak pernah tersebut dalam lisan suaminya di waktu sadarnya selama masa panjang bilangan tahun pernikahannya. Perempuan yang ia yakini bahwa suaminya telah mengusahakan segala hal yang bisa ia lakukan untuk mengeluarkannya dari hati, agar hanya ia satu-satunya wanita yang menempati singgasana dalam jiwa si lelaki. Dan wanita itu sadar, bukan salah suaminya jika pada akhirnya ia tidak mampu. Bukan salah lelaki itu jika cinta untuk perempuan itu masih melekat dengan erat di palung sukmanya. Sungguh bukan salahnya. Karena hak Dia seutuhnya untuk mengaruniakan cinta kepada apa dan sesiapa yang menjadi Kehendak-Nya.
Yah, rasa sakit itu ada. Kecemburuan yang begitu dalam pun telah sangat menyiksanya. Namun wanita ini segera tersadar, bahwa dulu sebelum ia menerima pinangan si lelaki, ia telah mengetahui resiko ini. Lelaki ini berkata jujur padanya akan semua masa lalunya sejak awal kedatangannya. Dan waktu itu, wanita ini telah menyalakan azzam untuk menerima segala konsekuensi atas pilihannya. Dan kini saatnya ia harus membuktikan semuanya.
Perlahan ia dekati sosok itu. Ia cium keningnya. Takzim. Sebagaimana suaminya selalu melakukannya saat membangunkannya. Lelaki itu membuka matanya. Tersenyum padanya. Perlahan bangkit dari posisi tidur dan berdiri menjajari istrinya.
“Yah, keduluan Ummi deh bangunnya. Afwan ya Sayang..” canda lelaki itu sambil meraih kepala istrinya. Membalas mencium kening wanita itu.
“Ga papa juga dong sekali-kali Ummi yang dapat pahala membangunkan. Masa Abi terus yang memborong pahala..” wanita itu tersenyum manja, menggelayut tangan suaminya.
“Yee, ga mau kalah ni ceritanya? Baiklah, besok-besok Ummi terus aja deh yang bangunin. Abi sih rela-rela aja setiap pagi dibangunkan oleh kecupan seorang bidadari..” sambil mengelus kepala istrinya.
“Ogah ah. Ntar Abi ngrasa jadi sleeping beauty lagi. Eh sleeping handsome ding.. hehe.. ”
“And the beast.. hehehe..” Mereka tertawa bersama
“Eh Mi, Ummi habis nangis? Matanya kok sembab gitu?” Lelaki itu tiba-tiba menghentikan tawanya.
Wanita itu diam sejenak. Berpikir bagaimana harus menjawabnya. Tapi senyumnya masih ia kembangkan, untuk menutupi segala kebingungan.
“Yah ketahuan ya? Iya Bi, Ummi tadi udah mencuri start shalat malam duluan. Tapi baru 2 rakaat kok. Ummi menangis karena Ummi tiba-tiba tersadar, betapa baiknya Allah sama Ummi. Mengaruniakan seorang lelaki luar biasa.. Lelaki surga.. Ah udah Bi, buruan ambil wudhu gih..”
“Hffh.. Abi yang harus jauh lebih banyak bersyukur kepada Allah Mi.. Karena Allah telah mengizinkan Abi untuk didampingi seorang wanita yang sebaik dan seindah Ummi..” Menatap dalam-dalam ke mata wanita itu. Kemudian sekali lagi mencium keningnya dan segera beranjak mengambil air wudhu.
Di sepertiga malam terakhir itu, wanita tersebut meminta imamnya agar membaca surat Ar-Rahman. Fabiayyi aalaa-I rabbikumaa tukadzdzibaan. Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?
Seiring berulangnya kalimat itu dilafadzkan, semakin tergugu mereka berdua tenggelam dalam kedalaman maknanya. Semakin mereka merasa begitu kecil di hadapan Rabb-Nya. Hingga sebelum selesai surat itu dibaca pada rakaat pertama, lelaki itu sudah kehilangan suaranya. Tertelan oleh airmata yang mengalir tanpa bisa ditahannya. Membanjir memenuhi tenggorokannya. Dan akhirnya mereka berdiri dalam diam. Hanya isak mereka berdua yang terdengar semakin keras mengguncang.
Ya Rabb, ampuni kesyukuran kami yang hanya setetes saja, padahal Engkau telah memberikan kami nikmat yang luas menyamudera… Maafkan Ya Rahman.. Maafkan..
dakwatuna.com
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com