“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukai” (QS At-Taubah: 33).
Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Kedudukan nilai dalam sebuah masyarakat tidak hanya sebagai pemandu kehidupan tetapi juga sebagai pemberi arti bagi amal-amal yang dilakukan anggotanya. Nilai dapat mengharmonikan pluralitas yang terdapat dalam sebuah masyarakat menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Oleh karena itu nilai-nilai selalu dipandang sebagai sesuatu yang amat penting, bahkan dijunjung tinggi oleh semua anggota sebuah masyarakat.
Oleh karena posisi nilai dalam sebuah masyarakat demikian pentingnya maka ia selalu menjadi penggerak motivasi dan melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidupnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi tenaga (energi) yang mendorong seseorang untuk selalu bertekad (azam) dalam menegakkan dan bahkan membelanya.
Dalam konteks kaum Muslimin nilai-nilai yang dimaksud adalah Islam, din yang mengandung tata nilai yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Setiap muslim seyogianya tidak hanya meyakini bahwa seluruh dimensi ajaran atau nilai-nilai Islam benar dan harus ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupannya, tetapi juga harus dibela agar Islam dapat tegak berada di atas agama-agama yang lain.
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukai” (QS At-Taubah: 33).
Bagi seorang Muslim azam (tekad) menegakkan dan membela Islam bukan sekadar kewajiban formal melainkan sebuah refleksi psikologis yang memantul keluar menjadi amal-amal nyata bahkan menjadi perilaku lahiriahnya yang otentik. Refleksi psikologis itu merupakan pancaran ketulusan keyakinannya terhadap kebenaran Islam dalam seluruh dimensinya.
Sepanjang sejarah dakwah ketulusan keyakinan seorang da’i terhadap dakwah yang diembannya selalu menjadi energi yang dapat membangkitkan kemauan kuatnya untuk mengamalkan, mendakwakan, dan memenangkan Islam dalam percaturan kehidupan dunia. Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat menyebutkan bahwa azam adalah kemauan kuat.
Kemauan kuat atau azam inilah yang memastikan seseorang tidak akan melalaikan perintah Allah dan tidak ragu menegakkan dan membela agama-Nya. Sehubungan dengan kasus Nabi Adam AS, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” (QS Thaha: 115).
Sesungguhnya ada dua kondisi psikologis lain yang dapat menyempurnakan azam seorang muslim dalam mengimani, mengamalkan, mendakwakan, dan dalam membela Islam. Yaitu sabar dan tawakal. Dalam waktu yang bersamaan sabar dan tawakal seseorang merupakan refleksi kekokohan azamnya.
Sabar dan tawakal dalam konteks perjuangan membela Islam ibarat dua sayap yang dapat menyapu bersih segala bentuk keraguan menerjuni medan laga. “Aku bersumpah, wahai diriku, kau harus terjun ke medan laga.” Demikian Abdullah bin Rawwahah ketika mendapati dirinya diserang kegamangan dalam menghadapi kerasnya perjuangan.
Selanjutnya kedua sayap itu siap menerbangkan azam seseorang ke alam kemenangan. Sejarah selalu membuktikan kekuatan azam sebuah kelompok, betapa pun kecilnya, dapat mengalahkan kelompok besar.
Sabar adalah kondisi psikologis seseorang yang tidak mudah mengeluh dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukainya. Ada tiga keadaan yang menuntut kesabaran seseorang, yaitu dalam ketaatan kepada Allah, dari menghindari maksiat, dan ketika ditimpa musibah. Sedangkan tawakal adalah sikap kebergantungan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Maka inti tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak bergantung kepada selain-Nya.
Hubungan erat dan timbal balik antara sabar dan tawakal dengan azam seseorang dapat terlihat pada firman Allah berikut,
“Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul ‘azmi) dan rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka ...” (QS Al-Ahqaf: 35).
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal” (QS, Ali ‘Imran: 159)
Posisi azam dalam perjuangan dakwah jelas sangat penting. Oleh karena itu upaya membangun kemauan kuat di kalangan aktivis adalah bagian dari perjuangan itu sendiri. Sepanjang sejarah dakwah pembangunan kemauan kuat menjadi pilar utama pembentukan kader-kader yang siap terjun di medan perjuangan. Nabi Musa As., sebelum memberikan komando agar Bani Israil berani memasuki bumi yang dijanjikan, selepas mereka terbebas dari kejaran Fir’aun dan pasukannya, terlebih dahulu memberikan pengarahan kepada Bani Israel tentang pentingnya azam dalam merealisasikan cita-cita. Firman Allah,
“Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu, ketika Ia menjadikan di tengah kalian para Nabi dan Ia jadikan kalian raja-raja (orang yang merdeka) dan Ia berikan kepadamu sesuatu yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di dunia. Wahai kaumku, masuklah ke Tanah Suci yang telah dituliskan Allah atas kamu dan janganlah berbalik ke belakang, nanti kamu menjadi orang-orang yang merugi” (QS Al-Maidah: 20).
Namun orang-orang Yahudi, karena kedegilan yang melekat pada diri mereka, tidak mampu menangkap makna pengarahan Nabi mereka. Apa yang terjadi sesudah itu membuktikan bahwa kemauan kuat, himmah (cita-cita) yang tinggi, azam yang membaja, dan tekad yang bulat menduduki posisi sentral dalam perjuangan dakwah, bahkan dalam setiap amal. Rasulullah Saw. menegaskan bahwa cita-cita yang tinggi merupakan bagian dari iman.
Kenyataannya Bani Israil tetap berada dalam keraguan, tidak memiliki azam, dan tekad
mereka lemah. Mereka lebih percaya kepada kekuatan materi yang tampil dalam tubuh perkasa orang-orang Amalek yang telah lama menduduki tanah Palestina itu. Mereka melupakan siapa yang menyuruh mereka memasuki tanah yang dijanjikan itu dan yang telah memberikan jaminan kemenangan.
“Kami berkata, “Hai Musa, kami tak akan memasukinya selama-lamanya selama mereka ada di sana, maka pergilah engkau dan Tuhanmu, lalu berperanglah, karena kami akan duduk-duduk.” (QS Al-Maidah: 24)
Dengan demikian tingkat azam seseorang dapat menentukan tingkat kualitas perjuangannya. Maka kekokohan azam seorang da’i dalam membela agamanya menentukan kualitas dan nilai amal perjuangannya. Selanjutnya kekuatan azam tersebut akan mendudukkan dirinya pada posisi terdepan dalam barisan mujahidin dan layak memperoleh penghargaan.
Mereka, orang-orang yang kualitas azamannya tinggi, umumnya tidak banyak. Meski demikian mereka dapat menggerakkan mesin kemenangan. Misalnya dalam deretan nama-nama nabi kita kenal 5 nama yang diberi gelar ulul ‘azmi. Mereka adalah nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Saw.
Kaum Hawariyyun, kaum Muhajirin dan Anshar adalah kelompok-kelompok yang memiliki azam yang tinggi dalam membela agama mereka. Oleh karena itu sejarah perjuangan mereka sempat diabadikan dalam al-Qur`an.
Oleh karena azam untuk membela Islam merupakan bagian dari kondisi psikis Muslim, maka kita perlu menciptakan kondisi psikis yang memungkinkan azam itu tumbuh subur dalam kalbu kita. Di sini kita perlu terus-menerus melakukan dialog dengan diri sendiri dan memastikan bahwa diri kita tidak ragu untuk memperjuangkan Islam.
Untuk sampai pada kepastian itu hendaknya kita terlebih dahulu memahami arti kehidupan kita di dunia ini. Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah sebuah ibtila` (ujian). Di sinilah kita diuji dan di sini pula ladang tempat penghimpunan bekal yang menentukan nasib kita di akhirat nanti.
Oleh karena itu aktivitas fisik dan psikis kita selama hidup di alam fana harus sejalan dengan nilai-nilai yang telah kita yakini. Selanjutnya kita dituntut memiliki kesadaran batin melalui serangkaian proses “introspeksi” dan “interiorisasi” (takhliyah dan tahliyah) spiritualitas kita. Dengan bersungguh-sungguh kita terus-menerus menerapkan metode-metode pensucian jiwa yang dapat mengkristalkan/mengokohkan azam kita untuk membela Islam dan mengantarkannya kepada kemenangan sejati.
Kesadaran batin tersebut merupakan energi yang tertanam dalam diri kita. Dengan kesadaran itu kita dapat melihat fenomena-fenomena kehidupan yang terpampang di hadapan kita dan menumbuhkan kepercayaan pada diri kita. Selanjutnya dengan percaya diri dan kemantapan kalbu kita melakukan mujahadah dalam menghadapi berbagai godaan yang dapat menyeret kehidupan ke jurang kenistaan.
Dari kesadaran batin itulah hendaknya logika dibangun. Logika yang sederhana, mudah dicerna, dan sesuai dengan fitrah manusia. Logika yang sepenuhnya bersumber dari kesadaran dan kebersihan kalbu, yaitu motif-motif dan emosi-emosi yang paling dalam, dan dari penghayatan kita kepada nilai-nilai Islam. Logika yang tidak berupa pandangan-pandangan akal yang sering menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Logika paling simple tetapi penuh makna, “Hidup mulia atau mati syahid.” Dengan logika itulah kita berazam. Wallahu A’lam bishshawab.
Setiap masyarakat memiliki nilai-nilai yang diyakini bersama. Kedudukan nilai dalam sebuah masyarakat tidak hanya sebagai pemandu kehidupan tetapi juga sebagai pemberi arti bagi amal-amal yang dilakukan anggotanya. Nilai dapat mengharmonikan pluralitas yang terdapat dalam sebuah masyarakat menjadi sebuah panorama kehidupan yang indah. Oleh karena itu nilai-nilai selalu dipandang sebagai sesuatu yang amat penting, bahkan dijunjung tinggi oleh semua anggota sebuah masyarakat.
Oleh karena posisi nilai dalam sebuah masyarakat demikian pentingnya maka ia selalu menjadi penggerak motivasi dan melekat kuat dalam kehidupan. Ia menjadi tradisi yang tidak dapat dipisahkan dari totalitas hidupnya. Nilai yang sudah tertanam dalam jiwa dan mentradisi itu menjadi tenaga (energi) yang mendorong seseorang untuk selalu bertekad (azam) dalam menegakkan dan bahkan membelanya.
Dalam konteks kaum Muslimin nilai-nilai yang dimaksud adalah Islam, din yang mengandung tata nilai yang mengatur seluruh dimensi kehidupan. Setiap muslim seyogianya tidak hanya meyakini bahwa seluruh dimensi ajaran atau nilai-nilai Islam benar dan harus ditegakkan dalam seluruh aspek kehidupannya, tetapi juga harus dibela agar Islam dapat tegak berada di atas agama-agama yang lain.
هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ
“Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya dengan (membawa) petunjuk (al-Qur`an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama sekalipun orang-orang musyrik tidak menyukai” (QS At-Taubah: 33).
Bagi seorang Muslim azam (tekad) menegakkan dan membela Islam bukan sekadar kewajiban formal melainkan sebuah refleksi psikologis yang memantul keluar menjadi amal-amal nyata bahkan menjadi perilaku lahiriahnya yang otentik. Refleksi psikologis itu merupakan pancaran ketulusan keyakinannya terhadap kebenaran Islam dalam seluruh dimensinya.
Sepanjang sejarah dakwah ketulusan keyakinan seorang da’i terhadap dakwah yang diembannya selalu menjadi energi yang dapat membangkitkan kemauan kuatnya untuk mengamalkan, mendakwakan, dan memenangkan Islam dalam percaturan kehidupan dunia. Al-Jurjani dalam kitab al-Ta’rifat menyebutkan bahwa azam adalah kemauan kuat.
Kemauan kuat atau azam inilah yang memastikan seseorang tidak akan melalaikan perintah Allah dan tidak ragu menegakkan dan membela agama-Nya. Sehubungan dengan kasus Nabi Adam AS, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَلَقَدْ عَهِدْنَا إِلَى ءَادَمَ مِنْ قَبْلُ فَنَسِيَ وَلَمْ نَجِدْ لَهُ عَزْمًا
“Dan sesungguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, maka lupa (akan perintah itu), dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat” (QS Thaha: 115).
Sesungguhnya ada dua kondisi psikologis lain yang dapat menyempurnakan azam seorang muslim dalam mengimani, mengamalkan, mendakwakan, dan dalam membela Islam. Yaitu sabar dan tawakal. Dalam waktu yang bersamaan sabar dan tawakal seseorang merupakan refleksi kekokohan azamnya.
Sabar dan tawakal dalam konteks perjuangan membela Islam ibarat dua sayap yang dapat menyapu bersih segala bentuk keraguan menerjuni medan laga. “Aku bersumpah, wahai diriku, kau harus terjun ke medan laga.” Demikian Abdullah bin Rawwahah ketika mendapati dirinya diserang kegamangan dalam menghadapi kerasnya perjuangan.
Selanjutnya kedua sayap itu siap menerbangkan azam seseorang ke alam kemenangan. Sejarah selalu membuktikan kekuatan azam sebuah kelompok, betapa pun kecilnya, dapat mengalahkan kelompok besar.
Sabar adalah kondisi psikologis seseorang yang tidak mudah mengeluh dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukainya. Ada tiga keadaan yang menuntut kesabaran seseorang, yaitu dalam ketaatan kepada Allah, dari menghindari maksiat, dan ketika ditimpa musibah. Sedangkan tawakal adalah sikap kebergantungan seseorang kepada Dzat Yang Maha Kuasa. Maka inti tawakal adalah penyandaran hati hanya kepada Dzat Yang Maha Kuasa, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak bergantung kepada selain-Nya.
Hubungan erat dan timbal balik antara sabar dan tawakal dengan azam seseorang dapat terlihat pada firman Allah berikut,
فَاصْبِرْ كَمَا صَبَرَ أُولُو الْعَزْمِ مِنَ الرُّسُلِ وَلَا تَسْتَعْجِلْ لَهُمْ كَأَنَّهُمْ يَوْمَ يَرَوْنَ مَا يُوعَدُونَ لَمْ يَلْبَثُوا إِلَّا سَاعَةً مِنْ نَهَارٍ بَلَاغٌ فَهَلْ يُهْلَكُ إِلَّا الْقَوْمُ الْفَاسِقُونَ
“Maka bersabarlah kamu sebagaimana orang-orang yang mempunyai keteguhan hati (ulul ‘azmi) dan rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka ...” (QS Al-Ahqaf: 35).
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal” (QS, Ali ‘Imran: 159)
Posisi azam dalam perjuangan dakwah jelas sangat penting. Oleh karena itu upaya membangun kemauan kuat di kalangan aktivis adalah bagian dari perjuangan itu sendiri. Sepanjang sejarah dakwah pembangunan kemauan kuat menjadi pilar utama pembentukan kader-kader yang siap terjun di medan perjuangan. Nabi Musa As., sebelum memberikan komando agar Bani Israil berani memasuki bumi yang dijanjikan, selepas mereka terbebas dari kejaran Fir’aun dan pasukannya, terlebih dahulu memberikan pengarahan kepada Bani Israel tentang pentingnya azam dalam merealisasikan cita-cita. Firman Allah,
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ يَاقَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنْبِيَاءَ وَجَعَلَكُمْ مُلُوكًا وَءَاتَاكُمْ مَا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِنَ الْعَالَمِينَ
“Ingatlah ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Wahai kaumku, ingatlah nikmat Allah atas kamu, ketika Ia menjadikan di tengah kalian para Nabi dan Ia jadikan kalian raja-raja (orang yang merdeka) dan Ia berikan kepadamu sesuatu yang belum pernah diberikan kepada seorang pun di dunia. Wahai kaumku, masuklah ke Tanah Suci yang telah dituliskan Allah atas kamu dan janganlah berbalik ke belakang, nanti kamu menjadi orang-orang yang merugi” (QS Al-Maidah: 20).
Namun orang-orang Yahudi, karena kedegilan yang melekat pada diri mereka, tidak mampu menangkap makna pengarahan Nabi mereka. Apa yang terjadi sesudah itu membuktikan bahwa kemauan kuat, himmah (cita-cita) yang tinggi, azam yang membaja, dan tekad yang bulat menduduki posisi sentral dalam perjuangan dakwah, bahkan dalam setiap amal. Rasulullah Saw. menegaskan bahwa cita-cita yang tinggi merupakan bagian dari iman.
Kenyataannya Bani Israil tetap berada dalam keraguan, tidak memiliki azam, dan tekad
mereka lemah. Mereka lebih percaya kepada kekuatan materi yang tampil dalam tubuh perkasa orang-orang Amalek yang telah lama menduduki tanah Palestina itu. Mereka melupakan siapa yang menyuruh mereka memasuki tanah yang dijanjikan itu dan yang telah memberikan jaminan kemenangan.
قَالُوا يَامُوسَى إِنَّا لَنْ نَدْخُلَهَا أَبَدًا مَا دَامُوا فِيهَا فَاذْهَبْ أَنْتَ وَرَبُّكَ فَقَاتِلَا إِنَّا هَاهُنَا قَاعِدُونَ
“Kami berkata, “Hai Musa, kami tak akan memasukinya selama-lamanya selama mereka ada di sana, maka pergilah engkau dan Tuhanmu, lalu berperanglah, karena kami akan duduk-duduk.” (QS Al-Maidah: 24)
Dengan demikian tingkat azam seseorang dapat menentukan tingkat kualitas perjuangannya. Maka kekokohan azam seorang da’i dalam membela agamanya menentukan kualitas dan nilai amal perjuangannya. Selanjutnya kekuatan azam tersebut akan mendudukkan dirinya pada posisi terdepan dalam barisan mujahidin dan layak memperoleh penghargaan.
Mereka, orang-orang yang kualitas azamannya tinggi, umumnya tidak banyak. Meski demikian mereka dapat menggerakkan mesin kemenangan. Misalnya dalam deretan nama-nama nabi kita kenal 5 nama yang diberi gelar ulul ‘azmi. Mereka adalah nabi Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Saw.
Kaum Hawariyyun, kaum Muhajirin dan Anshar adalah kelompok-kelompok yang memiliki azam yang tinggi dalam membela agama mereka. Oleh karena itu sejarah perjuangan mereka sempat diabadikan dalam al-Qur`an.
Oleh karena azam untuk membela Islam merupakan bagian dari kondisi psikis Muslim, maka kita perlu menciptakan kondisi psikis yang memungkinkan azam itu tumbuh subur dalam kalbu kita. Di sini kita perlu terus-menerus melakukan dialog dengan diri sendiri dan memastikan bahwa diri kita tidak ragu untuk memperjuangkan Islam.
Untuk sampai pada kepastian itu hendaknya kita terlebih dahulu memahami arti kehidupan kita di dunia ini. Sesungguhnya kehidupan di dunia adalah sebuah ibtila` (ujian). Di sinilah kita diuji dan di sini pula ladang tempat penghimpunan bekal yang menentukan nasib kita di akhirat nanti.
Oleh karena itu aktivitas fisik dan psikis kita selama hidup di alam fana harus sejalan dengan nilai-nilai yang telah kita yakini. Selanjutnya kita dituntut memiliki kesadaran batin melalui serangkaian proses “introspeksi” dan “interiorisasi” (takhliyah dan tahliyah) spiritualitas kita. Dengan bersungguh-sungguh kita terus-menerus menerapkan metode-metode pensucian jiwa yang dapat mengkristalkan/mengokohkan azam kita untuk membela Islam dan mengantarkannya kepada kemenangan sejati.
Kesadaran batin tersebut merupakan energi yang tertanam dalam diri kita. Dengan kesadaran itu kita dapat melihat fenomena-fenomena kehidupan yang terpampang di hadapan kita dan menumbuhkan kepercayaan pada diri kita. Selanjutnya dengan percaya diri dan kemantapan kalbu kita melakukan mujahadah dalam menghadapi berbagai godaan yang dapat menyeret kehidupan ke jurang kenistaan.
Dari kesadaran batin itulah hendaknya logika dibangun. Logika yang sederhana, mudah dicerna, dan sesuai dengan fitrah manusia. Logika yang sepenuhnya bersumber dari kesadaran dan kebersihan kalbu, yaitu motif-motif dan emosi-emosi yang paling dalam, dan dari penghayatan kita kepada nilai-nilai Islam. Logika yang tidak berupa pandangan-pandangan akal yang sering menimbulkan kebingungan dan kerancuan. Logika paling simple tetapi penuh makna, “Hidup mulia atau mati syahid.” Dengan logika itulah kita berazam. Wallahu A’lam bishshawab.
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com