Prof. Dr. Sulaiman Shalih
Imam Ali bin Abi Thalub Radhiyallahu Anhu mengatakan, “Didik dan binalah anak-anak kalian untuk (menghadapi) era yang berbeda dengan era kalian.” Kita sudah sia-siakan Al-Quds karena manusia dilanda ketakutan di era kolonialsme. Sehingga mereka mendidik anak-anak mereka untuk takut dan menyerah. Orang yang takut tidak akan mampu menciptakan masa depan dan tidak akan mampu mewujudkan kemenangan sehingga hidupnya tidak akan bernilai.
Lihat pemimpin dan penguasa kita, mereka bertindak paksa manusia (rakyatnya) dan menanamkan perasaan takut dalam diri mereka. Seorang penakut akan mendidik anaknya untuk takut. Seorang akan kehilangan percaya dirinya. Hatinya akan dipenuhi minder, ilusi dan ketidakberdayaan. Sehingga ia akan mengira dirinya tidak akan layak jadi pemimpin, ilmuwan, kreator, inovator, sastrawan atau seorang orator.
Lord Cromer adalah raja tanpa mahkota di Mesir ingin meringkas target pendidikan dengan hanya meluluskan pelajar hanya menjadi pegawai pemerintah. Menjadi pegawai yang hidupnya menunggu akhir bulan untuk digaji.
Hati-hatilah Politik
Seorang ibu menitip pesan ‘emas’ kepada anaknya setiap pergi ke sekolah; hati-hatilah dengan politik. Jangan ikut demonstrasi dan jangan bicara soal agama. Kita lemah dan patut dikasihani, pemerintah kuat. Kemudian si ibu pun berdoa kepada Allah agar dijauhkan dari kejahatan rezim dan anak-anak perempuan nakal.
Setelah lulus, si anak duduk di samping ibunya sambil termenung sedih. Sebab ia tidak mendapatkan kerja yang layak untuk mencari nafkah. Ia bermimpi meninggalkan negerinya untuk rezimnya dan ibunya yang mengajarkannya sebagai penakut.
Atau kemungkinan kedua; ia memperoleh kerja yang membantunya untuk semakin miskin dan semakin pesimis dan menyesal.
Metode pendidikan seperti ini telah menjadikan sebagian besar generasi kita menderita kondisi tidak berdaya. Mereka seperti mati tapi hidup.
Menjadi Pemimpin atau masuk Kuburan
Seorang pujangga Arab pernah bilang, “Kita memiliki kelayakan untuk memimpin dunia memilih kuburan.” Ia ingin menegaskan, “Jika anda takut mati, maka Anda tidak akan berada di depan, tidak mungkin layak jadi pemimpin.”
Penulis ingat nama perempuan Palestina yang arif yang mendidik anaknya di era kemuliaan, kepemimpinan, kemerdekaan dan pembebasan. Ia melepaskan anaknya yang pergi melakukan aksi syahid menyerang Israel. Ia merekam perpisahan itu untuk menjadi hujjah atas umat dan bukti kekuatan perempuan Arab yang mukmin serta hadiah bagi setiap ibu yang ingin anaknya menjadi pemimpin.
Sang ibu itu ingin mengatakan dengan jelas: didiklah anak-anak kalian agar menjadi pemimpin dan orang besar. Mereka akan hidup bebas merdeka kuat dan mulia serta besar atau mereka akan menang dengan mati syahid. Mereka tidak akan menjadi budak penakut yang diperhamba oleh penjajah.
Sang ibu Palestina itu ingin merekam pengalaman kemanusiaan. Ia menyiapkan anaknya agar menjadi di depan dan memimpin dalam hidupnya dunia dan akhirat; ia akan hidup bebas di negerinya dengan membangun peradaban atau pergi menjadi syahid kepada Allah.
Ia ingin mengatakan; didiknya menjadi pemimpin, ikut dalam berpolitik, mengubah masyarakat, membebaskan masyarakatnya. Ubah jalan pendidikan kalian agar menghasilkan generasi baru yang mampu membangun kebangkitan, menyatukan umat, dan membebaskan Al-Quds. Nama sang ibu Palestina itu layak menetap di ingatan setiap mukmin. Namun tanpaknya ingatan penulis tidak layak ditempati nama ibu yang mulia itu. Meski kita semua mengakui dan berusaha menerapkan pengalaman emasnya.
Dalam pendidikan formal, pemerintah kita tidak ingin mendidik manusia menjadi pemimpin, ulama, atau orator. Pemerintah ingin mereka menjadi pegawai penerima gaji untuk kebutuhan nikah dan berpenampilan. Pemerintah kita mengharuskan kita membebek kepada barat dalam pendidikan. Mereka tidak mewujudkan kemerdekaan dan indepensi peradaban yang merupakan kebanggan umat dimana pelajar Muslim merasa bangga dengan jatidiri keislamannya. Pemerintah-pemerintah Arab telah mengubah perguruan tingginya menjadi ajang untuk berkenalan dengan teori-teori barat tanpa dikritik, terutama dalam ilmu humanisme. Yang kadang terorinya bertentangan dengan prinsip Islam dan capaian peradaban umat ini.
Terkadang di ruang kulian dicampur aduk antara bahasa Arab dan Inggris, seakan mengesankan bahwa bahasa Arab tidak lagi mampu menggambarkan teori ilmu pengetahuan modern. Padahal sebenarnya pada dosen itu yang tidak mampu berbahasa Arab dengan benar dan kehilangan kepercayaan diri mereka.
Ketakutan ibu-ibu, membebeknya perguruan tinggi, kebodohan pemerintah dan rezim dan keminderan dosennya itulah yang menghilangkan jati diri pelajar kita dan semakin pesimis.
Namun kita sudah mendekati era baru, era pembebasan, kemerdekaan dan kebangkitan peradaban. Sehingga kita harus mendidik anak-anak kita untuk era ini agar mereka menjadi pemimpin dan orang-orang merdeka. Mereka yang menjadi pemimpin di masa depan adalah yang hari ini bangga akan jati diri islamnya dan berjuang membangun kebangkitan dan peradaban.
Mereka yang takut mati, akan menjadi pegawai, bahkan pegawai pemerintah Israel. Seperti yang terjadi dengan pejabat otoritas Palestina di Ramallah setelah melepaskan perjuangan perlawanan. Mereka yang membebaskan Al-Quds adalah ibu-ibu yang meniru Sang Ibu Palestina yang arif mendidik anak-anaknya untuk mengukir seni kematian dengan kesyahidan atau hidup dengan kemuliaan.
Mereka yang membebaskan Al-Quds adalah para dosen yang mengajarkan pelajar di perguruan tinggi, seni merindukan kemerdekaan, perjuangan membangun kebangkitan, mengajarkan bagaimana menjadi pemimpin, ulama, orator, dan soko guru bagi dunia semua. (asj-ip)
Posting Komentar
Kontak Gema Dakwah : tarqiyahonline@gmail.com